"Hai, Kak. Salam kenal, Aku Teuku Dendi dari Bireun." ia menyatukan telapak tangannya di depan tubuhnya. Seperti cara berjabat tangan secara Islam, antara laki-laki dan perempuan.
Aku pun melakukan hal yang sama, "Aku Canda, dari Bener Meriah." sebenarnya aku dari Jawa, hanya saja kak Anisa tadi mengatakan bahwa aku dari Aceh.
"Wow, daerah perkebunan kopi. Enak kan di daerah sana? Kenapa nyangkut di sini, Kak? Lagi main aja kah?" logat bicara bang Dendi ini, seperti kebanyakan orang-orang dari provinsi ujung Sumatera tersebut.
"Lagi masa idda. Nanti kalau udah janda, aku kabarin."
Sebelumnya aku melotot tidak percaya. Namun, karena kak Anisa dan bang Dendi tertawa membuatku jadi mengerti. Bahwa, ini hanyalah gurauan saja.
"Oh, jadi kamar ini isinya janda kembang sama janda beranak satu?" bang Dendi fokus memperhatikan kak Anisa, garis bibirnya pun tertarik ke atas saat mengatakan hal tersebut.
"Aku gadis lah." protes kak Anisa dengan lirikan tajam ke arah bang Dendi.
Kami semua tertawa lepas, di tengah malam ini. Ya, waktu sudah menunjukkan jam dua belas malam lebih.
Sudah bukan hal aneh di zaman sekarang. Apa lagi, kak Anisa tadi mengatakan bahwa ia pernah tinggal bersama di Cikarang bersama tunangannya dulu.
"Keknya kita seumuran. Berapa usia kau, Kak?" tanya bang Dendi padaku.
"Aku, dua tiga." jawabku cepat.
"Heh, dua puluh tiga tahun udah jadi janda aja? Jadi apa jatah buat aku, bujang dua puluh tujuh tahun ini?" orang-orang yang aku temui kali ini, sepertinya memang suka bercanda.
"Tenang, ada aku yang setia di kamar kosan ini." kak Anisa menepuk dadanya dengan sombong.
"Masalahnya, kau pun janda." ucap bang Dendi, yang mendapat cubitan langsung dari kak Anisa.
"Kan belum menikah, gadis dong gue?!" kak Anisa protes dengan statusnya.
"Ya mending ambil Dek Candanya, dua tiga bawa anak satu. Ketimbang kau, dua puluh lima, rasa longgar tak bisa dipertanggung jawabkan, anak tak tau ada berapa lusin kalau jadi." kali ini pukulan maut mendarat di tubuh bang Dendi dari kak Anisa.
"Kek yang tau aja!" ketus kak Anisa dengan bibir mengerucut.
"Ya makanya kasih Abang coba, Dek." bang Dendi tersenyum begitu manis pada kak Anisa.
Sepertinya, setelah ini aku akan dipanggil dek oleh kak Anisa. Karena usianya dua tahun di atasku.
"Aduh..."
Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena tadi aku tengah memberikan Chandra minum.
"Kau main jitak-jitak aja kepala orang! Rupanya belum pernah disentil ya wadah ompol kau?!" bang Dendi memasang wajah kesal, bercampur menahan tawa.
"Kamu rese, Bang!" kak Anisa memasang wajah cemberut.
"Tuh, Chandra sama Om. Mamahnya mau makan dulu." kak Anisa menunjuk bang Dendi dengan dagunya.
"Aku dipanggil Biyung, Kak." ucapku dengan menyerahkan Chandra pada bang Dendi.
"Mana baju kau, Nak? Masuk angin loh." bang Dendi mendaratkan kecupan di pipi Chandra.
Bang Dendi tidak gagah, tidak juga kurus. Tubuhnya cenderung tinggi, dengan kulit kuning bersih. Ditambah lagi, ia memelihara kumis. Bukan rambut dagu.
Kalau untuk urusan wajah, bang Dendi terlihat bersih. Memiliki raut wajah alim, meskipun aslinya rese dan suka bergurau. Tidak ganteng seperti mas Givan, tidak terlampau manis seperti Ghifar juga. Ia, biasa-biasa saja.
"Ganti aja mamah atau apa, susah Canda. Tadi dia monyong-monyong, pas mau nyebutin biyung." sudah kuduga, kak Anisa tidak lagi memanggilku kak.
Ya, biarkan saja. Seperti itu, malah lebih terdengar akrab di telinga.
Aku mengangguk-angguk, karena aku tengah menyantap makananku.
Aku menelan makananku lebih dulu, sebelum menjawabnya.
"Udah terbiasa biyung, Kak. Yang besar juga manggilnya biyung." jelasku kemudian.
"Ohh, ralat kah?" aku tidak mengerti ucapan bang Dendi.
