"Yang cerdas. Kalau memang dapat yang kaya, pindahkan hak milik asetnya atas nama kau. Biar suatu saat, hal buruk kek gini terulang lagi. Biar laki-laki kau yang pergi tanpa apa-apa, jangan kau yang pergi."
Ya, aku mengerti. Ibu mertuaku seperti ini. Aset milik ayah mertuaku, atas nama ibu mertuaku semua. Jika pun ada atas nama ayah mertuaku, itu memiliki surat kuasa atas nama ibu mertuaku.
"Bentar, aku bayar dulu. Biar sisanya bisa kau bawa." Ghifar berjalan, dengan menggendong Chandra.
Chandra mudah tertidur sepertiku saat mengandungnya.
Aku tidak mengerti, kenapa mas Givan sampai memintaku untuk membawa Chandra. Padahal, Chandra adalah darah dagingnya. Apa karena Chandra mirip denganku, bukan mirip dengannya? Membuatnya tak menyayangi Chandra, seperti ia menyayangi Mikheyla.
Mikheyla sampai ia ambil alih. Sedangkan Chandra, ia sampai memintaku untuk membawanya pergi.
Jika besar nanti Chandra tahu tentang ini, pasti ia begitu marahnya pada mas Givan.
"Nih, pegang. Aku tak punya uang lagi, adanya segini."
"Tak usah lah, Far. Buat pegangan kau aja."
Aku mengetahui, bahwa yang mengatur keuangan Ghifar adalah istrinya. Ghifar hanya diberi uang cash, untuk membeli bensin saja setiap harinya. Karena, untuk makan siang. Kinasya membuat bekal untuk suaminya.
Meskipun Ghifar terbilang kaya raya, tapi keadaannya belum stabil.
"Di ATM tuh, ada sekitar enam puluh. Itu uang pribadi aku, dari travel aku di Bali. Setiap bulannya masuk hampir satu miliar, tapi langsung kepotong leasing sama bayar beberapa pihak. Karena aku masih ada kredit mobil. Mungkin, bersihnya sekitar ratusan. Kau pakailah, kalau keadaan kau memang belum ada."
Mengerikan.
Aku takut malah kartu ATM ini hilang, atau ditelan mesinnya.
"Nih, pegang. Buat ongkos mobil." Ghifar memberikan uang tunai, yang masih ia genggam. Mungkin, ini adalah kembalian dari membayar makanan tadi.
Sejumlah seratus lima puluh lima ribu, yang terpaksa aku genggam karena paksaan dari Ghifar.
"Semangat!" Ghifar tersenyum manis padaku.
"Percaya atau tak. Saat di rantau orang, kita malah bakal nemu jalan sukses kita." Ghifar memberikan Chandra padaku.
"Jangan di Medan ya? Aku takut." ungkapnya, saat aku tengah merapihkan kain jarikku.
"Takut kenapa?" aku bangun, lalu mencangklek tas milikku.
"Takut iman kau tak kuat. Di sana kota modern."
Aku berjalan mengekori Ghifar, yang masih mengatakan sesuatu tersebut.
"Aku antar ke kampus. Setelah itu, kau harus jaga diri." Ghifar menarikku kembali ke motornya.
"Tak usah, aku naik angkot aja." aku tak enak hati padanya.
"Cuma sampai kampus aja. Setelah itu, terserah kau mau ke mana. Jangan kabarin mamah papah, biar nanti mereka tau sendiri. Kalau mereka lagi pulang ke sini." Ghifar telah bersiap di atas motornya.
Aku mengangguk, lalu naik ke atas jok motornya.
Pantas Ghifar banyak berbicara padaku, karena setelah ini kami tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
Beberapa saat kemudian, aku telah diturunkannya tepat di depan kampus.
Dari sini, aku bisa melihat perempatan lampu merah yang tergolong sepi. Aku heran dengan tempat ini. Penduduknya banyak, tetapi hanya para laki-laki yang sering berlalu lalang seperti ini.
"Ke sana terminal, ke sini bandara, lurus kota." Ghifar menunjukkan arah yang sama persis seperti yang Winda jelaskan.
"Ya, Far." aku mengerti, aku akan menuju ke terminal saja. Karena, aku merasa ongkosku tidak cukup.
"Sok." Ghifar masih terdiam di atas motornya.
"Yaa... Kau pulang dulu aja, Far." aku tak mau Ghifar mengetahui tujuanku pergi.
"Kau dulu! Aku deket aja." Ghifar masih anteng di atas motornya.
"Ya, udah. Aku nitip Key ya? Tolong didik dia betul-betul. Kalau kelak aku berhasil. Key aku bawa, kalau Fira izinkan." aku khawatir, pada gadis kecil keturunan suamiku yang begitu menggemaskan itu.
