Biaya kuliah kedokteran di perguruan tinggi swasta lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri, karena ada perbedaan antara sistem dan kebijakan yang diterapkan.
Kalau lolos ke PTN untuk jurusan fakultas kedokteran, umumnya akan dikenakan uang kuliah tunggal atau biaya operasional pendidikan berbeda-beda.
Biaya persemester pun bisa belasan juta tergantung universitasnya. Bisa belasan juta. Masih banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan, dan itu masih belum termasuk biaya pengalaman praktik, keilmuan dan ketrampilan yang biayanya juga berbeda untuk setiap perguruan tinggi.
Ada lagi biaya seperti biaya buku, alat bantu seperti laptop, biaya hidup untuk mahasiswa rantauan berupa uang kost yang juga bervariasi.
Mengingat itu semua, kini Marcell lah yang mendadak pening. Walaupun tidak dengan jalur beasiswa, dirinya sangat beruntung bisa lulus sarjana kedokteran dengan biaya dari orang tuanya yang memang golongan berada. Dia jadi teringat teman satu jurusannya yang harus berhenti di tengah jalan karena tidak sanggup membayar.
Apalagi Freya dan Kirei yang mendapat beasiswa, sungguh luar biasa. Nuna, Nania dan Aruna juga cukup beruntung walau dengan biaya sendiri, karena mahasiswa kedokteran itu dibatasi juga jumlahnya dan tidak menerima mahasiswa sebanyak jurusan lain.
Marcell jadi berusaha keras untuk kukus dengan telat waktu, memiliki hasil yang memuaskan, dan menjadi dokter yang baik. Memang awalnya dia menolak menjadi dokter. Sejak temannya itu harus berhenti di tengah jalan, Marcell jadi merasa bersalah. Dia yang mampu secara finansial, malah bermalas-malasan dan seenaknya.
"Jangan bengong, Cell."
Pria itu menghembuskan nafasnya.
"Aku berjanji akan menjadi dokter yang baik. Bukan hanya mereka saja yang akan mengabdi dengan pekerjaan mereka, aku pun akan begitu."
"Baguslah kalau kamu sadar. Orang tua kamu pasti akan bangga, termasuk kami. Jangan sia-siakan apa yang sudah kamu miliki, atau mereka akan kecewa, termasuk kami juga."
"Iya. Lagian dengan menjadi dokter yang hebat, aku bisa kembali mendekati Nania. Dokter dengan dokter, keren kan?"
"Dasar! Kirain dah insyaf benaran."
"Nania juga bakalan mikir kalau mau sama kamu, Cell."
Marcell hanya mendengkus. Tapi seketika berbinar cerah saat dia mengingat dia memiliki profesi yang sama dengan Nania.
Apa itu tandanya mereka berjodoh?
.
.
.
Letta sedang memeriksa gigi seorang anak kecil berwajah imut.
"Coba buka mulutnya yang lebar, aaa ...."
Dengan sabar Letta membujuk anak itu yang terlihat takut.
"Nih coba lihat, ada boneka Buaya. Ini, coba pegang boneka Buayanya, wahhh, Buayanya mulutnya lebar, ya. Coba lihat!"
Tanpa sadar anak kecil itu ikut membuka mulutnya seperti mulut Buaya. Di ruangan Letta, memang menyimpan beberapa boneka dan mainan lain untuk membujuk pasiennya yang masih anak-anak. Bahkan tidak jarang mereka akan membawa souvenir dari ruangan Letta itu yang membuat dia harus membeli mainan dan boneka yang baru lagi.
Pasien anak-anak saingannya adalah pasien lansia. Jika pasien anak-anak akan takut disuntik atau minum obat lalu menangis, maka beda lagi dengan orang tua yang doyan marah-marah karena faktor umur. Seperti yang terjadi di tempat Naya.
"Dokter itu bisa ngobatin atau enggak, sih? Kenapa perut saya masih sakit?" bentak seorang pria yang tidak muda tapi juga belum terlalu tua.
"Bapak kan baru diperiksa dan minum obat, jadi obatnya belum bereaksi, Pak."
"Halah, alasan. Bilang saja Dokter enggak ngerti dengan penyakit saya."
