"Eh, Nak Fatir. Masuk Nak, mau bertemu Soraya ya?" sambut bu Siti, ibunya Soraya.
"Makasih, Bu ..." Fatir masuk yang sebelumnya menyalami tangan bu Siti.
Di ruang tengah tampak pak Mumu tengah duduk santai di kursi depan televisi. Fatir pun menghampiri dan meraih tangan serta mencium hormat.
"Tumben, malam-malam datang. Mau bertemu Soraya ya, Nak Fatir." sapa pak Momo.
"Iya, Pak. Katanya Raya jatuh. Apa benar?" mata Fatir melihat pak Momo dan ibunya soraya, bu Siti.
"Benar tadi siang jatuh dari motor, tapi Alhamdulillah tidak parah lukanya." Jawab bu Siti pada Fatir.
"Syukurlah kalau tidak kenapa-kenapa Bu," sambung Fatir.
"Cuma keseleo aja Nak Fatir. Mari Ibu antar kan ke kamar." Ajak bu Siti sambil berjalan menuju kamarnya.
Fatir pun beranjak mengikuti langkah bu Siti yang lebih dulu menuju kamar putrinya Soraya.
"Sayang, coba lihat siapa yang datang," suara bu Siti berdiri di depan pintu.
Reett ....
"Masuk Bu ... tidak di kunci," sahut Soraya dari dalam.
Blak!
Pintu terbuka, tampak Soraya sedang duduk di atas tempat tidur bersandar.
"Masuk Mas," wajah Soraya sumringah, tampak bahagia dikunjungi oleh sang kekasih.
"Apa kabar?" Fatir masuk masuk dan duduk di tepi tempat tidur.
"Begini lah Mas." Jawab Soraya sambil mengulas senyum tipisnya.
"Kok bisa jatuh sih? Raya gak hati-hati!" tanya Fatir.
"Ada motor lain mepet Mas jadi aku nyuksruk deh ke pinggir lihat kaki tangan ku luka ringan. Kaki kuga keseleo Mas." Soraya menunjukkan luka-luka di tangan dan kaki mulusnya.
"Lain kali hati-hati. Jangan sembrono," ucap Fatir setelah melihat luka di tangan dan kaki Soraya.
"Mas ... aku dah hati-hati. Orang waktunya celaka gimana dong? lirih Soraya.
"Nak Fatir belum makan? makan dulu gih. Ibu ada pepes ikan sama sayur santan."
"Makasih Bu, sudah kok." Akunya Fatir.
"Mas kok jarang ke sini sih? sibuk ya." Soraya menatap wajah Fatir lama, seakan ingin puas dan terlepaskan rasa rindu. Bagai titisan air yang menghilangkan dahaga.
Fatir terdiam sejenak. Memang akhir-akhir ini mereka jarang bertemu bukan cuma sibuk berjualan tapi juga harus mengurus pernikahannya dengan Viona. Bahkan besok juga ia harus ngurus surat-surat ke Desa setempat, lanjut kantor urusan agama. Netra mata Fatir menatap sang kekasih. Ingin rasanya menceritakan hal ini, namun ia urung sebab hati Soraya pasti akan hancur walau dengan alasan apapun.
Fatir, jadi dilema. Di putuskan sayang, apalagi hubungan yang mereka bina itu bukan satu atau dua tahun tapi lebih lama dari itu. Biarlah hubungan ini terus berjalan dulu. Ia akan bercerita semua, bila waktunya tiba, dan ia harus siap dengan resikonya nanti. Jelas hatinya berat bila harus putuskan Soraya, namun ia juga tak ada niat tuk permainkan pernikahannya nanti.
"Em, iya aku sangat sibuk dengan usaha ku." Jawab Fatir. "Oya, syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Lain kali lebih hati-hati lagi."
"Iya, sayang ... makasih sudah nyempetin datang. Nginep ya aku masih kangen!" suara Soraya dengan suara manjanya. Tangan memegang tangan Fatir.
"Em, gak bisa. Aku harus segera kembali, jualan ku belum tutup tadi." Kata Fatir sambil melihat jam tangannya.
"Ah ... masih kangen tau," ucap Soraya, menempelkan pipinya di bahu Fatir.
"Raya ... jangan manja gitu, Nak Fatir punya tugas. Mencari nafkah buat keluarga dan masa depan kalian," tutur bu Siti pada putrinya, Soraya.
"Tapi, Bu ... masih kangen sama Mas Fatir. Masa gak boleh sama kekasih sendiri? Ih Ibu gak ngerti banget deh." Gerutu Soraya dengan sedikit menjauh dari Fatir.
Fatir beranjak dari duduknya. "Aku pulang dulu, Raya. Ibu." Fatir menatap keduanya bergantian.
"Baiklah, oya. Ibu sehat?" tanya bu Siti pada Fatir.
"Ibu, sehat Bu. Alhamdulillah." Jawab Fatir sambil mengangguk.
"Syukurlah, kalau sehat," sambung bu Siti.
Kemudian Fatir pun keluar. diantar Soraya, walau dengan jalan sedikit tertatih akibat terkilir disaat jatuh tadi siang.
Langkah Fatir berhenti, netra mata Fatir melihat langkah Soraya. "Kamu istirahat aja, gak usah mengantarku. Nanti kakinya tambah sakit."
