Mobil Viona terus merayap menuju rumah Alisa dan Darma. Tangan Viona nampak lihai memutar setirnya, tak selang lama mobil Viona memasuki komplek perumahan tempat tinggal Alisa.
Di halaman rumah Alisa tampak terparkir sebuah motor yang Viona pikir milik dari Fatir. Dan benar saja Fatir sendiri duduk di teras bertemankan sebatang rokok di sela jarinya serta segelas juse di meja.
Viona menghampiri, tidak lupa mengucap salam dan langsung Alisa keluar dengan baby Azam di gendongan.
"Sudah lama nunggu Mas?" tanya Viona melirik ke arah Fatir.
"Nggak juga baru sepuluh menit." Jawabnya Fatir.
"Hai Azam. Baby gembul?" netra mata Viona beralih ke arah Azam yang berada di pelukan sang bunda.
Manik mata Alisa mengamati penampilan Viona dari bawah sampai atas. Viona yang saat ini mengenakan celana panjang bahan berwarna krem dan kaus pendek dengan warna senada. Rambut yang lurus terurai panjang. Tampak menawan dengan tinggi badan yang semampai.
Viona pun mengamati penampilannya. Merasa heran. "Kenapa sih? ada yang aneh ya? dengan penampilan ku ini!"
"Tidak, oke kok." Jawab Alisa sambil mengacungkan jempolnya.
Viona memutar bola matanya. "Haish ... aku kira gak oke. Oya, nanti setelah dari percetakan. Mas balik ke sini lagi, kan nanti nanti ke rumahku sama mas Darma lagi," ucap Viona pada Fatir yang berdiri dan membuang kuntung rokok nya ke tanah.
"Emang mau pergi sekarang? gak mau duduk dulu, masuk dulu gitu?" tanya Alisa.
Viona mengernyitkan keningnya. "Mau apa? paling di suruh memegang Azam. Malas ah."
"Dasar. Ya sudah, pergi sana?" titah Alisa.
Viona pun pergi, diikuti oleh Fatir dari belakang. Keduanya memasuki mobil Viona. Kemudian Viona langsung menyalakan mobilnya, lalu melaju meninggalkan tempat tersebut menuju percetakan.
Beberapa saat kemudian mobil Viona sampai di tempat tujuan. Viona dan Fatir turun dari mobil, kebetulan Viona sudah membuat janji. Jadi dengan mudah mereka bertemu pihak percetakan, kemudian mereka duduk di tempat yang nyaman. Ketiganya Mengobrol tentang kartu undangan yang Viona inginkan.
Setelah memilih kartu undangan yang merasa mereka cocok, barulah mereka kembali ke mobil. Setelah di mobil Fatir menatap Viona sekilas.
"Mbak, belum menjawab. Mahar apa yang anda inginkan dari saya?" ungkap Fatir sambil melihat jendela yang berada di sampingnya. Tembuskan pandangan keluar.
Sebelum menyalakan mesin, Viona menghela napas panjang. "Mas maunya memberi apa?" pada akhirnya Viona malah balik bertanya.
Fatir terdiam sejenak tanpa menoleh. Kemudian menggerakkan wajahnya pandangan tertuju pada Viona. "Seperti yang pernah saya katakan. Saya ada uang untuk membelikan mu mahar, sebab mahar hukumnya wajib diberikan."
Viona melirik sekilas. "Yang sekiranya tidak memberatkan anda saja lah Mas," ucap Viona pasrah.
"Kalau anda bilang seperti itu, secara tidak langsung bikin saya bingung. Bingung karena apa yang harus aku siapkan?" menatap tajam. "Sekalipun pernikahan ini kamu yang inginkan, tapi sebagai laki-laki saya tetap harus bertanggung jawab. Bahkan kalau bisa setelah menikah kita tidak boleh tinggal bersama orang tua."
Sontak Viona melihat ke arah Fatir lama. "Apa Mas, jangan tinggal sama orang tua? saya bisa membelinya tapi rumah besar yang saya tempati akan percuma. Toh itu akan jadi milik saya. Tinggal di tempat mu apa lagi? tempatnya gak akan cukup untuk menampung ku! ngontrak? aduh ... mendingan uangnya kamu simpan buat pendidikan adikmu itu." Viona menggeleng. "Maaf Mas, bukannya saya merendahkan?"
Lagi-lagi Fatir terdiam, memang benar kata-kata Viona. Gak mungkin juga ngontrak rumah. Sebab itu hanya akan menambah beban untuknya. "Sa-saya ... bilang, kan kalau bisa."
"Udah deh, jangan banyak acara. Soal mahar belikan aku alat salat ajalah. Biar gak ribet." Viona menyalakan mesin. Lalu memutar kemudi, melajukan dengan cepat kembali ke rumah Alisa.
Fatir mengangguk. Setelah mendengar keputusan Viona tentang masalah mahar itu. "Baiklah kalau itu keridhoan Mbak, semoga bermanfaat nantinya."
Viona tak merespon. Matanya fokus ke depan, melihat jalanan yang tampak ramai.
