Naya tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Hiburannya di saat rasa letih sebagai koas hanyalah ponsel.
"Kamu nanti mau ke cafe?" tanya Zilda.
Naya mengangguk. Ya, Canaya memiliki sebuah cafe yang dia dirikan sendiri. Sesuatu yang dia lakukan tanpa campur tangan orang-orang di masa lalunya.
Menjadi dokter, apakah karena memang keinginannya sendiri atau karena doktrin dari sang oma, yang jelas dia telah mewujudkannya.
Menjadi pengusaha dan mendirikan perusahaan sendiri, entah itu karena doktrin dari diberikan opanya sejak bayi, meski harus merangkak dari nol, namun telah berhasil dia wujudkan.
Opa dan oma, dua sosok yang memberikan pengaruh besar dalam hidupnya, namun dua sosok itu yang tak pernah dia ingat hingga kini.
Sebelas bulan kemudian
Mereka telah dilantik, telah melakukan sumpah jabatan sebagai seorang dokter. Tanggung jawab mereka kini semakin besar, mengobati pasien dan melakukan sebaik mungkin untuk kesembuhan sang pasien. Bahkan, mereka harus tahan banting dengan amukan pasien atau keluarganya jika mendengar hal-hal yang tak ingin mereka dengar.
"Kamu enggak lelah, Nay?" tanya Letta.
"Lelah, tapi aku suka."
Naya, entah apa yang perempuan itu kejar. Dia menjadi guru untuk anak-anak TK. Tidak setiap hari, hanya di waktu-waktu tertentu.
Semuanya bermula di bulan pertama dia tiba di negara ini. Dia mendapatkan kerja sambilan di salah satu play group ternama. Semakin sering dia berinteraksi dengan anak-anak, semakin dia merasa nyaman. Namun, itu juga mengusik hal terdalam yang selama ini dia pendam.
Dia bekerja di TK itu bersama Monic dan Kirei. Sedangkan Letta dan Zilda bekerja sambilan di salah satu cafe dekat dengan apartemen. Itu dulu sebelum Naya memiliki cafe sendiri.
Memang banyak kesamaan antara Naya, Monic, dan Kirei. Sama-sama memiliki masa lalu yang tak menyenangkan.
"Ayo kita buat pesta kecil-kecilan, merayakan gelar baru kita sekaligus permulaan untuk mendapat gelar dokter spesialis," ajak Monic.
Mereka telah menentukan langkah selanjutnya, siap mengambil spesialis.
"Papamu enggak marah, Let? Dia kan mau kamu meneruskan perusahaannya," tanya Zilda.
"Ya tinggal terusin aja. Aku tuh pusing harus mantau harga saham, hitung laba rugi, dan hal yang berbau tentang perusahaan."
"Emang kamu enggak pusing hapalin jenis obat, organ tubuh, nama penyakit, dan yang berhubungan dengan dunia kedokteran?"
"Ya pusing juga, sih. Mau jadi penyanyi, suaraku pas-pasan. Mau jadi model, takut dipecat jadi anak. Main film, aku malas pura-pura nangis padahal lagi happy, pura-pura happy padahal lagi galau."
Mereka tertawa. Mungkin itulah sebabnya Letta memilih kedokteran gigi, kalau pun tak jadi mengambil spesialis, gelarnya tetap dokter gigi. Sedangkan Naya, Monic, Zilda dan Kirei, jika tak ambil spesialis, ya hanya menjadi dokter umum.
Mereka melakukan pesta barbeque di balkon apartemen Naya.
"Enggak ada wine?"
"Ada, ambil aja di lemari."
Mereka memakan sosis dan daging panggang dengan ditemani wine.
"Sebentar lagi musim dingin, kita harus punya banyak stok makanan. Tahu sendiri kan kalau lagi badai salju kaya gimana, susah mau ke mana-mana."
"Kalau begitu besok kita shopping, mumpung hari Minggu."
"Dokter Steven ngajak aku makan malam," ucap Letta.
"Terus?"
"Aku tolak."
"Kenapa?"
"Takut ketahuan istrinya."
Mereka langsung tertawa.
Hidup di negara bebas, apalagi tanpa keluarga, tentu saja akan memberikan pengalaman sendiri bagi mereka.
Di sana, mereka tak perlu heboh saat ada pria dan wanita yang bebas berciuman. Bahkan ada teman kuliah mereka yang free s*x dan tinggal bersama tanpa status pernikahan. Minuman keras juga hal yang biasa.
