Satu bulan sudah, aku berpura-pura tidak mengetahui perihal uang tersebut. Aku masih berperilaku wajar, mengabdi dan mengurus keluarga kecilku sepenuh hati.
Sayangnya, pengabdianku rupanya kurang memuaskan hatinya.
Hari ini, tamu yang Ghifar katakan pernah ia tolak. Kini diterima dengan baik oleh suamiku.
Ia membuka lebar pintu rumah ini, mempersilahkan wanita yang pernah mengantarnya itu untuk masuk.
Apa yang ada di otak kepalanya?
Wajah wanita tersebut sendu. Ia memberi tatapan yang terselip kode pada suamiku, mungkin karena aku masih berada di dekat suamiku.
Kalau memang mereka benar berteman, harusnya ia tidak keberatan dengan kehadiranku sebagai istri temannya.
Ini benar-benar tidak wajar.
Tiba-tiba, mas Givan menyentuh punggung tanganku.
"Buatkan minuman, Canda." pintanya kemudian.
Aku hanya mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu ini.
"Van, aku bener-bener diceraikan."
Langkahku terhenti, kala ucapan tersebut mengganggu pendengaranku.
"Terus kek mana?" aku tak percaya, saat suamiku peduli dengan teman wanitanya.
"Ya kita nikah lah, aku malu sama keluargaku. Kau harus tanggung jawab, aku udah telat."
Air mataku berkumpul di pelupuk mata, urat-urat tubuhku menegang. Rasa dingin, mulai merambat di sekujur tubuhku.
Apa-apaan ini?
Logikanya, tidak mungkin wanita menuntut tanggung jawab. Saat laki-laki tak berbuat sesuatu.
Mas Givan benar-benar keterlaluan!
Ia bahkan tak ingat saat rapuhnya dirinya, kala vonis tidak subur ia dapatkan.
Siapa yang selama ini selalu ada di sampingnya? Siapa yang selama ini mensupportnya?
"Mas..." aku kembali dengan menyunggingkan senyum manis padanya.
Kentara sekali, bahwa suamiku tengah kacau.
"Kau ganteng tak seberapa, tapi nyakitin tak kira-kira!" aku bertutur selembut mungkin, dengan menekan suaraku yang bergetar.
"Kau ngomong apa sih, Canda?" mas Givan pura-pura linglung. Atau ia menyangka, aku tidak mendengar ucapan tamu perempuan tersebut?
"MATI AJA KAU!!!!" aku berteriak sekeras mungkin.
Ini sangat menyakitkan.
Dia tidak menghargaiku sebagai istri.
Dia tidak bisa menjaga martabatnya sebagai suamiku.
Ia tidak bisa menjaga kepercayaan yang aku berikan.
Ia tidak bisa menjadi panutan untuk anak-anaknya.
"Ada apa?" Ghifar muncul, ia berdiri di sebelahku.
"Kau pikir, kau begitu gantengnya kah? Mumpung lagi laku ya?" aku tahu, aku begitu buruk saat ini.
"Kere! Ngandelin uang orang tua! Mainin perempuan! Bukan main." aku menggeleng beberapa dengan tersenyum kecut.
"Kau lagi, Kak. Dia beristri, dia punya anak, kau mau lagi. Hadeh... Tak habis pikir aku." hatiku benar-benar kebas kali ini.
"Ini istri kau, Van?" dia bertanya pada mas Givan dengan bersedekap tangan.
"Lebih baik kau pulang dulu, Nad." mas Givan mempersilahkan tamunya untuk pulang.
Merangkulnya, membawa perempuan itu melangkah untuk ke luar dari ruang tamu ini.
Hei, semesra itu?
Aku istrinya!!!
Wanita tersebut berbalik badan, ia memandangku begitu sepele.
"Pantas aja, istri orang disikat suami kau. Bentukan kau begini."
Ya Allah...
Pelakor macam apa ini?
"Hei, Nong." Ghifar menunjuk wanita yang berdiri di ambang pintu tersebut.
"Kau jadi istrinya, bentukan kau pun sama bakal kek dia. Karena, kelak nanti kau pun bakal gantiin posisi dia di sisi bang Givan. Jangan kau tengok dia saat jadi babu suaminya. Tengok lepas dia janda esok! Tentang perempuan, kembali lagi bagaimana suaminya memperlakukannya. Kau tengok betina aku itu." Ghifar menunjuk Kinasya yang menonton drama kami dari halaman depan rumah ini.
"Paham sampai sini?! Apa mau aku jelaskan lagi?" Ghifar maju satu langkah di depanku.
"Ehh, satu lagi." Ghifar tersenyum lebar.
