"Kamu melihat apa Vi?" tanya Alisa heran pada Viona yang ngerem mendadak.
Mata Viona terus saja mengarah pada suatu tempat yang ia anggap ada sesuatu menarik. Netra mata Viona terus saja menatap tek berkedip ke arah seseorang yang nampak bahagia dengan keluarga kecilnya.
Viona berkali-kali menelan saliva, ada rasa sakit yang menyiksa. Ada suatu yang menyesakkan dada, di matanya terlihat genangan demi genangan air yang siap berjatuhan melintasi pipi.
Tidak lama tangisnya pecah, menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ia menangis sangat pilu, jelas Alisa kebingungan dibuatnya. Kemudian Alisa menangkap pemandangan yang mungkin itu, sehingga tangis Viona pecah seketika.
Alisa menarik bahu Viona agar mendekat ke pelukannya. "Jangan, nangis. Kamu tidak boleh menangisi orang yang kini sudah bahagia dengan orang lain, kamu harus mencari kebahagiaan mu sendiri Vi."
Alisa terus mengusap lembut punggung Viona, sahabatnya.
"Kenapa sesakit ini rasanya Al? sakit dada ku sakit ... melihat orang yang aku cintai bersama wanita lain."
"Vi, sadar ... dia itu saudara tiri mu, kamu harus berusaha membuang rasa itu. Hempaskan, buang jauh-jauh, rasa itu tak pantas ada di hati mu Vi. Kamu harus bangkit, cari pengobatannya. tunjukkan kalau kamu bisa bahagia." Ujar Alisa dengan semangatnya menasehati sahabatnya, Viona.
Viona perlahan tenang dan menghentikan tangisnya. Ia menegakkan duduknya, mengusap pipi yang kena banjir air mata. "Oke. Kita pulang."
"Yakin bisa bawa mobil?" tanya Alisa ragu dengan keadaan Viona yang kalut.
"Bisa, lah. Masa enggak," sahutnya sambil bengong seraya berpikir. "Ya ... udah, kamu sajalah yang bawa. Aku malas."
"Oke, kamu geser. Aku mau keluar." Alisa keluar, brugh! menutup pintu dan mengitari mobilnya Viona untuk menggantikan Viona menyetir.
Di perjalanan, Alisa menoleh Viona yang duduk bersandar. Dengan tatapan kosong ke depan.
"Aku antar kamu duluan, sementara aku gimana pulangnya?" tanya Alisa.
"Bawa saja mobil ku," gumam Viona.
"Oke," gumam Alisa mengangguk pelan dengan pandangan fokus ke depan.
Tak selang lama, mobil pun sampai di pekarangan rumah orang tua Viona. Viona pun turun, setelah menutup pintu.
"Al, bawa aja mobilnya. Besok aku ambil mobilnya." Kata Viona dan langsung berjalan dengan gontai menuju pintu.
"Baru pulang, Non?" sapa Bi Ijah, asisten rumah itu.
"Belum Bi," sahut Viona sambil nyengir.
"Si Non, bisa saja." Sambung bi Ijah.
"Bi, kalau mama atau papa nanyain bilang aja aku tidur, gak ada yang bisa ganggu." Pesan Viona sambil jalan gontai, menuju kamarnya dan menjinjing tas nya.
"Baik, Non," sahut bi Ijah. Kemudian menutup pintu, yang sebelumnya celingukan. Melihat mobil Viona gak ada.
Viona menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk itu. Dengan menatap langit pikirannya melayang, mengingat apa yang tadi ia lihat. Membuat air mata yang hangat mengalir di sudut matanya membasahi pipi atas telinga.
Sekitar pukul 19. lewat, bu Asri dan pak Rusadi juga oma Yani sedang makan malam, mata keduanya celingukan mencari keberadaan Viona yang tidak muncul juga di meja makan.
"Bi, Viona mana? kok gak ada makan malam, dia pulang, kan?" selidik pak Rusadi pada bi Ijah.
"Iya, tadi sih Mama juga lihat bayangannya, tapi sampai sekarang gak lihat lagi." Timpal bu Asri sembari mengambilkan makan buat sang suami.
"Iya, tadi ... katanya capek pengen istirahat dan tidak mau di ganggu siapa pun." Jawab bi Ijah yang tengah mencuci perabotan di wastafel.
"Hem, Papa harus segera bicarakan tentang Dewo yang ingin meminangnya itu." Gumam pak Rusadi.
