"Aku ada satu juta lebih. Rencananya, aku memang mau merantau ke daerah ini." aku memutuskan untuk menyimpan masalahku dulu.
"Yungggg......"
Aku menoleh ke arah Chandra. Ia tengah mengerucutkan bibirnya, sesusah itu ia memanggilku.
"Apa, Nak?" kak Anisa mengajak berbicara Chandra.
"Jangan bobo dulu, mamam dulu. Nanti ya? Tungguin om Dendi balik bawakan makanan buat Chandra. Chandra mainan dulu aja, Ok? Nih, nonton TV aja. Tante nyalain ya TV-nya?" kak Anisa bangun, lalu mengoperasikan TV yang tergantung di tembok tersebut.
Chandra manggut-manggut, ia fokus pada televisi yang tengah menayangkan film luar negeri.
"Ada saudara di sini? Atau rencana lainnya bagaimana, Kak? Kakak merantau? Sedangkan bawa anak? Kakak gimana bisa kerja?"
Deg....
Benar juga, aku malah tidak terpikirkan.
"Hmm..." aku ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Satu juta itu, sedikit loh Kak. Apa lagi, kalau memang Kakak ambil kos sendiri. Belum lagi, Kakak gak ada pakaian. Pagi cuci, pakai sore. Gitu terus siklusnya, karena Kakak cuma ada dua baju sama yang dipakai di badan Kakak."
Sepertinya, aku harus mencari jalan keluar. Aku tak enak hati, jika harus menggunakan uang dari Ghifar. Apa lagi, jika aku malah merepotkan kak Anisa.
"Aku ditalak suami, Kak. Mertua lagi tak ada di rumah, jadi tak ada yang bisa nengahin hubungan aku sama dia. Aku kalap, pikir aku, yang penting bisa ke luar dari rumah itu aja dulu. Tapi, keknya aku kurang pertimbangan." aku bercerita garis besarnya saja.
Aku terkejut, saat kak Anisa memelukku tiba-tiba.
"Ya ampun, pantesan raut wajah Kakak kek orang pusing." ia menepuk-nepuk punggungku.
Aku menangis kembali. Aku tidak bisa, jika dipeluk dan mendapatkan belas kasih dari orang lain seperti ini. Aku begitu miris pada kehidupanku, yang memerlukan belas kasih dari orang lain.
"Jangan sedih lagi, Ok?" ia melepaskan pelukannya.
"Kakak di sini aja dulu, uang itu pakai aja buat keperluan Kakak. Kalau aku kerja, Kakak belum makan, Kakak beli makanan buat Kakak sendiri. Kalau ada aku, biar nanti aku yang belikan. Kita bareng-bareng dulu. Sampai keadaan Kakak baik-baik aja." ia tersenyum lebar, sampai matanya terlihat begitu sipit.
"Aku tak enak, kalau repotin Kakak terus-terusan." aku berterus terang.
"Hmm... Kalau Kakak kerja, gak mungkin. Nanti Chandra sama siapa? Jam kerja aku gak nentu. Karena kerjaan aku gak tetap, Kak. Tadi aja, nyanyi dari jam delapan sampai jam sepuluh aja. Besok ada jadwal, dari jam satu siang." aku sedikit mengerti tentang pekerjaannya.
"Nanti aku rundingkan sama tetangga kontrakan ya, Kak? Soalnya di sini banyakan laki-laki bujang, males nyuci, males masak, apa lagi pompa air suka ngadat." aku mengerti maksudnya. Sepertinya pekerjaan itu pun, bisa aku kerjakan sembari menjaga Chandra.
Aku tersenyum, "Boleh, Kak. Nyuci, masak pun tak apa. Yang penting, aku bisa stabil aja dulu." aku langsung menyetujuinya.
"Ok, sip. Kakak jangan banyak pikiran dulu. Nanti aku juga bilang ke mereka, Kakak lagi masa idda, biar tak diganggu mereka. Kita bareng-bareng aja dulu di sini. Makan seadanya ya, Kak? Aku pun orang dadak nyari uang."
Aku berterima kasih ya Allah, telah dipertemukan oleh orang-orang baik.
"Kakak tinggal bareng pacar, atau suami?" tanyaku pada kak Anisa.
Ia menggeleng, "Aku ke sini, karena nyariin tunangan aku yang janjiin nikah satu tahun yang lalu. Tapi, malah kejebak di kota ini. Mau pulang, malu sama tetangga karena gak jadi nikah. Jadi ya udah, tenangin pikiran aja dulu di kota ini." cerianya masih terdengar tidak jelas. Aku tidak boleh langsung percaya lebih padanya.
"Terus kek mana? Ketemu tunangannya?" tanyaku kemudian.