"Coba Bapak rileks, pikiran juga bisa mempengaruhi kesehatan Bapak."
"Jangan menggurui saya, Dok. Dokter yang bikin saya kesal karena salah memberi saya obat."
"Saya tidak salah memberi Bapak obat. Dilihat dari hasil pemeriksaan, Bapak mengalami asam lambung yang cukup parah, jadi ...."
"Sudah, sudah, Dokter ke luar saja sana, saya mau istirahat."
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak. Bapak istirahat yang cukup."
Setelah keluar dari ruang rawat itu, Naya menghela nafas. Bisa-bisanya dia dimaki-maki oleh pasiennya.
Namun dari sini Naya semakin paham bahwa jenis pasien juga berbeda-beda.
Ada pasien yang lebih sok tahu daripada dokternya sendiri, tapi memahami ilmu medis saja, enggak.
Ada pasien yang takut, bahkan phobia jarum suntik.
Ada pasien yang tidak bisa minum obat tablet. Minum pake air putih, air putihnya ketelan tapi obatnya masih di mulut, bahkan sampai kegigit hingga memberikan rasa yang benar-benar pahit dan bikin kapok untuk minum obat lagi.
Naya jadi teringat teman SMP-nya dulu, yang cerita bahwa kalau dia sakit dan harus minum obat dari dokter, maka obat sirupnya akan dia buang sesuai takaran minumnya, di wastafel, karena dia merasa mual mencium aroma obat sirup itu. Lalu obat tabletnya akan dia buka lalu dibuang ditempat sampah setelah dibungkus kertas, jadi seolah dia telah meminum obat-obat itu dan tidak ketahuan oleh orang tuanya.
Mengingat itu, Naya langsung tertawa pelan.
Malam harinya
"Cape banget aku!"
Mereka berlima langsung duduk di sofa dengan wajah lelah dan badan pegal-pegal.
"Jadi, apa yang kalian alami hari ini?" tanya Zilda.
Naya langsung menceritakan apa yang dia alami. Kalau dia bukan dokter, pasti sudah dia maki-maki balik tuh orang.
"Mommy, Mommy, apa tadi ada yang memarahi Mommy?"
"Eh?"
Mereka berlima sampai tidak sadar bahwa ada Chiro dan lima pria dewasa yang mendengar curhatan para perempuan.
Mereka sendiri sebenarnya tidak tega melihat wajah para gadis yang memang lelah.
"Enggak, enggak ada yang marahin mommy, kok."
Sebagai seorang anak, walaupun masih kecil, tentu saja Chiro sedih dan tidak suka jika ada yang memarahi mommy yang baru ditemukannya itu. Daddy-nya saja dia marahi jika memarahi mommy-nya, apalagi orang lain.
"Kami sudah menyiapkan makan malam untuk kalian. Mandi dulu baru kita makan bersama."
"Syukur deh sudah ada makanan, lapar banget aku."
Apartemen ini sangat besar, jadi kamar mandinya juga lebih dari dua.
Tadi siang Erlang dan yang lain memang pergi belanja kebutuhan makanan. Berteman dengan Marcell yang juga menjalani pendidikan dan profesi yang sama dengan para perempuan itu, tentu membuat mereka tahu seperti apa lelahnya, karena saat kuliah dulu dan menjadi koas, Marcell sering terlihat lelah bahkan lupa untuk makan hingga harus dirawat di rumah sakit.
Makanan yang tersaji di meja makan sangat menggugah selera. Ada juga minuman herbal yang masih hangat dengan aroma khas.
"Kalau ada di Indonesia, aku pasti sudah panggil tukang urut," ucap Monic.
Biasanya mereka berlima akan saling memijit punggung satu sama lain untuk sedikit menghilangkan rasa pegal. Erlang menatap Naya dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Naya yang tahu akan hal itu, tetap terlihat santai tanpa peduli sedikit pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
yaniDanang
komplit deh thor.. ne author y calon Dokter bener an soal y rincian y pas.
💪up y hri ne dobel, meski kurang panjang
lnjut kk
2021-11-22
1
Tika Ika
lanjut kk
2021-11-22
0
Miss HALU💋💖
good job thor..
2021-11-22
0