Dalam pikirannya Fatir sekarang, gimana caranya menghadapi orang tua Viona nanti saat ia dan Darma memberikan uang buat menikah itu.
Viona hanya melirik sekilas sambil terus melajukan mobilnya. Tak ada perbincangan diantara mereka lagi keduanya hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Viona terus saja menancap gas sampai tidak butuh waktu lama lagi tuk sampai tempat tujuan, mereka pun sampai di teras rumah Alisa.
Langsung tuan rumah menyuruhnya masuk, mereka semua duduk di ruang tamu. Alisa langsung mengambil minuman ke belakang.
"Aduh gak usah repot-repot Bu, bisa ambil sendiri kok. Kebetulan aus nih." Viona langsung menyambar gelas jus dari tangan Alisa sebelum sampai ke meja.
"Cielah ... lagaknya, gak usah. Bisa ambil sendiri, kok di sambar juga." Gerutu Alisa.
"Orang sudah dibikinkan, sayang lah mubazir." Elak Viona sambil menyimpan gelas di meja.
"Gimana lancar tadi?" tanya Darma. Menatap Fatir dan Viona.
Fatir mengangguk pelan sambil mengeluarkan sebungkus rokoknya dari saku celananya.
"Lancar, cuma bikin undangan kok." Jawab Viona.
"Cincin nikah sudah beli?" selidik Alisa. Menatap keduanya.
"Cincin? Cincin yang buat laki-laki dan perempuan itu?" tanya Fatir polos.
"Iya, nih seperti kami. Lihat jari kami melingkar cincin kawin," ucap Darma sambil menaik turunkan alisnya.
"Laki-laki itu haram hukumnya memakai cincin dari emas. Kecuali dari bahan perak, kalau buat laki-laki," ucap Fatir sambil mengisap rokoknya.
"Emang, cincin kawin wajib ya?" tanya Viona pada Alisa dan Darma.
"Nggak sih cuma simbol aja," kata Darma.
"Ya udah, kalau laki-laki haram memakai emas. Bikin aja buat perempuan emas, dan buat laki-laki perak tapi dengan model yang sama," timpal Alisa.
"Sudah lah, gak usah cincin-cincin kawin segala. Yang ada ribet, nanti ketauan kekasih nya Fatir. Jadi gak perlu lah." Viona menggeleng.
Semua mata memandangi ke arah Viona yang duduk menyandar ke bahu sofa sambil memakai masker.
"Kalau Mbak mau? bikin aja gak pa-pa paling 2 3 gram aja, kan?tapi yang buat aku, harus terbuat dari perak." Fatir menatap tajam ke arah Viona.
"Kan, barusan saya bilang. Gak perlu lah, ribet. Nanti ketauan kekasih Mas Fatir." Tambah Viona kembali.
Fatir terdiam. Alisa dan Darma saling bertukar pandangan, Alisa menaikan bahunya.
Hening!
Perkataan Viona memang benar. Ribet juga kalau harus memakai cincin kawin. Nanti ketauan oleh Soraya. "Tapi kenapa mesti takut dan biar saja mereka tahu, kalau dia mau, pasti mau juga menunggu ku." Batin Fatir.
Viona beranjak, dan meraih tas nya. "Aku pulang dulu ah?" sambil berjalan menuju pintu.
"Tunggu?" Fatir pun berdiri dan mengikuti langkah Viona
Suara Fatir membuat langkah Viona terhenti di pintu. Berbalik. "Ada apa?"
"Bagi saya tak masalah kok, bikin aja cincin nya. Nanti ku bayar, masalah nya nanti bisa-bisa dipertanyakan oleh keluarga mu. Dan aku gak bisa jawab apapun," ujar Fatir.
''Iya, Vi ... bikin aja itukan simbol, supaya semua orang tahu kalau Viona Nurulita sudah menikah. Gak ada yang bisa menggoda lagi termasuk Dewo Vi," ucap Alisa nimbrung.
Netra mata Viona dan Fatir berbarengan melihat ke arah Alisa. Menatap datar wanita itu.
"Bener juga sih," tambah Viona membenarkan perkataan Alisa, sahabatnya.
"Baiklah, kalau kamu gak keberatan. Akan aku pesankan." Gumam Viona pada Fatir yang berdiri di hadapannya.
"Ya," gumam Fatir, kakunya kembali melangkah ke tempat duduk semula.
"Yo, ku pulang?" ucap Viona sambil mengayunkan langkah kakinya menuju mobil.
"Sana, datang juga gak di jemput. Masa pulang harus diantar, malu dong?" ungkap Alisa mencibir Viona.
Viona berbalik dan mengepalkan tangannya. Dengan bibir maju ke depan seraya bergumam. "Dasar,"
Alisa terkekeh, Darma pun mesem sambil menggeleng pelan melihat kelakuan istri dan sahabatnya itu.
Viona tancap gas. Memutar kemudi melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Alisa dan Darma ....
****
BHS up lagi nih. Semoga suka ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Wiek Soen
susah klo mw menikah dg orang kaya...tp Viona baik sekali
2022-03-04
1
Watilaras
next bestie
2022-03-03
1
tutut puput
lanjutkan
2022-03-02
1