Keuntungan dari toko material kami hanya dua juta yang aku tahu. Satu juta lima ratus ribu, bang Givan berikan padaku setiap hari lima puluh ribu untuk jatah uang belanjaku. Lalu lima ratus ribu, mas Givan bayarkan untuk hutang Bank.
Aku memiliki hutang di Bank, dengan jaminan BPKB motor kami. Kami terpaksa mencari hutang, karena butuh untuk pegangan saat masa persalinanku.
Meski segala sesuatunya dibiayai oleh mertuaku, tapi tetap saja kami harus memiliki uang untuk keperluan lainnya.
Akhirnya aku dan mas Givan memutuskan untuk hutang pada pihak Bank, untuk mengurus biaya yang tidak diketahui oleh kedua mertuaku. Apa lagi, mas Givan selalu menolak jika memang mertuaku memberikan padanya langsung.
"Maaf." kini hanya kata itu, yang keluar dari mulutku.
Aku tidak berani lagi, untuk mengungkapkan yang ada di benakku.
Bahkan, perihal tujuh juta laba dari penjualan. Aku tidak mengetahui sama sekali.
Jika aku mengatakan, bahwa aku tidak mendapat tujuh juta tersebut pada Ghifar. Pasti jika mas Givan tahu. Ia akan memarahiku, kemudian menyangka bahwa aku terlalu banyak bercerita pada mantan kekasihku ini.
Biar nanti kucoba membuka obrolan, saat mas Givan pulang dari toko sore nanti.
"Paling tak sukanya aku sama kau tuh ini! Kau gampangkan kebutuhan anak, kau beri barang yang tak layak untuk anak kau. Susu formula, bukan larutan gula!" Ghifar memarahiku dengan nada suara yang ditekan.
"Kenapa sih kau? Tak suka betul rupanya sama Key?! Apa karena Key anak Fira? Bukan anak kau! Setengah hati ya rupanya?!"
Aku ingin sekali berbicara baik-baik dengan Ghifar, tentang masalah yang ada pada kami. Sampai mulutnya selalu menuduhku segala hal, semua kesalahanku ia bawa untuk menghakimiku dan memarahiku.
Aku hanya tertunduk, karena air mataku jatuh tak tertahankan. Aku paling tidak bisa dibentak dan dimarahi seperti ini, aku cukup rapuh menyangga semuanya seorang diri.
"Papah... Jangan marah-marah aja!" Key menarik tangan Ghifar, mungkin ia merasa kasihan padaku karena dimarahi oleh seseorang yang ia sebut papah tersebut.
Ghifar disebut papah oleh Mikheyla, karena sebelumnya Mikheyla selalu diurus oleh Ghifar. Saat Mikheyla belum dipertemukan dengan ayah kandungnya, suamiku mas Givan.
"Kasih gelasnya, ayo ikut Papah." Ghifar membawa Mikheyla pergi dari jangkauanku.
Anak itu menurut. Saat baru bangun tidur seperti ini, Key terlihat begitu alim dan pendiam. Namun, jika nyawanya sudah terkumpul sempurna. Ia akan berubah menjadi kupu-kupu yang berterbangan.
Ia hinggap ke sana dan kemari, membuat keadaan rumah menjadi kacau balau. Luka lebam dan luka gores, sudah biasa dapatkan hasil kegiatannya berlarian tak tentu arah. Ia adalah gadis kecil yang tangguh, sayangnya suamiku sering memanjakannya.
Aku menatap punggung telan*ang itu semakin menjauh. Andai waktu bisa berputar kembali, aku akan berusaha mendapatkannya kembali. Sayangnya, nasib buruk berpihak padaku.
"Canda... Chandra BAB, kau bersihkan dia dulu. Sekalian mandikan." perintah mas Givan terdengar kembali.
Ghifar tak pernah berisik jika Mikheyla atau Kalista buang air besar, ia langsung membersihkannya sendiri.
Stop Canda! Kau tak boleh selalu membandingkannya dengan Ghifar. Bisa-bisa dosa kau terus bertambah, jika selalu menyeret nama Ghifar untuk menjadi bahan perbandingan dengan suami sendiri.
Aku menguatkan diriku sendiri, karena aku tak mau aku selalu memikirkan Ghifar.
Aku meninggalkan kegiatanku mengupas bawang, lalu segera mencuci tangan.
Setelahnya, aku menuju ke kamarku. Chandra terlihat risih, dengan kakinya yang terangkat semua.
"Ihh, udah bangun sih Nak? Mau ke mana sih? Pagi-pagi udah bangun aja, pasti mau jalan-jalan ya?" aku seperti orang gila, yang selalu mengajak berdialog bayi satu tahun ini.
Ocehannya terdengar seperti kicauan burung peliharaan ayah mertuaku, yang masih begitu subur beranak pinak bertambah banyak. Zuhdi begitu telaten, menjaga dan mengurus titipan ayah mertuaku tersebut.
Aku segera melepas diapersnya dan memandikannya. Setelahnya, aku langsung menyulapnya dengan bau minyak telon dan pakaian yang memiliki karakter gajah.
Chandra tidak gemuk, ia pun tidak terlihat kurus. Kadang aku iri, jika melihat paha berlipat milik Adiyaksa Karunasankara. Namanya mirip dengan keluarga ibunya asal Bali, dipadukan dengan nama ayah mertuaku yang mengadzhani Aksa selepas dilahirkan.
Tika pun setelah nifas, langsung memeluk agama Islam. Bukan lain, itu adalah bujuk rayu dari Ghavi. Membuat gadis keturunan Hindu tersebut, menjadi mualaf bersama anaknya.
