"Kita makan dulu."
Aku merasa, aku terlihat murahan.
Baru saja aku ditalak secara tidak langsung oleh suamiku. Eh, aku malah langsung menerima ajakan Ghifar untuk makan bersama.
"Aku tak mau! Aku turun aja." aku sebenarnya tak berani untuk mengatakan penolakan ini.
"Ini tengah ladang. Ladang mirip alam liar, kau yakin mau turun di sini?" Ghifar masih melajukan motornya.
"Tapi aku tak mau kek gini." mungkin ini akan menjadi percakapan paling banyak antara aku dan Ghifar.
"Biarpun aku laki-laki, aku tetap adik ipar kau. Kau tenang aja, aku tau batasan."
Entah mengapa, aku selalu mempercayai ucapannya.
Hingga beberapa saat kemudian, jalanan besar terlihat di depan mataku.
Ohh, jadi dari tengah ladang bisa menembus ke jalan besar. Aku baru mengetahui hari ini, setelah lima tahun aku tinggal di sini.
"Tadi yang kita lewati, itu jalur panen. Makannya tak diaspal. Karena jalurnya terbentang di lahannya mamah. Dulu juga mamah yang nyuruh orang, buat bikin jalan di tengah ladang ini." jelas Ghifar tanpa aku minta.
"Kin suka makan di sini. Katanya sih, namanya nasi liwet."
Oh, jadi segila itu Ghifar pada istrinya?
Mas Givan boro-boro tahu makanan kesukaanku, apa lagi tempat makan favoritku.
Duh, aku lupa.
Bahkan aku makan di tempat makan, jika diajak oleh ibu mertuaku saja.
"Bikin dua, Pak cek. Makan di sini." Ghifar berjalan mendahului, kemudian langsung menyapa akrab orang yang berada di dalam rumah makan sederhana ini.
"Sini, Chandra sama Papah." Ghifar tak mau dipanggil om, ia lebih memilih dirinya dipanggil papah oleh keponakannya sendiri.
Ghifar menoleh ke arahku, sesaat dirinya akan mengajak Chandra berjalan-jalan.
"Kau duduklah di situ! Atau, cuci muka kau dulu. Kau jelek betul, Kakak ipar."
Aku sampai tersenyum tertunduk. Ia bisa saja, menghibur suasana hatiku yang tengah kacau.
Rumah makan ini terlihat sepi, mungkin karena letaknya sedikit terbelakang dari jalan besar.
Bangunan ini dibangun tepat di ujung ladang milik mertuaku. Namun, letak bangunan ini tidak begitu besar. Ditambah lagi, bangunan di sebelahnya terlihat maju beberapa meter. Membuatnya tidak terlihat, atau hanya terlihat seperti tanah kosong, karena parkirannya yang terlihat cukup luas.
Aku langsung berkaca diri, setelah menemukan toilet di dalam rumah makan ini.
Benar kata Ghifar, aku terlihat jelek.
Aku segera membasuh wajahku, kemudian mengeringkannya dengan tisu yang tersedia.
Cukup terlihat fresh, hanya dengan basuhan air saja.
Aku melihat penampilanku dari pantulan cermin. Aku hanya mengenakan rok panjang, dipadukan dengan switer, karena aku mengenakan kaos lengan pendek. Hijabku pun, aku masih mengenakan hijab instan rumahan.
Aku masih tidak percaya, di usia dua puluh tiga tahun ini aku menjadi janda. Jika aku berkuliah, maka aku tengah sibuk-sibuknya mencari tempat kerja sekarang. Bukannya malah memikirkan nasibku dan anakku.
Jika saja, aku menerima tawaran ayah mertuaku dulu untuk melanjutkan kuliah. Pasti, saat aku pontang-panting mencari pekerjaan nanti. Hasil pendidikanku cukup menunjang profesiku nanti.
Sayangnya, aku malah memilih untuk tidak lanjut kuliah. Dengan alasan, aku ingin fokus pada suamiku.
Bodoh memang. Yaa, itulah aku.
Penyesalan memang berada di akhir. Jika diawal, itu namanya pendaftaran.
Jika semua sudah seperti ini. Aku malah ingin memaki bibiku yang memintaku untuk menikah dengan mas Givan.
Sebenarnya, apa yang bibiku pandang dari mas Givan?
Apa ia kasihan, saat menjenguk mas Givan di sel dulu?
Apa ia menerima bayaran dari mas Givan? Kalau dirinya bisa bebas dari jeruji besi.
Tapi, sepertinya bibi Hana tak membutuhkan uang. Peternakan sapinya sudah berkembang menjadi tempat wisata sekarang.
Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, biar aku tambahkan kuah dan suwiran ayam saja. Maka akan siap menjadi bubur ayam.
Aku yakin, hidupku tidak akan sia-sia karena nasib buruk ini.
Ya, aku hanya memerlukan pelengkap kebahagiaan saja.
Jika bubur saja, masih enak dinikmati dengan kuah dan suwiran ayam. Pastilah nasibku ini juga bisa membawa kebahagiaan, jika aku menemukan pelengkapnya.
Seperti bubur yang aku contohkan tadi.
Senyum Canda! Kau harus bisa mencapai kebahagiaanmu sendiri. Karena suamimu sendiri, tak mampu untuk membahagiakanmu.
Aku mencoba menguatkan hati, agar aku tidak terus-terusan bersedih seperti ini.