Mereka sampai sekarang masih ingat bagaimana mereka memergoki pasangan yang sedang melakukan proses produksi di dalam mobil parkiran apartemen mereka, apalagi kaca jendela yang sedikit terbuka menyebabkan suara *******-******* itu terdengar jelas. Kelima perempuan itu langsung lari terbirit-birit sampai dalam loby.
Itulah pengalaman pertama mereka tentang dunia luar yang sesungguhnya.
🍂🍂🍂
"Kudengar akan diadakan seminar internasional dokter spesialis dan calon dokter spesialis."
"Kapan, di mana?" tanya Letta dan Kirei.
"Belum tahu."
"Terus, kamu tahu dari mana?" kali ini Naya yang bertanya.
"Dari dokter Mark."
🍂🍂🍂
"Naya, perkenalkan, ini dokter Marquez, beliau adalah dokter bedah, ini dokter Malik, beliau dokter anestesi dan yang ini dokter Felipe, beliau spikiater senior. Mereka akan membimbingmu."
"Good morning, Docter. Nice to meet you."
"Morning, nice to meet you."
"Kami sering mendengar tentangmu dari dokter Hendrick. Senang bisa membimbingmu."
"Saya yang merasa tersanjung karena bisa dibimbing oleh dokter Marquez, dokter Malik dan dokter Felipe."
Bagaimana mungkin Naya tidak senang, ketiga dokter itu adalah para dokter senior yang pengalamannya dalam dunia kedokteran sudah tersohor.
Ketiga dokter itu pun, saat melihat Naya, bisa merasakan kecerdasan dokter muda itu. Bagaimana tidak, di usia yang masih sangat muda telah mampu mengambil spesialis di saat seniornya bahkan ada yang belum lulus kuliah.
"Kamu mengingatkan saya pada teman satu profesi saya," ucap dokter berdarah Indonesia dan Turki itu.
"Benarkah? Kalau boleh tahu siapa itu, Dok?"
"Namanya Thania."
Seketika kepala Naya berdenyut, namun ditahan olehnya.
"Oya, tahun depan direncanakan akan diadakan seminar internasional untuk dokter spesialis dan calon dokter spesialis yang terpilih. Saya sudah merekomendasikan kalian berlima untuk menghadiri acara tersebut," ucap dokter Hendrick.
"Benarkah, Dok?"
"Tentu saja. Jadi kalian berlima jangan mengecewakan saya. Seriuslah dalam belajar dan bekerja."
🍂🍂🍂
Mereka berlima loncat-loncat kegirangan saat Naya menceritakan tentang kabar baik itu.
"Itu seminar internasional. Akan banyak dokter spesialis dari berbagai dunia yang datang."
"Benar, kita akan mendapat banyak ilmu di sana."
"Gila gila gila, ini bukan mimpi, kan?"
"Pasti banyak dokter tampan yang hadir di sana, kan? Tidak semuanya berkepala botak, kan?"
Letta langsung mendapat toyoran dari sahabat-sahabatnya, itu.
"Ish, dokter kok kasar."
"Heleh."
Mereka tertawa.
Memang, melihat dokter atau pasien tampan sudah biasa bagi mereka. Mereka anggap itu sebagai anugerah di tengah rasa lelah dan tekanan pekerjaan.
"Ada saja pasien yang memaki-makiku karena dia sakit gigi. Apalagi kalau pasiennya anak-anak. Melihat alat pencabut gigi dia sudah menangis histeris dan mengatakan 'Mama pulang, mama pulang ... huaaaa, pulang mamaaaa ... huaaaa.'"
Naya, Monic, Zilda dan Kirei langsung tertawa saat mendengar Letta bercerita, apalagi sangat ekspresif.
"Terus?"
"Ada lagi yang langsung kabur saat tahu bahwa gusinya akan disuntik."
Mereka kembali tertawa.
"Seharusnya kamu jangan jadi dokter gigi, Let."
"Terus jadi apa?"
"Dokter spesialis kulit dan kelamin."
Mendengar kata-kata kelamin wajah Letta langsung bersemu merah.
"Hayoo, ngebayangin apa?"
"Dasar mesum!"
Kelimanya kembali terkikik geli.
Ya, setiap malam mereka akan berbagi pengalaman dalam pekerjaannya. Yang penting tetap menjaga kode etik dan tidak membocorkan riwayat medis pasiennya.
.
.
.
Jangan minta buru-buru untuk mempertemukan para tokohnya, karena enggak akan aku pertemukan semudah itu. Itu juga kalau ketemu😂
Bacanya bawa santuy, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Ryta Maya
spertiny seru
2022-09-26
0
Me
namanya ganti semua lupa dah siapa aja itu nama lamanya
2022-08-11
0
Aprilia Amanda
🤣🤣
2022-07-23
0