Aku jadi ingin tertawa, jika teringat akan ibu mertuaku di pagi buta ini yang beribu kali sudah meneriaki Winda.
Winda jarang membuat sarapan, ia pun hampir tak pernah masak. Penanak nasi miliknya dalam dapur pun, pernah sampai berjamur dan berbau busuk karena masih terisi nasi dalam waktu yang lama.
Winda dan Ghava lebih sering makan di luar. Namun, yang membuatku heran lagi. Ghava hampir tak pernah memarahi Winda, meski sikapnya kasar dan tempramental.
Winda sering bercerita padaku, tentang perekonomiannya tidak stabil. Ia pun masih kuliah. Namun, jika ia mengirit uang pengeluarannya. Ghava malah sulit mendapatkan job untuk jasanya.
Hasil ladangnya, fokus untuk membiayai biaya produksi dan pembenihan baru pada ladangnya saja. Menurutnya, itung-itung untuk biaya pendidikan anak mereka kelak.
Untuk sehari-hari dan biaya kuliah Winda, Ghava dapatkan dari jasa fotografernya dan hasil borongan sovenir yang Winda buat.
Yang membuatku heran, dari uang yang tidak seberapa. Mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua. Tak jarang ia membeli makanan lebih, persis seperti yang mereka makan di luar untuk orang rumah.
Meski mereka pernah memiliki hutang untuk biaya kuliah Winda, tetapi hutang itu bisa Ghava tutupi sendiri.
Kadang aku berpikir, apa karena mereka belum memiliki anak? Jadi mereka bisa merasakan cukup segala-galanya.
Jasa Ghava masih dibilang amatir. Kadang ia pun menerima uang rokok saja, dari jasanya. Tapi aku terheran-heran, dengan gaya hidup mereka yang jarang makan di rumah itu.
"Mandi aja dulu gih." aku memerintahnya lembut, agar Winda tidak tersinggung.
"Memang aku mau ke mana sih, Kak? Yang penting udah sikat gigi aja lah. Mandi tuh kalau mau pergi tuh, kan harus rapih."
Apakah seperti ini bentuk wanita modern?
Tetapi Kinasya jauh lebih modern dari Winda. Tetapi ia tetap rajin mandi dan tidak urakan seperti Winda.
Winda jarang mencuci pakaian, terkadang dua minggu ia baru sanggup mencucinya. Pemandangan Winda mengenakan kaos milik Ghava dan kolor futsal milik Ghava seperti ini, bukan hal aneh untuk kami yang sudah terbiasa satu rumah dengan Winda. Jika Winda sudah mengenakan pakaian Ghava, tandanya ia kehabisan pakaiannya dan belum sempat mencucinya.
"Kak, aku belajar payet gaun pengantin. Aku udah bisa, nanti aku bawa balik barang yang lagi aku kerjakan. Nanti, aku ajarin Akak biar bisa. Terus kalau udah dibayar, nanti hasilnya kita bagi dua." matanya sampai berbinar-binar. Winda masih seperti anak kecil, hanya saja anak kecil tidak normal jika memiliki tanda merah di leher sepertinya.
Ghava muncul dengan bertelanjang dada, lalu ia langsung meraup wajah Winda dari belakang.
"Bisnis terus pagi-pagi. Giling sana baju-baju kau, Dek. Bisa ikutan habis baju Abang, kalau kau pakai terus kek gini." Ghava duduk di sebelah Winda, kemudian ia menguap beberapa kali.
"Ok, Bang. Aku libur hari ini. Tapi, nanti Abang lepas motret. Bawakan gaun merah yang kemarin kak Evi bagi itu ya?" mereka masih terlihat seperti pacaran.
"He'em." pukul setengah tujuh pagi, Ghava masih kuat menguap.
Aku rindu bangun siang.
"Gih, Kak Canda makan dulu. Aku masih mau malas-malasan. Sini aku sambil nyuapin Key, Chandra biar digeletakin di sini aja Kak." Winda menepuk sofa di sebelahnya. Memang Chandra sudah bisa duduk dan merangkak, ia pun sudah berani untuk rambatan pada tembok.
Aku segera bangkit, kemudian melenggang pergi. Ada-ada saja salah satu pasangan yang menikah dua kali itu.
Saat rumah tangganya baru seumur jagung. Ghava pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita di kota Jakarta. Hal itu terendus Winda, yang saat itu masih berstatus sebagai istri sirinya.
Winda meminta untuk berpisah. Sayangnya, Ghava malah mengabulkan hal itu.
Hingga terjadilah pernikahan kedua itu, setelah Ghava mendapatkan panen besarnya. Ia meminang Winda kembali secara resmi, dengan pesta resepsi sederhana.
Unik memang cerita penghuni rumah ini.
"Canda... Mas ke toko dulu. Nanti lepas dzuhur Mas berangkat ke kota Medan, kemungkinan Mas nginep. Besok sore baru sampai rumah keknya."