"Tadikan Bang Dendi bilang, kamu janda anak satu. Rupanya, kamu janda anak dua?" kak Anisa memperjelas maksud bang Dendi.
"Bukan, aku memang baru punya satu anak. Tapi suami aku juga punya anak satu." aku tak mungkin mengatakan, bahwa suamiku memiliki anak dengan mantan pacarnya dulu.
"Tuh kan? Duda anak satu, dapetnya perawan. Giliran udah punya istri, malah dijandakan. Ini, gadis bukan perawan. Jadi jatah aku para bujang ini apa?" aku mengerti, sepertinya bang Dendi adalah jomblo akut. Ia ingin menikah, tetapi tidak memiliki kekasih.
"Berarti janda-janda juga, Bang." balas kak Anisa dengan menepuk lengan bang Dendi.
"Kenapa sih Kak Anisa kok disebut janda tadi?"
Ups!
Mulutku tidak sopan.
"Mantan tunangannya sering nginep kemarin. Mungkin besok-besok cari tempat, karena ada kau di sini Dek."
Aku malah fokus pada Chandra, ia sudah pulas menghadap ketiak bang Dendi.
"Kamu pun sering bawa teman perempuan ke dalam kos kamu, Bang." kak Anisa melemparkan pernyataan yang sama pada bang Dendi.
"Bujang juga gak tau tuh, perjaka apa bukan?" lanjut kak Anisa dengan mengedikan bahunya.
Bang Dendi tertawa renyah, dengan mendorong punggung kak Anisa.
Kalau mendengar gurauan mereka. Sepertinya, kak Anisa adalah wanita baik-baik. Dalam artian, kak Anisa ini hanya meladeni mantan tunangannya. Bukan laki-laki hidung belang, yang ia bawa ke kosan ini.
"Ehh, udah tidur aja jagoan." rupanya bang Dendi baru mengetahui bahwa Chandra sudah tertidur.
"Rebahin aja di tempat tidur, Bang!" pinta kak Anisa pada bang Dendi.
Kemudian, bang Dendi merebahkan tubuh Chandra perlahan di atas tempat tidur.
"Punya kunci kamar bang Lendra tak, Dek?" bang Dendi berjalan ke arah dapur. Mungkin ia ingin mengambil air minum.
"Gak punya, kenapa memang?"
Aku selalu penasaran, tentang yang menjadi bahan pembicaraan mereka.
"Mau pinjam kamera. Kamera aku lagi diservis. Kapan sih dia balik? Punya tetangga kos, tapi sepi terus kamarnya."
"Akhir bulan biasanya datang, Bang." kak Anisa berpindah ke ambang pintu, karena ia tengah merokok kembali.
"Ehh, Bang. Kalau pengen makan sesuatu, minta Canda masakin aja. Cuci baju juga bisa, nanti tinggal kau kasih berapa kan gitu."
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Aku tengah mengunyah, dengan fokus pada televisi yang menyala saja.
"Ohh, iya-iya. Ya udah gampang nanti. Sekarang, lagi bener-bener sepi Dek." sepertinya bang Dendi terbiasa menyebut yang muda dengan sebutan dek. Seperti para laki-laki yang aku kenal di rumah mewah mertuaku.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika papah Adi dan mamah Dinda tahu tentang bang Givan yang menjatuhkan talaknya padaku?
Aku takut papah ambruk, aku takut mamah murka. Apa lagi di usianya sekarang, kesehatannya sering tidak stabil.
Apa mas Givan tidak memikirkan bagaimana anaknya yang aku bawa sekarang? Setidaknya, khawatir kah? Atau memikirkan hal buruk terjadi pada keturunannya yang aku bawa?
Jika memang aku tidak bisa dihubungi, karena tidak ada kuota data. Harusnya, ia berusaha meneleponku. Atau sekedar menanyakan keadaan si kecil Chandra.
Sepertinya, harga diri mas Givan benar-benar selangit. Ia tidak mau memohon agar aku tetap tinggal. Ia malah berencana menduakanku dengan Nadya itu, bukannya mempertahankan statusku sebagai istrinya satu-satunya.
"Betul mau, Dek?"
Aku seperti orang linglung, saat ditanya oleh bang Dendi. Karena, aku tengah asik dengan pemikiran aku sendiri tadi.
...****************...
Tetap tungguin up keduanya ya, Kak 😁🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Lisa Z
semangat kakak,sudah aku tinggal kan jejak ya. besok lanjut lagi. salam dari reader falling into your trap from author chocooya
2022-03-13
1
Edelweiss🍀
biasanya yg tak terlalu terawat waktu punya suami bisa jd glow up pas jd janda😁
2021-11-22
2
Mamahna Kamila
ok... setia menunggu 👍👍😘😘
2021-11-21
2