"Iya, Nak ... kamu tiduran saja," timpal bu Siti sambil membimbing tangan Soraya.
"Aku ingin mengantar mu ke teras aja, habis bentar amat di sini nya. Belum puas ngobrol juga," sahut Soraya sambil terus berjalan.
Fatir berpamitan pada pak Mumu yang berada di ruang tengah. "Saya pamit dulu Pak."
"Loh, kok buru-buru. Kan baru datang."Menatap ke arah Fatir.
"Gerobak belum tutup, di tungguin oleh Adam." Timpal Fatir. Sembari meraih tangan pak Mumu.
"Oh, yo wes tak hati-hati di jalan." Kata pak Mumu kembali.
Fatir terus berjalan menuju teras, diantar oleh bu Siti dan Soraya. sampai teras. "Aku pulang dulu, cepat sembuh ya?" menatap lekat pada Soraya.
"Iya, Mas. Sering-sering datang napa sih?" ucap Soraya keduanya saling lama.bertatapan.
"Aku sibuk. Hesya masuk Rumah sakit lagi, di rawat." Jawab Fatir.
"Hesya masuk lagi Rumah sakit? sudah berapa hari," tanya bu Siti kaget.
"Ada. Kira-kira satu minggu, Bu." jawab Fatir.
Muka Soraya sedikit cemberut. "Anak itu terus saja bikin repot, mana bisa kamu nabung buat kita menikah? kalau dikit-dikit adik mu itu masuk Rumah sakit." Kepala Soraya menggeleng kasar.
"Raya ..." lirih bu Siti sambil menggeleng. Mencegah putrinya bicara kasar.
Fatir menatap tidak suka pada Soraya. Bisa-bisanya bicara seperti itu tentang adik bungsunya. Namun Fatir tak bisa berkata apapun Sebab memang begitu adanya. Setelah menyalami bu Siti. Ia mengusap bahu Soraya, kemudian mendekati motor dan mengenakan helm.
"Kamu jangan bicara seperti itu, Nduk ... gak enak sama Nak Fatir. Bagaimanapun itu calon adik Ipar mu Nduk." Lirih bu Siti Soraya.
"Ibu, memang begitu Bu. bagaimana bisa menabung untuk biaya nikah coba? kalau uangnya terus saja di pakai biaya adiknya itu. Sebel jadinya." Kata Soraya sambil berjalan masuk. Memdahului sang ibu.
Perbincangan ibu dan anak itu terdengar jelas oleh telinga Fatir di balik helm. Hatinya terasa sakit. Perih bagai terhiris. Ia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Membuang semua beban yang menyesakkan di dadanya.
Motor Fatir meluncur dari pekarangan rumah bu Siti dan pak Mumu. Sebagai orang tua Soraya.
Sepulang dari rumah Soraya. Fatir langsung ke tempat mangkalnya. Menemui Adam dan Sidar. Kebetulan sudah pada tutup tempat jualannya, dan tempatnya pun sudah sepi.
"Alhamdulillah ... habis mungkin." Gumamnya Fatir. Kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah.
Setelah menemui adik-adiknya di rumah. Fatir menanyakan sudah makan apa belum pada kedua adiknya itu.
"Sudah Mas. Ibu pun sudah saya antar makan." Jawab Adam.
"Baguslah. Kalau gitu Abang mau ke RS. Menemui Hesya dan ibu." Fatir beranjak.
"Tapi, Mas belum makan?" ucap Adam.
"Nanti saja. Mas pergi dulu." Fatir meneruskan niatnya tuk ke Rumah sakit.
Motor Fatir kembali melesat menyeruak jalanan di kegelapan malam. Menuju Rumah sakit dimana Hesya di rawat.
Sesampainya di ruangan Hesya, Fatir terkejut melihat paket buah-buahan. Dan makanan yang mahal-mahal.
"Bu, ini dari mana?" tanya Fatir pada sang Ibu, Tidak lupa sebelumnya mengucapkan salam.
"Kiriman, katanya sih dari Viona. Tadi ada nasi box. Isinya ayam bakar, Ibu makan aja sama Sya. Jadi kiriman dari Sidar tadi tak ke makan, Nak." Jawab bu Afiah.
Fatir menghela napas, kemudian membuka wadah nasi yang dari Rumah. Nasi dengan lauknya cuma telor ceplok saja. Langsung ia makan dengan lahapnya.
Bu Afiah menatap sang putra dengan tatapan penuh kasih. Sepertinya Fatir terlihat lapar sekali. "Kamu sepertinya belum makan, Nak. Tampak lapar sekali."
Fatir mengangkat wajahnya, tersenyum. "I-iya, Bu. Belum sempat makan."
Kemudian Fatir melanjutkan makannya, dengan sangat lahap, lanjut makan buah. Matanya melihat Hesya yang sudah tidur ....
****
Hai ... Viona dan Fatir up lagi nih, semoga kalian suka🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ummi Alfa
Soraya..... belum jadi istri aza ngomongnya dah ndak enak banget gimana dah jadi istri. lagian kan itu calon adek iparnya.
2022-04-21
2
sryharty
iiih Soraya belum jadi istrinya aja mulutnya udah pedes banget
2022-03-04
2
tutut puput
lanjutkan
2022-03-04
2