Yang aku ketahui dari cerita para wanita di rumah ini. Medan adalah kota yang cukup bebas. Di sana pun banyak club malam dan tempat karaoke modern. Aku jadi khawatir dengan tingkah suamiku.
"Medannya di mana, Mas?" aku harus tahu tujuannya pergi.
"S*iss B*linn Medan."
Tempat apa itu? Aku malah bertanya-tanya.
Aku teringat akan sesuatu, reuni masa SD dulu. Saat aku pulang dari pesantren, untuk liburan sekolah. Kemudian aku diajak reuni teman SD dulu.
Saat dulu dikenakan biaya, meski hanya berkumpul di salah satu kolam renang di kampung halamanku di Solo.
"Berapa pungutannya, Mas? S*iss itu tempat apa?" aku sebenarnya takut, saat banyak bertanya seperti ini.
"Itu hotel, perorang diminta dua ratus delapan puluh tujuh ribu."
Mendengar nama hotel, membuatku teringat akan kebebasanku dengan Ghifar di Bali.
"Hmmmm...."
Aku tidak berani menanyakan lebih, aku takut dibentak.
"Ya udah, Mas ke toko dulu ya?"
Aku segera mencium tangannya, kemudian mas Givan langsung pergi lewat pintu samping.
Semoga suamiku bisa menjaga kepercayaanku, saat ia berbaur dengan teman-temannya.
Ehh, tapi tunggu dulu.
Dua ratus delapan puluh tujuh ribu? Memang mas Givan punya uang dari mana? Kenapa aku baru terpikir sekarang? Jangan-jangan, ini mengenai uang tujuh juta yang Ghifar bahas subuh tadi?
Haduh, rumitnya jadi seorang istri yang tidak memiliki keberanian untuk melarang suami sepertiku.
"KAK KINNNN...... GISKA UDAH PUCAT PASI. TOLONGIN GISKA DULU, KAK!"
"Uhuk, uhuk..." aku meraih gelas minumku. Kemudian aku segera melegakan tenggorokanku dengan air putih.
Seruan Zuhdi bukan main efeknya. Ia membuatku ikut panik saja.
Untungnya tadi aku baru menyelesaikan suapan terakhir, aku bisa segera bergegas untuk melihat keadaan Giska.
"Kau kenapa?" aku melihat Giska berbaring miring di atas tempat tidur.
"Muntah-muntah terus Kak Canda, kek mana nih?" Zuhdi terlihat begitu khawatir.
Ia duduk di lantai, dengan menghadap pada Giska yang tertidur miring di ranjangnya.
"Kak Kin lagi BAB. Bentar ya, Dek?"
Aku kaget, karena tiba-tiba terdengar suara laki-laki di belakangku.
Aku menoleh ke arah belakang, rupanya Ghifar yang masih menggendong anaknya.
Ia hanya melirikku, kemudian ia melangkah mendekati ranjang Giska.
"Mual-mual lagi?" Ghifar duduk di tepian ranjang Giska.
"Ya, Bang. Kepala aku muter, dari tadi muntah sampai keluar air kuning pahit."
Aku tak pernah merasakan hamil seperti Giska. Saat aku hamil, aku hanya merasa mengantuk dan selera makan jika melihat masakan milik Kinasya saja.
Masakan Kinasya terbilang unik, ia jago membuat makanan dari berbagai daerah.
Kalista merengek, ia menggosokkan wajahnya.
Ghifar segera bangkit, mencoba menenangkan anaknya.
"Jangan rewel coba, Nak! Kasian ma kau lagi ngandung, kasian adeknya Kal kalau ma gendong-gendong Kal terus. Kasian juga nih sama Papah, mau kerja tapi ngantuk. Kal nangis terus sih."
Ya ampun, lembutnya nada suara Ghifar.
Andaikan aku menyerahkan diri pada Ghifar lebih awal. Sepertinya Kinasya sekarang fokus untuk pendidikan dokternya, bukannya memberi Ghifar keturunan kembali.
Aku geleng-geleng seorang diri, karena teringat kisah nakalku bersama Ghifar.
Ya ampun, Canda. Ingat suami, sadar diri.
Aku segera ke luar dari kamar, sebelum khayalanku dengan suami orang bertambah kacau.
Aku memilih untuk bergabung dengan Winda, ia tengah bersenda gurau dengan anak-anakku dan suaminya di halaman belakang.
Saat aku belum memiliki anak, aku tak seperti mereka. Kenapa ya bisa aku tak seperti mereka? Ada apa denganku? Atau ada apa dengan suamiku? Adakah yang bisa menjawabnya?
...****************...
Bantu sundul, Kak 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sukses
2022-11-29
1
Jujuk
itu kok kasian banget rumah nya kayak India. gabung jadi satu.
2021-12-22
2
Edelweiss🍀
sabar Canda ini ujian🤧🤧
2021-11-22
2