Aku melangkah menuju ke tempat Ghifar tengah bersantap. Ghifar masih terlihat sama, dari terakhir aku menontonnya makan saat dirinya tengah menikmati makanan buatanku di jam istirahatnya. Saat ia bekerja sebagai OB, di salah satu rumah sakit kota Cirebon dulu.
Ghifar tak banyak berubah. Meski ia pernah terlihat begitu kurus, saat ia pulang merantau dari Bali.
Namun, ia kini terlihat gagah dan terawat. Jelas itu hasil jerih payah istrinya, yang selalu memaksanya mencicipi makanan buatan istrinya. Kinasya adalah dokter, tetapi hobinya memasak. Unik menurutku.
"Makasih ya?" ucapku setelah berada di sampingnya.
"Enak aja, bayar sendiri lah. Main makasih-makasih aja."
Mataku membulat. Aku kaget mendengar penuturannya itu. Jelas maksudku bukan tentang traktirannya makan kali ini, tapi telah mengulurkan rasa kepeduliannya untukku.
Ia melirikku sekilas, lalu tertawa renyah dengan mengunyah mentimun.
"Udah, makan dulu. Tenang, Kin udah kasih sangu buat aku tadi."
Kenapa Ghifar selalu membawa nama istrinya? Apa ia takut kita khilaf kah?
"Chandra makan apa?" aku melongok, melihat wajah anak laki-laki yang anteng di pangkuan Ghifar.
"Makan timun juga." Ghifar menjawabnya, karena Chandra belum bisa menjawab pertanyaanku.
Baik lah, sepertinya memang aku harus makan terlebih dahulu.
Karena Ghifar terlihat lahap, menandakan bahwa makanan ini memang enak.
"Rumah makan ini, ramai kalau musim panen aja. Karena kuli angkut, biasanya pada istirahat di sini. Yaa, meski kek gitu. Tapi orang jauh ada aja yang nanya keberadaan rumah makan ini. Karena nasi liwet di kabupaten ini, cuma ada di rumah makan ini. Ya kalau di kota sih, mungkin banyak."
Aku tak mengerti, kenapa Ghifar berbeda sekali saat berada di rumah.
"Sok makan." Ghifar menyodorkan lauk pauk tambahan, yang berada di tengah-tengah meja.
Aku hanya mengangguk, karena mulutku tengah terisi penuh.
Setelah selesai menikmati menu kesukaan Kinasya ini. Aku lanjut menikmati es teh manis, yang begitu dingin di tenggorokanku.
Sejuknya hati, padahal baru beberapa menit mendapat hantaman kuat.
Aku yakin, es teh manis bukanlah obat hatiku.
Mungkin, karena Ghifar yang tengah mencoba melipurkan laraku.
Arghhhhhh...
Sudahlah, Canda. Kau berdosa, jika terlalu kege'eran pada makhluk semanis Ghifar.
"Jadi, tujuan kau ke mana?" tanyanya, dengan menepuk-nepuk paha Chandra.
Dengan mudahnya, Chandra terlelap saat sesi makan tadi.
"Tak tau, Far." memang aku tak memiliki tujuan pergi.
"Kau ada uang berapa?" tanyanya dengan menarik dompetnya yang terduduki olehnya.
"Aku, cuma punya satu juta delapan ratus." hanya sejumlah itu, yang mampu aku kumpulkan dari membantu Winda membuat sovenir.
Sisanya, telah aku gunakan untuk membeli sabun cuci mukaku dan deodorant.
Sumpah demi apapun, suamiku bahkan tak memikirkan jika istrinya bau badan. Bahkan, sekedar sabun cuci muka saja. Ia mengatakan tak memiliki uang untuk membelinya, setiap kali aku memintanya.
Tapi herannya, ia mampu menyisihkan uang untuk membeli sabun cuci mukanya sendiri. Bahkan parfum, yang memiliki harga kisaran ratusan.
Aku tahu jika parfum itu memiliki harga lumayan, karena aku sempat begitu penasaran saat mas Givan mengatakan. Bahwa harga parfumnya hanya sekitar tiga puluh ribuan saja.
Saking tidak percaya aku, aku sampai searching dalam google. Untuk mencari tahu, harga parfum yang suamiku beli sendiri.
"Nih.....
...****************...
Ada yang penasaran kenapa Ghifar berubah drastis?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Wenty Lucia Wardhani
beneran deh aku kalo punya laki kek gitu ,biar aja aku cerai ,5 tahun itu kelamaan kita liat pribadi org tuh cukup 5 bulan kita uda tau sikap ..kmu mah canda terlalu ...terlalu sabar kalo aku mah ogah ...50ribu sehari mana cukup ,makan tempe doang ,gini hari pake kuota ,pake snicerr kata org keeren ,baju mau dibeli ...haduh ini cerita kayak kehidupan nyata ,fix diluaran sana mungkin ada yg kek gini ,aku bilangin jangan mau !!!😝
2021-12-24
2
Edelweiss🍀
Ghifar baik banget, tp sayang udh mantan.
2021-11-22
2
Een Bunda Al-fatih
canda berada diposisi terhimpit Kaka beradik.jangan sampai canda salah langkah dan malah memperkeruh hubungan semuanya.hati2 dalam bersihkap canda.jadikanlah masalahku sebagai pembelajaran.jadilah kuat demi anakmu.buat givan menyesali tindakannya dan jangan pernah mau balikan sama givan.ghifar tolong dukung canda sampai sukses.jangan pernah bermain hati kalau tidak ingin hidup kau hancur
2021-11-18
4