Saat ia selesai bercipika-cipiki ria, ia menoleh padaku dan tersenyum ramah padaku.
Hanya itu, tanpa berjabat tangan.
Lalu ia berlalu pergi ke luar dari dalam kamar kami.
Cemburu?
Mungkin sudah tidak aku rasakan.
Hanya saja, aku merasa harga diriku diinjak-injak sebagai seorang istri.
Aku meliriknya sekilas, tetapi suamiku malah fokus untuk mengangumi wajah Mikheyla yang masih duduk di pangkuanku.
Apa mas Givan tak melihat wajah masamku?
"Mas mau makan, Canda." suamiku jarang sekali menyebutku dek, padahal itu terdengar nyaman di telingaku.
"Ya, Mas." aku bergegas menuju ke arah dapur, membiarkan Mikheyla bercakap-cakap bersama ayahnya.
Aku melayani suamiku dengan sepenuh hati. Menyanggupi untuk membantunya buang air kecil dan besar, meski dia hanya memiliki luka ringan di kepalanya.
Hidupku berjalan seperti biasa, selama beberapa hari ini. Dengan tugas tambahan, merawat mas Givan yang tengah terluka tersebut.
Namun, pada suatu ketika. Aku melihat Ghifar memperhatikan mas Givan dalam diam. Aku berada di jangkauan Ghifar, maka dari itu aku bisa melihat arah pandangannya.
Kepalanya menggeleng, lalu ia menyugar rambutnya. Helaan nafas beratnya terdengar.
Apa Ghifar mengetahui sesuatu tentang mas Givan?
Kenapa kakak beradik ini selalu memenuhi pertanyaan di kepalaku?
Aku memberi jarak, saat Ghifar menyadari kehadiranku.
Aku berpura-pura sibuk dengan anak-anak, meski fokusku terbagi untuk memperhatikannya.
Bukannya aku mengaguminya. Tapi aku merasa, Ghifar seperti ragu untuk menanyakan sesuatu pada mas Givan. Itu terlihat jelas pada gerak-gerik Ghifar.
"Bang..." Ghifar berjalan mendekati suamiku yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.
Sedangkan aku, aku berada di bawah tangga. Karena Chandra dan Aksa tengah bermain di area ini.
Jaraknya lumayan dekat, karena masih dalam satu ruangan.
"Apa, Far?" mas Givan tengah menikmati potongan buah mangga yang aku kupaskan untuknya.
"Aku ngusir perempuan tiap hari. Aku risih, kalau ada tamu perempuan." urat wajah Ghifar terlihat kesal.
Ia melirik ke arahku. Cepat-cepat aku membuang wajahku ke arah lain.
Aku yakin, Ghifar ingin memastikan sendiri. Bahwa aku tak mendengar ucapannya dengan mas Givan.
"Ck... Biarkan ajalah dia bertamu." jawab suamiku santai.
Aku tidak mengerti, siapa yang mereka maksud.
"Ini sih lagi ngomong sendiri. Bukannya ngungkit-ngungkit. Toh, aku juga udah berumah tangga." Ghifar kembali melirik padaku.
Aku jadi tidak tenang menguping pembicaraan mereka. Apa lagi, aku sembari mengawasi dua bocah laki-laki ini.
"Apa, Far?" suara tegas suamiku terdengar jelas.
"Dia memang bukan tujuan aku lagi, sejak saat kau nikah sama dia. Aku pun banyak berkorban, untuk kebahagiaannya sama kau. Kalau memang, kau tak mikirin tentang dia lagi. Cobalah pikirkan tentang pengorbanan aku selama ini. Bukan aku pengen memihak ke dia, terus rebut dia dari kau. Tapi, cobalah tengok apa yang kau punya. Setidaknya, bersyukurlah karena udah punya istri dia. Ingat dulu, Bang. Kita sampai berantem, lama kita tak ngobrol, cuma gara-gara dia. Bukannya kau dulu? Yang sampai perk*sa dia, biar dia tak lanjut sama aku? Giliran kau udah dapat semuanya, kau malah persilahkan orang ketiga untuk masuk. Fira aku halang-halangi, malah kau biarkan j*lang bertamu di rumah ini."
Apa???
Ada tamu yang diusir oleh Ghifar?
Jika didengar dari ucapan Ghifar, tamu tersebut adalah tamunya mas Givan.
Sejurus kemudian, aku memahami ucapan Ghifar.
Aku menunduk, mencoba tegar, mencoba mencerna ucapan Ghifar barusan. Aku menguatkan diriku, bahwa Ghifar tadi hanya salah berbicara.
Namun, mas Givan hanya terdiam tanpa meluruskan ucapan Ghifar. Berarti, itu benar adanya?
Masalah tentang uang saja, aku masih belum mengetahuinya. Sudah ditambah lagi dengan pihak ketiga?
Ah, aku harus berbuat sesuatu.
"Aksa sama bunda, ya? Mak wa mau beli susu kak Key dulu." aku menggendong Chandra, lalu menggandeng Aksa.
Membawa Aksa naik ke lantai atas, untuk bermain bersama ibunya.
