"Oh iya, Mas gimana keadaan Hesya?" Adam baru ingat sama adiknya.
"Dia di rawat, dan akan terus di rawat sampai sembuh," jawab Fatir, jarinya membuang keuntungan rokok miliknya.
"Di rawat Mas?" Adam tertegun, ia pun memikirkan gimana tentang biayanya? kedua matanya menatap ke arah sang kakak yang memikul beban begitu berat akan kehidupan ibu dan adiknya.
"Iya, akan terus di rawat." Gumamnya Fatir.
Adam menghela napas panjang. "Mas, sepertinya aku ... gak usah masuk kuliah. Biar aku bantu jualan saja Mas, agar Mas gak perlu memikirkan biaya untuk kuliah."
Fatir menoleh, namun sebelum bicara. Ia melayani biasa beberapa pembeli, dengan cekatan dan cekatan Fatir sudah kembali duduk dekat Adam. "Soal biaya, biar mas yang pikirkan. Karena itu sudah kewajiban Mas, kamu cukup menjalani. Soal jualan kan bisa bagi waktu dengan Sidar, kamu harus kuliah. Jangan seperti Mas, yang cuma jualan kecil-kecilan. Bila kamu mau berwirausaha? biar yang besar sekalian, atau kerja kantoran. Jangan seperti Mas."
Adam mendengarkan dengan seksama, ucapan sang Kakak. "Tapi Mas, aku kasian sama Mas. harus memutar otak dengan keras. Untuk kehidupan kami," ucap Adam menunduk sedih.
Tangan Fatir menepuk pundak Adam. "Sudah, jangan pikirkan Mas. Pikirkan saja belajar mu. Biar jadi orang sukses."
Fatir kembali melayani pembeli, dan Adam pulang untuk mengambil pesanan sang Kakak, Fatir.
Akhirnya dagangan pun habis. Dari jauh, Sidar terlihat mendorong gerobak singkong krispi nya. Fatir pun langsung mencecar sang adik tentang jualannya. "Gimana Sidar, jualannya habis atau masih tersisa? kamu sudah makan belum! kalau belum makan, pentingkan dulu kesehatan mu."
Sidar, alias Sidarto. Menatap lesu sang Kakak sambil mengusap keringat dengan handuk kecil. Remaja itu tampak lelah, Fatir tak tak tega rasanya melihat sang adik.
"Makan, sudah Mas. Tadi Sidar pulang dulu makan. Masih ada sisa, Gimana Hesya, Mas?" tanya Sidar yang menghawatirkan adik bungsunya.
"Sya, di rawat dan akan terus di rawat sampai sembuh." Fatir mendudukkan dirinya di bangku yang belum ia rapikan.
"Tapi, Mas. Gimana dengan biayanya?" selidik Sidar menatap ragu.
"Jangan khawatir, insyaAllah. Mas bisa urus, kamu pikirkan saja sekolah mu dan doakan Sya biar cepat sembuh." Fatir menepuk pundak sang adik. Kemudian menghela napas dengan panjang.
Sidar termangu, seolah memikirkan sesuatu yang entah apa itu.
"Sudah malam, pulang sana. Istirahat, Mas nunggu Mas Adam yang mengambil barang ibu dan Sya. Mas akan mengantarkan ke rumah sakit. Kalian baik-baik di rumah." Perintah Fatir pada Sidar.
Adam datang bersama motor Fatir. "Ini Mas pesanan Mas." Menunjuk kantong yang menggantung di motor.
"Ya, makasih. Kalian pulang saja, oya ini uang buat pegangan kalian berdua. Mau makan masak sendiri dan lauknya beli, Mas paling besok pulangnya. Sekalian belanja, oya singkong sisa bawa ke rumah, bagikan saja," pesan Fatir. Memberikan uang pada Adam untuk berdua dengan Sidar.
"Sidar, mana uang hasil jualan hari ini?" pinta Fatir pada sang adik.
Sidar pun segera mengambil dompet dan mengambil isinya untuk di serahkan pada Fatir.
Kemudian Fatir pun mengambil uang itu. "Baiklah, Mas pergi dulu. Kalian pulang!" Fatir menaiki motor dan menyalakannya bersiap ke Rumah sakit.
Sementara Adam dan Sidar mengambil sisa singkong untuk di bawa ke rumah. Kemudian mereka berdua pulang.
Motor Fatir melaju sangat cepat, tujuannya tiada lain adalah rumah sakit, dimana sang adik di rawat. Otak Fatir terus berputar gimana dengan tawaran Viona? dan bila tidak di terima sungguh rugi. Sebab ia takkan sanggup untuk membayar perawatan Hesya. Mana kedua adiknya yang laki-laki butuh biaya buat pendidikannya.
Fatir sendiri sudah berjanji pada dirinya sendiri, apapun caranya. Kedua adiknya harus berpendidikan tinggi. Jangan sampai seperti dirinya, itulah tekad Fatir.