"Sifat dasar kucing rumahan itu. Dia lebih suka ikan yang dihidangkan, ketimbang berburu lebih dulu. Dia mana tau nikmatnya salmon segar, hasil berburu sendiri. Ketimbang ikan asin, yang dibuang pemilik rumah karena udah tak enak dimakan. Menurutnya, lebih enak ikan asin tuh. Karena dia tak tau rasanya salmon segar." Ghifar menunjuk-nunjuk mas Givan.
"Jangan mulai, Far!" suara tegas suamiku terdengar jelas.
"Dari awal udah aku ingatkan, Bang! Tapi kau tak pernah mau ngerti."
Aku takut mereka berkelahi.
"Halah... Anak kemarin sore, kau tau apa?" wanita tersebut menaikan dagunya pada Ghifar.
Aku ingin seperti mamah Dinda, yang bisa memaki dan meluapkan emosinya.
Sayangnya, aku hanya bisa menangis tergugu. Terguncang hebat, menangisi nasibku yang begitu buruk.
Srekkkk... Bughhh....
Mataku melebar, Kinasya menarik bagian belakang baju perempuan tersebut. Lalu Kinasya menghantamkan gagang sapu ke kepala wanita tersebut.
Itu jelas di depan mataku, karena wanita itu berada di ambang pintu.
"Lawan aku." Kinasya merapihkan hijabnya, yang tersampir.
"Cuih...." Kinasya diludahi oleh wanita tersebut.
"Ehh, sialan kau." Kinasya menatap nanar dasternya yang terciprat ludah tersebut.
Tanpa diduga, serangan Kinasya membuatku begitu syok.
Begitu cepatnya dua kursi teras telempar ke arah wanita tersebut. Berikut meja teras.
Prang...
Beling dari meja teras tersebut berhamburan bagaikan percikan minyak.
"Far... Kendalikan istri kau. Nadya bisa tewas." mas Givan begitu paniknya melihat keadaan wanita itu yang bermandikan beling.
Sekhawatir itu mas Givan padanya?
"Yang..." Ghifar berjalan santai menuju teras rumah, di mana kejadian mengerikan tersebut terjadi.
Aku bergegas menyusul Ghifar, aku tak mau jatuh korban dari masalah rumah tanggaku.
Biar rumah tanggaku yang kandas.
"Nih, ada cutter kecil."
Aku begitu syok, melihat Ghifar menyerahkan sebuah cutter kecil dari sakunya.
"Fillet aja. Aku suka sambal goreng kulit, Yang. Makannya sama nasi anget enak, Yang."
Yang benar saja?
"Aaaaaa........" wanita tersebut melarikan diri ke dalam mobilnya yang terparkir.
Entah mengapa, aku malah terbahak-bahak dengan air mata yang menyedihkan ini.
Mobil tersebut segera pergi dari halaman rumah ini. Mungkin wanita tersebut menyangka Ghifar benar-benar menyukai kulit manusia.
"Uhh... Maaf ya, Kak? Aku kurang jago, lama tak adu jotos. Jadi kaku." aku mendapat pelukan hangat dari ibu hamil ini.
Selepas tawaku, aku malah menangis sesenggukan di pelukan Kinasya.
Aku mempertanyakan nasibku kembali. Bagaimana caranya aku mengakhiri semua ini?
"Dijual, dijual, dijual. Anaknya aja, pabriknya tak."
Kami melepaskan pelukan kami. Pandangan mata kami tertuju pada bangku panjang di bawah pohon mangga.
Tika telah menjejer anak-anak di rumah ini, beserta anaknya juga.
Kami tertawa kembali. Begitu absurdnya keluarga ini.
Benarkah aku akan meninggalkan kehangatan keluarga ini?
Tapi untuk apa aku bertahan? Jika suamiku bahkan tak membelaku sama sekali.
Ini jelas penghinaan besar untukku.
Apa lagi orang ketiga di rumah tanggaku ini, adalah istri orang juga.
Apa tak bisa ia mencari perawan? Untuk dijadikan lawanku.
Kenapa harus istri orang, yang rasanya sama dengan istrinya di rumah?
Apa mas Givan begitu dibutakan nafsu?
Tapi kenapa, aku benar-benar tak menyangka bahwa mas Givan bermain api serapi ini?
Dirinya jarang bermain ponsel di depan mataku. Tapi kenapa, hubungan mereka terus berlanjut sampai wanita tersebut mencari suamiku?
Kenapa aku bergulat dengan pertanyaanku sendiri?
Tolong bantu aku menjawab semuanya?
Apa kurangnya aku selama mengabdi pada suamiku?
Ya ampun, mas Givan.
Aku tak pernah menyangka, bahwa selera kau hanya milik orang lain.
...****************...
Tap ❤️ Kak 😉 Ayo dukung author 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
sakiiittt.....😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-01-28
1
Edelweiss🍀
Givan nyakitinnya gak kira2... 🤧🤧
2021-11-22
2
Salwati Bilqis
nyesek,, gk rela kalau canda tetap sama givan
2021-11-19
3