"Apa itu?" tanya Fatir, menatap penuh penasaran.
Viona melihat kedua sahabatnya, Alisa dan Darma. Kemudian ia melanjutkan ucapannya. "Uang yang akan saya keluarkan untuk biaya adik Mas. Tidak akan menjadi hutang, bila Mas mau menikahi saya," ucap Viona sedikit lirih. Tak ingin terdengar oleh bu Afiah.
Alangkah terperangah nya Fatir, ketika Viona bicara demikian. Seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Fatir melontarkan lagi pertanyaan. "Apa? maksudnya, gimana. Aku kurang faham." Fatir sedikit meninggikan nada suaranya. Namun melihat ekor mata Viona yang melirik sang bunda. Fatir langsung menurunkan nadanya.
"Mas. Harus menikahi saya, dan itu syarat agar Mas. Tak perlu repot-repot memikirkan kesembuhan adik Mas itu, semua aku yang nanggung." Jelas Viona menatap tajam.
Fatir menggeleng. "Maaf Mbak. Saya sudah punya kekasih," ucap Fatir sambil menunduk.
Darma dan Alisa saling pandang. mereka berdua sudah menduga dengan kejujuran Fatir.
"Saya, tidak memaksa. Itu cuma tawaran saja, Mas. Mau atau tidak terserah Mas juga. Tapi kalau soal pengobatan adik Mas, insyaAllah aku lanjutkan kok." Tegas Viona, melirik Alisa dan Darma yang terlihat jelas keduanya menghela napas panjang.
Kedua netra mata Fatir mengarah pada sang adik yang terbaring lemah, walau sudah sadar dan di dampingi sang bunda. "Aku ... aku akan pikirkan ini, minta waktu lah beberapa hari untuk berpikir."
"Aku, gak ada waktu banyak lagi. Nanti keburu orang tua bawakan aku pria pilihannya untuk meminang ku." Akunya Viona.
Fatir menatap ke arah Viona dengan terheran-heran. "Kenapa tidak mau di pinang pria pilihan orang tua Mbak? kan pasti pria yang kaya raya, yang sebanding dengan Mbak."
"Maaf, saya cuma memberi tawaran ataupun syarat. Bukan minta di wawancara Mas." Viona menatap tidak suka.
Fatir terdiam. Pandangannya tertuju pada adik dan ibunda. Pikiran pun melayang pada sang kekasih yang bernama Soraya.
"Al, Mas Darma. Aku mau pulang dulu sudah sore loh. Hampir magrib," ucap Viona, meraih tas dan ponselnya, berdiri dan pamitan pada bu Afiah.
"Bu, Aku pulang dulu. Lain kali ke sini lagi," pamit Viona mencium punggung tangan bu Afiah. Lalu menatap pasien yang nampak lemah itu.
''Makasih ya Nak ... makasih juga pada Nak Alisa dan suami," tutur bu Afiah.
"Iya, Bu." Viona keluar duluan.
"Fatir, susul dia?" Darma seakan berbisik.
Fatir malah bengong. Dia bingung harus berkata apa lagi pada Viona. Namun akhirnya Fatir berdiri dan mengikuti langkah Viona.
Sementara Darma dan Alisa menghampiri bu Afiah.
"Mbak, tunggu?" suara Fatir menghentikan langkah Viona.
Viona berdiri dan menoleh. "Ada apa?''
"Sa-ya, saya ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya. Sebab Mbak mau membantu pengobatan adik saya, dan apa kita bisa kita bicara sebentar?"
Viona menatap datar pria tersebut. "Ada apa? sambil jalan aja,"
Fatir mengangguk, keduanya bicara sambil jalan. "Kalau seandainya saya mau menikahi Mbak--"
"Vi, namaku Viona. Bukan Mbak." Jelas Viona.
"I-iya, maksud saya kalau kita menikah. Biayanya dari mana? kecuali kamu mau sesederhana mungkin. Kalau untuk maskawin alat salat, cincin beberapa gram sih ... dan ijab kabul saja, saya bisa. Walau saya harus menguras tabungan cadangan biaya kuliah Adam."
Viona menoleh dan hentikan langkahnya. Fatir pun berhenti dan berdiri di depan Viona.
"Kalau untuk biaya nikah. Pesta atau apa lah biar aku yang tanggung, em ... saya kasihkan pada Mas, dan anggap itu uang Mas kalau di mata orang tua ku. Tapi ... kalau soal maskawin, aku serahkan pada Mas aja." Kalau soal maskawin Viona menyerahkan pada Fatir.
Fatir terdiam sejenak. Ia mengunci bibirnya, apa iya dia akan menikahi wanita yang kaya ini? sementara ia sendiri cuma pria miskin yang tak punya apa-apa.
"Mbak, eh Vi, kita baru hari ini ketemu. Kok bisa Mbak eh Vi bisa menjatuhkan pilihan sama saya. Bukan kah jodoh itu harus melihat babat bebet dan bobot ya?" ucap Fatir sambil kembali berjalan di belakang Viona.
Viona menggeleng. "Entahlah Mas, sudahlah ... jangan bertanya kenapa, kenapa dan kenapa? kalau nanti orang tua saya tanya, bilang saja sudah kenal beberapa bulan."
"Tapi, Vi ... kita tidak saling mengenal," ungkap Fatir lagi.