Anak sulung Tika, dilahirkan lima bulan lebih dulu dari anakku. Meski Aksa sudah besar, tetapi badannya terlihat gempal dan sehat. Aku merasa iri, karena anakku tidak segemuk Aksa.
Namun, jika diselami lebih dalam. Cucu-cucu baru di keluarga ini, mengandung nama kakek neneknya. Sosok terbaik dan tersayang untuk semua orang.
Uhh, aku jadi bersedih hati jika sudah teringat akan mereka yang sekarang jauh berada di negeri orang.
Entah apa yang membuat mereka memutuskan untuk pindah ke Brazil. Padahal sebelumnya, ayah mertuaku begitu mencintai kampung halamannya.
"Mas, tolong pegangin Chandra dulu." aku mendekati suamiku yang berada di ambang pintu samping rumah ini.
Ohh, rupanya suamiku tengah menyambungkan telepon dengan seseorang.
"Ya, siang nanti aku berangkat. Biar malam nanti udah di tempat." mas Givan buru-buru mematikan sambungan teleponnya.
"Mas mau ke mana?" aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
Mas Givan menyunggingkan senyumnya, ini adalah hal yang tidak wajar.
Ia mengambil alih Chandra, kemudian mendaratkan kecupan di pipi kiri Chandra.
"Mas siang nanti mau berangkat ke Medan, ada reuni kawan kuliah dulu."
Sudah kuduga, di balik senyumnya ada sesuatu yang tidak terduga.
"Tapi...." ia menggantung kalimatnya.
Sepertinya ini tentang aku dan anak-anak kami, pasti ia tidak ingin mengajakku dan anak-anak.
"Tapi kau tak bisa ikut, hanya alumni tanpa pasangan masing-masing."
Sebenarnya aku sudah biasa saja dikecewakan seperti ini. Hanya saja, aku takut ia bertingkah. Lebih tepatnya, tentang teman wanitanya. Aku khawatir, ia menjalin perasaan baru dengan teman lamanya.
Aku mengangguk pada mas Givan, "Yang penting jangan ngesave kontak baru, pas balik dari reuni itu."
Terlihat ia tersenyum canggung. Aku memahami, ia ragu untuk syarat dariku ini.
"Mas tipe laki-laki setia, Canda." suamiku bertutur halus, jelas ini ada maksud terselubung.
"Ya, terserah Mas aja." aku meyakini tentang ini.
Sejauh ini, kami baik-baik saja tanpa pihak ketiga.
Aku meninggalkannya dengan Chandra, memilih untuk melanjutkan aktivitasku untuk menumis sayuran yang telah aku beli kemarin.
Biasanya aku belanja hari ini, tetapi aku memasaknya hari esok. Selalu seperti itu, siklus stok sayuranku setiap hari.
Sebenarnya, suamiku tidak pemilih tentang menu makanan. Hanya saja, aku jarang makan masakan sendiri. Karena aku bosan dengan menu yang ada.
Tubuhku pun sekarang terlihat lebih kurus, sama seperti saat aku di pesantren dulu. Lepas melahirkan, lemakku luruh besar-besaran. Namun, pada bagian part belakang masih terlihat menonjol. Karena, saat aku mengusahakan untuk hamil. Aku rutin olahraga bersama ibu mertuaku, ia mengajarkanku berbagai macam gerakan untuk pembentukan part belakang.
Rasanya aku ingin merawat diri, seperti yang Kinasya ceritakan.
Cantiknya Kinasya ternyata tidak natural. Ternyata, di balik perempuan cantik. Ada modal dan usaha yang selangit.
Aku pernah diajaknya untuk perawatan wajah, perawatan wajahku pun disanggupi olehnya.
Namun, rupanya Kinasya tidak hanya perawatan kecantikan seperti aku. Dagu dan hidungnya ternyata disuntikkan sesuatu. Aku cukup takut melihatnya, tapi hasilnya langsung terlihat.
Dagunya seperti memiliki belahan, rampingnya tulang hidungnya ternyata masih ditambahkan sesuatu di pangkal hidungnya. Pantas saja ia terlihat begitu sempurna. Ia sudah cantik, tetapi ia buat wajahnya bak bidadari.
Pantas saja Ghifar rajin menghamili Kinasya.
Akhirnya, masakanku sudah siap. Aku memanggil mas Givan, untuk segera mengisi perutnya.
Kemudian, aku mengurus Mikheyla. Memandikannya dan memakaikan baju yang gadis kecil itu inginkan.
Satu bulan sekali pun, Mikheyla tak pernah dibelikan pakaian. Mikheyla mendapat pakaian dari paman-pamannya saja, itupun aku menutupinya dari mas Givan.
Aku tidak mengerti dengan isi pikiran mas Givan, tapi ia pasti marah besar jika mengetahui kebenaran ini.
"Makan belum, Kak? Biar Key sama Chandra aku yang jaga, Akak sarapan dulu aja." Winda baru turun dengan penampilan urakan.
Winda adalah menantu yang sering dimarahi oleh ibu mertuaku.
Mungkin karena tingkahnya yang suka menggerutu, juga sedikit berbeda dengan perempuan yang ada di rumah ini.
...****************...
Kalau ada pertanyaan dari Canda, tolong jawab ya 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Mafa
berulang ulang baca part ini masih aja bikin aku nangis😔😔
2023-01-17
1
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-11-29
1
Alea Wahyudi
Ghifar knp sllu nyalahin canda....harus nya kau tanyakan baik2 SM canda
2022-01-28
2