"Jadikan dulunya, aku sama Bobby ini kerja bareng di pabrik MM2100. Bobby orang Padang, aku dari Jawa. Aku pacaran tuh dua tahun sama Bobby, dari aku mulai kerja di pabrik itu. Kenal dia juga di pabrik itu, Kak. Terus, dia ngajak tunangan. Aku bawa balik dia ke Jawa, terus tunangan besoknya. Aku sama keluarga tuh heran, tunangan kok gak ada pihak dari Bobby. Tapi Bobby alasan tuh, kalau ongkosnya mahal. Habis itu, lancar hubungan aku selama delapan bulan. Habis delapan bulan tinggal bareng, kerja bareng di Cikarang. Dia balik ke Padang, dengan alasan orang tua meninggal. Pas satu tahun, di mana Bobby janjikan buat menikah, Bobby gak pernah hubungi aku lagi. Aku carikan kan dia di sini, di Pariaman. Ternyata, Bobby ini udah nikah. Ya Allah, sesak betul aku rasa. Nabung bareng, tidur bareng, makan bareng, kerja bareng, dia nikahnya sama orang lain. Aku bilang ke orang tua, bahwa Bobby udah nikah. Tapi sampai sekarang, aku malu sama tetangga, karena aku di sana jadi omongan. Orang yang udah tunangan, terus gak jadi itu. Beuh, Kakak paham kan mulutnya tetangga? Jadi aku mutusin buat merantau di sini aja lah. Sekalian refreshing, dari pada balik kampung. Bisa stress aku, Kak." di akhir cerita kak Anisa, kami tertawa bersama.
"Bolehlah aku ikut kerjanya." ungkapku, agar lebih yakin dengan profesi kak Anisa.
"Bisa nyanyi? Nanti kalau ada weeding gitu, Kakak aku ajak. Kalau beberapa hari ke depan, cuma di caffe-caffe aja."
Ok, aku bisa bersabar beberapa hari. Untuk meyakinkan diriku sendiri tentang kak Anisa ini.
"Nis...." suara laki-laki berada di depan pintu kamar.
Sepertinya, dia adalah orang yang diminta untuk membeli makanan oleh kak Anisa.
"Ya, Bang. Masuk aja." kak Anisa bergeser dari tempatnya.
"Hei, Adek. Belum tidur aja?" sapanya pada Chandra.
"Belum lah, nungguin makanannya. Kamu lama banget, Bang!" komplen kak Anisa, yang mengambil alih plastik di tangan pemuda tersebut.
"Oh, ini nih. Buatin aja dulu buburnya, kasian itu bocah." pemuda tersebut memberikan aku plastik putih berlogo minimarket.
"Tuh, Kak! Keliatan rak piringnya." kak Anisa menunjuk ke bagian belakang ruangan ini.
Ruangan satu petak, hanya terdiri kamar tidur. Satu kamar mandi dan satu buah dapur minimalis. Bahkan, antara dapur dan kamar tidur ini. Hanya disekat dengan lemari pakaian milik kak Anisa.
Aku segera membuatkan bubur instan untuk Chandra. Sebenarnya, Chandra sudah makan nasi. Tapi, ya sudahlah. Ini pun pemberian dari kak Anisa.
Aku mulai menyuapi Chandra, dengan pemandangan kak Anisa dan pemuda tersebut yang makan dengan lahap.
"Minggu depan ada job, grup kau mau tak tujuh ratus? Pesta kecil-kecilan, pesta keluarga aja." aku tidak mengerti pembahasan mereka.
"Gak tau, nanti aku sampaikan ke anak-anak. Jangan dilempar dulu job-nya, barangkali nanti anak-anak mau." sepertinya mereka tengah membicarakan pekerjaan.
"Ehh, Bang. Dari provinsi yang sama kan? Aceh juga saudara aku ini, kek asal daerah kamu Bang" lanjut kak Anisa, dengan menepuk pundakku.
Pemuda tersebut tertegun, ia terdiam dari kunyahannya. Ia fokus memandangku, yang tengah memangku dan menyuapi Chandra.
Apa ia mengenalku? Kenapa raut wajahnya membuatku bertanya-tanya selalu?
...****************...
Wajar ya Canda nyangkanya orang-orang kenal dia. Karena mamah Dinda di sana punya nama. Tapi ngomong-ngomong, ada apa nih dengan Dendi? Apa dia salah satu teman dari delapan saudara itu?
Oh, iya. Ngomong-ngomong, nanti up keduanya jam tiga sore aja ya Kak. Aku juga, lagi nabung naskah. Biar bisa crazy up gitu 😅 Insyaa Allah, konsisten up dua kali meski beda jam 🤗 harap maklum ya, Kak 😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
malah ghifar yg lebih peka dasar givan nafsu doang gedein
2022-01-29
1
Edelweiss🍀
Semoga saja Dendi memang kenal sama keluarga suaminya🙄
2021-11-22
2
HIATUS NYONYA Ris
dendi mungkin kawan si zuhdi...atau malah kawan si Givan sekalian...
hahaha
2021-11-21
2