Viona sudah sampai di rumah. Ia tengah bersantai di sofa sambil menonton televisi. Di kamar dengan mengenakan dress pendek selutut. Tanpa lengan, rambut di ikat di atas, membuat leher jenjangnya terekspos sempurna. Sesekali mengetik sesuatu di keyboard benda pintar miliknya, memesan cincin kawin yang satu terbuat dari emas dan yang satunya terbuat dari perak, dengan model yang sama.
Terbesit senyuman di bibir Viona. melihat model cincin dan nama yang akan tertulis di dalam cincin tersebut. Tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar.
"Non, tamunya sudah datang." Suara bi Ijah dari balik daun pintu kamarnya.
"Iya, Bi ... sebentar aku turun," pekik Viona sambil mengenakan blazer. Kemudian viona berjalan mendekati pintu. Tidak lupa mematikan televisi.
Viona menuntun langkahnya menuruni tangga, dari atas pun terlihat Fatir dan Darma sedang duduk berhadapan dengan sang ayah.
"Berapa ini?" tanya pak Rusadi. Sambil mengambil amplop coklat dari meja.
"Itu, 50 juta Om." jawab Fatir sambil menunduk. Dalam hati ia mengakui kalau uang itu uang Viona. Bukan uang darinya.
Viona duduk di sofa lainnya. Di susu oleh bu Asri dan Oma Yani yang baru datang dan duduk di sofa yang sama dengan sang ayah.
Pak Rusadi membuka dan menghitung uang nya takut kurang. "Saya hitung dulu, siapa tahu kurang."
"Papah?" sela Viona merasa malu, sang ayah menampakkan ketidak percayaannya pada Fatir.
Pak Rusadi hanya menoleh sekilas, lalu melihat kembali pada amplop dan uang di meja dan lantas menghitungnya.
Viona wajahnya bersemu merah menahan malu. Sementara Fatir dan Darma hanya terdiam dengan pandangan pada pak Rusadi yang sedang menghitung uang tersebut.
Hening!
"Pas 50 juta. Untuk kau tau saja ya? kalau uang ini masih banyak kurang nya. Dan yang menambahi tentunya uang kami, dan tentunya berkali lipat kurang nya."
"Tapi saya tak berharap resepsi yang besar Om, cukup sederhana yang penting hikmat," jelas Fatir tanpa ragu.
"Apa, gak perlu resepsi? mau di kemana kan muka keluarga ini bila pernikahan Viona cuma sederhana atau diam-diam, anak saya tidak hamil duluan kan?" melirik ke arah Viona yang langsung mendelik kan matanya.
"Papah, apa sih maksud Papah?" bu Asri menatap tajam suaminya.
"Iya, Papah macam-macam saja." Timpal Viona. Sementara bu Yani menatap sang cucu, Viona.
Fatir dan Darma saling pandang. Mereka lalu menggeleng. Fatir tak ingin bicara lagi ia memilih diam saja.
"Saya tidak ingin pernikahan putri saya tidak diketahui orang banyak. Mahar. Gimana mahar? apa maharnya." Pak Rusadi bertanya tentang mahar.
Fatir bersiap menjawab. Namun sudah duluan Viona yang menjawab.
"Sudah. Pah ... Vi minta seperangkat alat salat. Dan cincin nikah pun sedang di pesan Pah." Viona tak ingin sang ayah mencela tentang mahar, yang diberikan Fatir padanya nanti. Fatir pun sudah menawarkan, cuma Ia sendiri yang memilih itu.
Pak Rusadi menatap heran sang anak. "Cuma seperangkat alat salat saja?" lalu mengalihkan pandangan pada Fatir.
Fatir mengangkat wajahnya. "Saya sudah tawarkan, tapi putri Om, mintanya itu. Saya hanya mengikuti saja."
"Vi, Vi. Kenapa kau cuma meminta itu saja. Emas kah mobil kah, rumah kah. Oh iya, gak mungkin juga dia berikan barang semahal itu ya? kan uang nya cuma segitu!" pak Rusadi tersenyum mengejek.
Fatir mengepalkan tangannya yang sedang bertaut dengan tangan lainnya. Wajahnya berubah merah, untung warna kulitnya tidak putih, kalau saja warna kulitnya terang sudah pasti terlihat jelas memerah. Menahan marah, yang akhirnya ia menghela napas berkali-kali tuk menetralkan perasaannya.
"Aku tidak pernah bermimpi tuk menikahi putri anda, dia sendiri yang meminta ku menikahinya. Kalau saja dia tak ada campur tangan untuk membiayai adik ku, tak ingin aku menikahinya." Batin Fatir, matanya tertuju pada gelas minuman di meja.
Viona pun merasa malu, dengan ucapan sang ayah. Keluarga tak tau kalau yang mengajak menikah itu ia sendiri bukan Fatir, Ia lakukan itu sebagai syarat, agar biaya adik Fatir ia yang tanggung sampai selesai. Dan demi obsesinya tuk jadi pewaris tunggal. Yani grup, sementara tidak menjadi hutang bagi Fatir.