Mikheyla tidak tahu apa-apa tentang ayahnya. Hanya saja, aku takut Mikheyla mendapat nasib buruk dari tingkah ayahnya.
"Kau tenang aja, Key aku anggap anak sendiri. Pasti aku didik dia betul-betul." sahutnya dengan tersenyum lebar.
Aku mengangguk, lalu berbalik dan melangkah pergi. Aku berjalan sebentar, lalu memilih berbelok ke arah kiri. Menuju ke arah terminal.
Aku akan mencari bus, untuk ke kota....
Ke kota mana ya?
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Melihat jejeran ruko sepanjang jalan ini.
Tetap saja, kota ini terlihat sepi.
"Kak... Ke Padang, Kak."
Aku yakin, dia adalah seorang calo tiket bus.
"Ke Merak bisa, Kak. Delapan ratus aja." ia seolah tahu, bahwa aku dari pulau Jawa.
Aku menoleh ke belakang, rupanya Ghifar malah mengendarai motor mengekoriku.
"Tak, Pak. Aku nunggu kawan." aku tersenyum ramah, pada calo tersebut.
Kembali aku menoleh ke belakang, Ghifar malah melajukan motornya ke arahku.
"Pulang lagi aja yuk? Nanti lagi kau perginya, biar aku anter akhir bulan nanti." Ghifar membujukku kali ini.
"Aku tak tega tengoknya. Tujuan kau ke mana sih? Takut kau malah kesasar." ia garuk-garuk kepala, setelah motornya berdiri dengan standar samping.
"Kalau ke Padang, busnya yang mana?" aku mengutarakan kota yang terkenal dengan rumah makannya itu.
"Yakin ke Padang?" tanyanya kemudian.
"Keknya ke sana aja." aku tersenyum penuh yakin.
"Ya udah, naik ke motor. Naiknya di terminal aja, kalau di sini banyak calo. Nanti ongkosnya lebih mahal." Ghifar mengajaknya untuk naik kembali ke motornya.
Satu yang aku pahami dari Ghifar. Ia terlihat khawatir padaku.
Aku segera naik, menurutinya menuju ke terminal.
Sesaat setelah sampai di terminal. Ghifar bercakap-cakap dengan orang sekitar, mungkin ia tengah menanyakan perihal bus untuk tujuanku.
"Pastikan sampai terminal ya, Pak cek?" Ghifar merangkulku, mengajakku berjalan menuju ke sebuah bus.
"Ya, Bang." mungkin yang menjawab itu adalah kondekturnya.
"Ini, Bang." kondektur itu memberikan tiketnya pada Ghifar.
Ghifar mengantarku sampai ke dalam bus.
"Ini tiketnya, nanti gampang dibayar di rumah sama Kin. Kondekturnya kawan papah di kampung, dia orang kampung kita." ujar Ghifar kemudian.
Aku mengangguk, "Ya, Far. Makasih." ucapku dengan duduk di bangku.
Aku tak percaya, Ghifar sampai mengutang agar uangku utuh.
Ghifar mengangguk, "Ati-ati ya? Aku pergi dulu." Ghifar menepuk pundakku.
"Hei, Gam. Jagain Biyung ya?" Ghifar menunduk, untuk bisa mencium Chandra yang masih tertidur.
Lalu ia berjalan menjauh, ke luar dari dalam bus ini.
Aku merogoh ponselku. Ponsel pemberian mertuaku sudah dijual, untuk menyambung keperluanku dan mas Givan. Sekarang yang aku genggam, hanya ponsel android dengan RAM kecil.
Apa lagi sekarang, tanpa kuota dan pulsa. Jika di rumah, aku masih bisa mengandalkan WiFi. Namun, jika berada di luar rumah. Ponsel ini tidak bisa digunakan.
"Canda!"
Aku terkejut bukan main, saat seseorang menyodorkan sesuatu.
Sampai ponselku terjatuh, mengenai tubuh Chandra yang masih pulas tertidur.
...****************...
Apa Givan datang buat jemput?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
😭😭😭😭😭 miris bgt si canda
2022-01-28
1
Edelweiss🍀
aku sadar betul kisah ini pasti bkin nangis bombay, bikin greget smpai2 gak puas jalau gak maki2 tkoh jahatnya. tpi aku suka banget sama kisah2 sedih, seolah menyadarkanku bahwa masih banyak yg lbih susah dari aku, lebih pahit hidupnya dari hidupku. jd bsa buat aku selalu bersyukur, semacam booster gitulah dlam menjalani hari2 yg penuh dgn problem☺️
2021-11-22
3
Ahmad fadli Pratama
saya sampai ulang bacanya. bisa jd itu si givan. ngasikan surat nikah nya. biar canda mudah ngurus surat cerai. kan. dia udah jatuhkan talak sama canda.
2021-11-19
3