"Key...." aku menyerukan suaraku di lantai dua ini.
"Di kamar Ma, Biyung." sahutannya terdengar setengah berteriak.
Aku melangkah ke kamar milik Ghifar. Kamar dengan pemandangan halaman depan rumah ini.
"Ma lagi ngidam, Key. Key sama Biyung yuk?" aku mengajaknya untuk keluar dari kamar ini.
Aku kasihan, karena Kinasya tengah hamil muda.
"Aku tak apa, Kak. Biarin ajalah dia di sini. Aku butuh kawan ngoceh."
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat kamar itu begitu berpasir. Jika kamar kami seperti ini, mas Givan akan marah besar.
"Barangkali Kal mau tidur, Kin." aku merasa tidak enak hati, karena Mikheyla selalu bersama Kinasya.
"Kal tidur juga biasa sama bapaknya. Biarin aja, Kak. Mumpung Ghifar ada di rumah."
Setahuku, Kinasya memang dilarang Ghifar untuk menggendong-gendong Kalista. Tapi dirinya begitu pengertiannya, mengambil alih Kalista setiap kali anak itu merengek meminta gendong. Bayi enam bulan tersebut, lebih sering digeletakan di atas tempat yang empuk. Ketimbang digendong-gendong. Hanya saat menangis dan ingin ASI saja, Kalista digendong dan didekap.
"Ya udah. Aku mau ke luar dulu sebentar, mau ke warung." ini hanya alasanku saja.
"Ya, Kak." Kinasya kembali bermain bersama Mikheyla.
Aku kembali menuruni anak tangga dengan berhati-hati. Chandra pun anteng, dalam gendongan jarik.
"Mas... Aku mau ke warung sebentar." aku kembali beralasan pada mas Givan.
"Ya." hanya itu, tanpa perhatian lainnya. Atau setidaknya, tanyakan tujuanku ke warung untuk membeli apa.
Aku melangkah ke luar rumah, di jam sepuluh pagi ini. Tujuanku kali ini adalah toko material kami, tempat usaha kami.
"Ehh, Kak." pekerja baru di toko material kami terlihat kaget, saat melihat kehadiranku.
"Mau pinjam buku panjang." aku tersenyum ramah padanya.
Bukan aku tidak percaya dengan suamiku. Hanya saja, aku yakin Ghifar tidak berbohong. Ia tidak mungkin mengarang tentang laba tujuh juta dari usaha mas Givan sedangkan dirinya sendiri jelas kelebihan uang. Masalah itu tidak penting untuknya, jadi buat apa Ghifar sampai mengarang cerita?
Itu jelas tidak mungkin.
Untungnya Chandra tertidur dalam gendongan jarik, yang memberati pundakku. Jadi aku bisa dengan jelas, melihat rinci hasil keuangan usaha kami.
Mataku melebar, aku tidak percaya. Bahkan lebih dari yang Ghifar ucapkan.
Sembilan juta lima ratus ribu, tertulis jelas di hasil akhir bulan ini.
Aku menarik kembali lembaran di bulan sebelumnya. Kembali aku dibuat terkejut, hasil tujuh juta. Selama lima bulan berturut-turut, tertulis rapih di hasil bersih bulan sebelumnya.
Mataku berkaca-kaca, aku merasa diriku benar-benar tidak dipentingkan lagi. Sampai-sampai, mas Givan tak mengatakan yang sebenarnya padaku.
Aku duduk di kursi, menutup wajahku dengan kain jarik yang terselempang di bahu kananku.
Ya Allah, Mas.....
Sampai hati. Padahal aku istrimu sendiri.
Apa kau tak ingat, saat kau divonis tidak subur?
Apa kau lupa, saat aku merelakan mas kawinku ditukar dengan beras dan membeli motor untuk kau?
Apa kau lupa, saat aku menerima Mikheyla dengan lapang dada? Meski aku sadar, bahwa Mikheyla adalah anak orang lain.
Masalah uang kau sembunyikan dari istri kau sendiri? Setega itu kah kau, Mas? Setidak penting itukah hidupku untuk kau, Mas? Apa kau tak berpikir, bahwa aku ini kewajibanmu?
Lihatlah aku yang tak terurus, dengan pakaian yang koyak, lalu dijahit kembali karena aku membutuhkannya.
Kau keturunan orang baik, Mas. Ibu mertuaku selalu berbelas kasih padaku, merawatku, pakaian dan perutku Mas. Sedangkan diri kau sendiri, kau malah repot menyembunyikan uang kau.
Sebaik-baiknya laki-laki, dialah yang bisa memuliakan wanitanya.
Jangankan memuliakanku, memujaku bak ratu. Menghargai posisiku sebagai istri pun, rupanya kau tak mampu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Sumi Yati
berdesir hati baca nya
walaupun rada bingun😅
2022-03-10
4
Alea Wahyudi
sakit hatiku canda tersiksa batin gitu....😭😭😭
2022-01-28
2
Edelweiss🍀
tak bisa ku bayangkan setega itu suamimu Canda🥺
2021-11-22
2