Namun di sisi lain, hati Fatir pun gundah. Bagaimanapun ia sudah punya calon, ya itu Soraya. Wanita yang sudah ia pacari beberapa tahun silam. Apa kata dia? menikahinya gak bisa, tapi malah menikah sama wanita lain. Pikirannya jadi kacau, kusut. Semrawut.
Akhirnya motor Fatir sampai juga di Rumah sakit, tempat Hesya di rawat. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit tersebut. Langkahnya yang lebar membuat Fatir segera sampai di kamar Hesya.
"Assalamu'alaikum, Bu?" Fatir membuka pintu, tampak sang bunda sedang tidur di tempat tidur yang sebelah. Begitupun Hesya sedang tidur.
Langkah Fatir jadi pelan. Takut mengganggu orang yang sedang tidur. Setelah menyimpan kantong di meja, Fatir langsung masuk ke kamar mandi. Pengen kencing dan mau sekalian mandi. Gerah.
Kebetulan, membawa handuk untuk Ibunya. Jadi Fatir pinjem sebentar. Beberapa waktu Fatir memanjakan diri di kamar mandi berendam di Bathub. Di rumah mana ada shower ataupun tempat berendam seperti ini.
****
Di tempat yang berbeda, dan waktu yang sama. Viona sudah nampak segar sehabis mandi barusan. Kemudian berbaring menatap langit-langit. "Kira-kira pria itu mau gak ya? sepertinya sih dia pria yang bertanggung jawab. Iya lah tanggung jawab, orang dia yang ngehidupin kelurganya."
Viona bergumam sendiri sampai rasa kantuk menghinggapi kedua matanya. Menguap oun sudah tak terhitung lagi saking seringnya. Malam yang kian beranjak semakin membuat Viona lelap dalam tidurnya, dengan mata terpejam. Tangannya mencari selimut yang ada di bawah kakinya itu.
Sampai pagi menjelang, tepatnya adzan subuh Viona barulah terbangun dan langsung ke kamar mandi tuk bersih-bersih yang sudah jadi kebiasaannya mandi subuh-subuh, setelah bangun langsung mandi.
Selepas menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Viona membereskan tempat tidur dan menyapu di kamar, membuka gorden dan membuka jendela. Begitu yang Viona lakukan setiap pagi sampai menjelang jam 06.00 wib. Ia gak mau terlalu melibatkan asistennya dalam pekerjaan di dalam kamar. Kecuali pakaian yang kotor baru ia serahkan pada asisten rumah tangganya.
"Bi, bikinkan sarapan ya?" Viona duduk di kursi meja makan sambil memainkan ponselnya.
"Baik, Non. Eh mau sarapan apa?" tanya bi Ijah yang kebingungan tentang sarapan sang Nona.
"Ha, itu. Em ... sereal ajalah. Siang nih!" melirik jam tangannya.
Bi Ijah tidak banyak bicara lagi. Ia langsung aja bikin sarapan yang seperti Viona pinta.
"Pagi sayang ..." sapa bu Asri dan suami yang baru muncul. Di susul oleh oma Yani.
"Pagi juga, Mah, Pa. Oma." Balas Viona sambil meminum air putih.
Kemudian bi Ijah menyuguhkan sereal yang Viona pinta. Yang lain sarapan roti, Viona sarapan sereal hangat.
"Gimana sayang, kapan kau akan mengajak calon mu ke sini?" tanya sang ayah.
Membuat Viona seketika terbatuk-batuk. Buru-buru Viona meneguk air putih.
"Hati-hati dong sayang, jangan terburu-buru sarapannya." Bu Asri tampak cemas melihat putrinya. Tangannya mengambil air putih buat Viona, sebab gelasnya sudah kosong.
"Yang terburu-buru itu kalian. Bukan aku." Batin Viona.
"Kami tunggu kedatangan calon kamu Vi ..." ucap Oma Yani menatap sang cucu satu-satunya itu.
"Em ... insyaAllah nanti sore Vi ajak ke sini. Atau kalau gak hari ini, besok lah Vi ajak dia." Viona santai.
"Bener Vi?" tanya Oma dan sang bunda.
"Benarlah, masa bohong?" sahut Viona. Membuat beberapa pasang mata menatap seolah tak percaya.
Setelah sarapannya habis. Viona segera menyambar tas kerjanya tidak lupa handphone. Sebelumnya Viona pamit pada keluarga, selepas mencium tangan ayah dan bunda juga oma nya. Viona langsung membawa langkahnya menuju garasi mobil.
"Viona?" panggil seseorang yang berdiri di teras sepertinya mau bertamu ....
****
Mau tahu kelanjutannya? di tunggu ya. Oya jangan lupa like dan komen ya? agar aku tambah semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ummi Alfa
Kayanya yg datang yg mau dijodohin sama papanya...
2022-04-21
1
Wiek Soen
siapa tuh yg datang
2022-03-03
1
Mariam Marife
siapa ya yg manggil viona,jadi penasaran?
2022-02-06
1