"Ya ... omongin aja Pa, aku juga sedih lihat dia masih sering murung. Mamah juga ingin sekali melihat dia segera menikah--"
"Ibu juga, pastinya Asri. Ingin segera menimbang uyut dari Viona. Masa mau jadi perawan tua?" timpal bu Yani memotong perkataan anaknya, Asri.
Selesai makan, Rusadi dan Asri mendatangi kamar Viona yang adanya di lantai atas. sesampainya di atas tepatnya depan pintu kamar Viona. Bu Asri mengetuk pintu beberapa kali.
Tok ....
Tok ....
Tok ....
"Sayang, Mamah dan papah mau bicara sebentar?" pekik bu Asri.
Mendengar pekikan suara sang bunda, Viona menggeliat Malas. Bangun dan menatap daun pintu. "Ck, ada apa lagi sih?" mengusap kasar wajahnya dan menggosok kelopak matanya.
Dengan ragu Viona turun menapaki lantai, setelah sang bunda berapa kali memanggil. Blak!
Pintu, Viona buka dan nampak lah papah dan mamahnya berdiri. "Ada apa sih Mah?"
"Sayang ... masa sih jam segini sudah tidur? belum makan, lagi!" kata bu Asri yang langsung masuk bersama sang suami.
Viona mengikuti dari belakang kemudian duduk di sofa yang yang ada di sana. Dengan muka bantal, Viona mengusap wajahnya.
"Vi, gimana? bersedia, kan? menerima lamaran, Nak Dewo?" tanya pak Rusadi dengan tatapan penuh harap.
"Iya, sayang. Mau sampai kapan kamu terpuruk begini, cari kebahagiaan mu Vi, sudah waktunya kamu memiliki pendamping hidup. Jangan sendiri melulu." tambah bu Asri.
"Vi, bahagia kok dengan begini," jawab Viona sambil membuang pandangan entah ke mana.
Asri dan Rusadi saling bertukar pandangan. "Vi, Papah sudah tua dan sering sakit-sakitan, kami ingin segera melihat kamu menikah. Punya pendamping hidup yang menyayangi mu dengan tulus," ujar Rusadi matanya pun berkaca-kaca.
"Pa ... Vi belum ingin menikah, apalagi calon. Aku masih ingin sendiri dan aku bahagia kok!" sahut Viona menyakinkan.
"Nak ... usia mu sudah berapa sekarang? sudah cukup umur untuk menikah bahkan memiliki momongan. Calon, biar Papah yang carikan. Sekarang aja Dewo siap melamar mu sayang." Suara Asri begitu lirih dan menggenggam tangan Viona.
"Tapi, Mah ... Vi gak sreg sama Dewo pilihan Papah itu!" netra mata Viona bergerak melihat ke arah sang ayah.
"Kalau kamu gak mau sama Dewo, oke ... ini Papah punya data pria yang mapan dan siap meminang mu kapan saja." Rusadi menunjukkan beberapa data pria yang terbilang muda dan pengusaha pada Viona.
Setelah beberapa saat Viona teliti, namun tak satupun dari semua itu yang sreg dengan hatinya. Sampai detik ini, cintanya masih untuk seorang Hendra. Anak tiri dari sang ayah.
"Tidak, aku tidak tertarik Pa ... aku gak mau." Viona menggeleng, hatinya begitu dingin pada pria lain. Jangankan dengan pilihan orang tua yang belum pernah ia kenal, pria yang secara langsung mendekatinya saja, Viona tetap gak tertarik sama sekali.
Asri menarik napas dengan panjang. Melihat ke arah suaminya yang menggeleng-geleng.
"Terus, mau kamu laki-laki seperti apa sih Vi?" Rusadi menatap tajam.
"Aku gak mau yang gimana-gimana Pa," Viona menundukkan pandangannya.
"Kalau begitu, Papah akan putuskan sendiri, dan kamu harus mau. Siapapun pilihan Papah." Dengan nada agak tinggi.
Viona mendongak dan menggeleng. "Vi, belum ingin menikah titik!"
"Papah gak perduli, kamu harus menerima pinangan Dewo." Sambung Rusadi.
"Apalagi Dewo, aku gak mau. Aku tau siapa dia yang sering ganti-ganti pasangan dan juga hobi nongkrong di Bar. Ogah." kekeh Viona yang semakin merasa di kekang.
"Ehem," suara dehem dari seseorang yang sedang berdiri di depan pintu ....
****
Salam Dari SKM ya. Semoga suka juga dengan novel ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
pat_pat
lanjoootttt
2021-12-07
2