"Papa, benar kata Mas Fatir, kan tadi Vi sudah bilang. Vi yang minta itu, sudah Pah ... cukup merendahkan orang!" Viona kesal pada sang ayah.
"Sudah-sudah, kalian gak usah berdebat. Sekarang tinggal menyiapkan yang seharusnya kita siapkan," ucap oma Yani.
Merasa semua sudah selesai. Darma dan Fatir berpamitan. "Oke, sudah malam. Dan sepertinya sudah tidak ada yang perlu di bahas lagi. Kami pamit pulang." Darma dan Fatir berdiri.
"Kok terburu-buru sekali? Nak Fatir, Nak Darma makan dulu sebelum pulang." Cegah bu Asri. Viona pun mengangguk tanda setuju dengan ucapan sang bunda.
"Iya. Asri benar, kalian sebaiknya makan dulu, jangan buru-buru pulang," sambung oma Yani menatap calon mantunya.
Darma menatap ke arah Fatir. Fatir yang sudah tak sabar untuk pulang menggeleng. "Makasih, Tante, Oma. Kamu harus buru-buru pulang, tadi baby Azam nangis ingin ikut papah nya. Kasian, lagian saya di tunggu adik saya jualan," ujar Fatir, tangannya menyalami keluarga Viona.
"Yo wes ... kalau gitu," bu Asri tersenyum.
"Semoga kau jadi orang sukses nantinya, anak muda." Tangan oma Yani menepuk pundak Fatir.
Fatir senyum tipis. "Makasih Oma." Keduanya berjalan menuju pintu, Viona mengikuti dari belakang. Mengantar sampai tetas.
"Makasih ya Mas?" ucap Viona pada Darma dan Fatir.
Darma mengangguk. "Semoga lancar."
Viona menoleh Fatir yang sedang memainkan ponselnya. "Saya sudah pesan cincin nya, tapi gak tau ukuran jari anda."
"Vi, dia itu calon suami loh. Jadi janganlah mengunakan kata saya dan anda. Kedengarannya sangat kaku, biasa aja dengan kata-kata yang lebih santai gitu bila perlu panggil sayang ke," ledek Darma sambil menyeringai.
Viona dan Fatir saling tatap sebentar. Kemudian keduanya mengalihkan pandangan ke lain arah.
Netra mata Fatir mengarah ke jari Darma. "Kayanya sama dengan jari Darma." Menunjuk jari Darma yang di lingkari cincin kawin.
Manik mata Viona menoleh pada yang Fatir tunjukkan. Darma segera melepas cincin di jarinya untuk di coba di jari Fatir yang ternyata memang pas.
"Baiklah, berarti sama. Oke." Viona mengangguk.
"Baiknya kamu masuk, Vi. kebetulan cuaca kurang mendukung. Anginne semliwir dingin." Darma masuk ke dalam mobilnya, Fatir mengitari mobil Darma lalu masuk dan duduk di samping Darma yang bersiap menyetir.
Viona segera masuk, setelah mobil Darma melaju meninggalkan tempat tersebut.
Mobi Darma terus menerobos membelah kegelapan, angin malam begitu dingin. Langit pun sedikit mendung menandakan bersiap menurunkan bebannya.
Roda terus berputar sampai tak selang lama mobil berhenti di depan rumah Darma yang tampak sepi. Selama perjalanan tak ada sedikitpun pembicaraan diantara mereka berdua.
"Masuk dulu Fatir," ajak Darma setelah menutup pintu mobilnya.
"Aku langsung pulang aja, dah mulai gerimis nih." Tangan Fatir meraih helm dari setang motor. Lalu di pakainya.
"Kita makan dulu, baru kau pulang," sambung Darma kembali.
"Nggak, makasih. Katanya Soraya kecelakaan jadi aku mau ke sana sebentar. Setelah itu baru pulang." Sambil melihat putaran jam di tangannya.
"Kecelakaan? kecelakaan gimana, kata siapa?" selidik Darma sambil melipat tangan di depan dadanya sambil bersandar ke mobil.
"Dia yang bilang, entahlah. Yu, aku jalan dulu, makasih ya?" ucap Fatir sambil melajukan motornya dengan kecepatan sangat kencang. Diiringi gerimis yang menghiasi gelapnya malam.
Selang beberapa waktu motor Fatir pun sampai di depan rumah Soraya, sang kekasih. Fatir turun dan mendekati pintu dan langsung pintu terbuka setelah Fatir mengucapkan salam ....
****
Aku sangat berharap kalau novel ini lebih di sukai nantinya. Setidaknya sama dengan novel yang berjudul SKM. Semoga suka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
😑😑😑😑😑😑
2023-10-29
0
Ratna Aza
cerita suami bukan harapan sama bagus nya dengan cerita SKM.....👌👌nyesel banget knp g dari awal baca....skrang udah ketinggalan.....tp terus baca 👍👍 semangat dan sukses kak 👌👍💪
2022-04-17
1
Wiek Soen
lanjut thor semoga sukses
2022-03-04
1