Viona berdiri dekat pintu mobilnya. Netra matanya menatap tajam ke arah pria yang yang terlihat cukup manis. Rambut sedikit ikal dan rahang pun berbulu halus itu. "Saya rasa tak perlu lah kita saling kenal lebih jauh. Toh pernikahan kita cuma status nantinya."
"Maksud kamu apa Vi? menikah itu suatu yang sakral, suci. Kalau kita sudah memasukinya, hendaknya menjalani dengan baik, begitupun saya. Harus menjadi suami yang bertanggung jawab juga," sambung Fatir.
Viona tidak menjawab apapun lagi. Dan memasuki mobilnya, Viona sudah duduk di belakang kemudi. Pun Fatir menutup pintunya perlahan.
"Ya sudah, hati-hati." Gumamnya Fatir.
Tidak ada kata-kata, ataupun senyuman yang Viona berikan. Ia malah bersiap pergi memutar kemudi, jius .... mobil berlalu menjauhi Fatir yang masih berdiri dan memandangi ekor mobil Viona.
Setelah mobil Viona tak lagi terlihat bayang-bayang nya, Fatir kembali ke ruangan sang adik. Di sana masih ada Darma dan Alisa tengah mengobrol dengan sang bunda. Sebelum menghampiri mereka, Fatir memasuki kamar mandi mau mengambil air wudu.
"Nak Darma, Nak Alisa ... Ibu kok jadi was-was ya. Tempat sebagus ini berapa seharinya?" mata wanita paruh baya itu menyapukan pandangan ke setiap sudut ruang yang mewah tersebut.
"Entah, Bu. Yang jelas jutaan," ucap Darma.
Bu Afiah tercengang dan shock mendengarnya saja. Kepala menggeleng, seakan tak percaya. Dan bingung. Gimana bayarnya.
"Apalagi dengan segala pasilitas nya. Dispenser juga ada, gak harus susah-susah membeli minum. Wastafel, sofa dan tempat tidur buat yang menunggui juga tersedia," ujar Alisa dan Darma bergantian. "Bagai di hotel pokok nya."
"Subhanallah ... gimana kamu bayarnya Nak?" bu Afiah melirik putranya yang baru saja duduk di sofa sebelah. Menatap dengan tatapan gusar.
"Jangan, khawatir Bu. InsyaAllah ada yang mau nanggung. Yang Penting Hesya sembuh." sambung Alisa mengelus punggung wanita paruh baya itu.
"Siapa, Nak Alisa?" selidik bu Afiah.
"Yang tadi. Kawan saya, Bu. Viona." Jelas Alisa.
"Masya Allah. Baik banget, Nak Viona itu. Tapi kan satu saat nanti harus dibayar juga," ungkap bu Afiah tampak bingung.
"Sudah lah, Bu ... jangan banyak pikiran, yang penting sembuh Hesya nya," kata Darma.
Darma dan Alisa, bu Afiah ke mushola untuk menunaikan salat Maghrib. Fatir menunggui sang adik.
"Mas, aku di mana?" selidik sang adik.
Fatir menoleh. "Sedang di Rumah sakit Sya." Jawab Fatir sambil mengusap kening sang adik yang terbaring lemah itu.
"Kok, tidak seperti di Rumah sakit Mas, tempat ini bagus sekali." Lirihnya Hesya yang Fatir Panggil dengan panggilan Sya.
"Iya, kamu suka? cepat a
sembuh ya," sambung Fatir.
"Tapi Mas," Sya menatap sendu ke arah sang Kakak.
"Sudah, jangan banyak pikiran. Sekarang pikirkan saja gimana caranya kamu cepat sembuh." Fatir kembali mengelus kening Hesya.
Hesya tidak bicara lagi, melainkan memejamkan matanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.wib, Darma dan Alisa pamit. Begitupun Fatir yang baru datang dari membeli makanan buat sang ibu. Memilih pulang, mengecek jualannya. Kasihan Adik-adiknya besok ada urusan di sekolah.
"Ibu jangan ke mana-mana, di sini aja, nanti aku ke sini bawa alat salat buat Ibu. Aku harus fokus dengan jualan ku," Fatir mencium punggung tangan sang ibunda.
Tanpa banyak berkata-kata, bu Afiah hanya mengangguk. Kemudian mereka bertiga keluar dari Rumah sakit. Dengan taksi yang sudah menunggu.
"Gimana, apa kamu bersedia menerima tawaran dari Viona?" selidik Darma. Jiwa kepo nya meronta-meronta.
Fatir yang duduk di samping supir pun, tidak segera menjawab Ia malah mengisap rokok nya dengan nikmat. Kemudian menjawab sambil melirik. "Nggak tau, lihat kedepannya aja."
"Tapi, Viona butuh jawaban yang secepatnya loh, Mas," sambung Alisa.
Fatir memandang lepas ke jalanan dan sinar yang menyorot dari lampu kendaraan lain. "Akan aku pikirkan Mbak. Secepatnya."
"Kalau Mas Fatir mau jadi suaminya, aku titip ya? jangan sakiti dia, dia sahabatku satu-satunya," pesan Alisa.
"Tapi, entah lah." Fatir menarik napas dalam-dalam.
"Pokok nya aku titip Viona. Kalau Mas macam-macam, aku yang di depan membela dia." ketus Alisa.
''Emangnya dia hamil? sampai-sampai harus terburu-buru segala,'' selidik Fatir.
''Ih, nggak. Enak saja, dia mau di jodohkan. Dianya gak mau, kan tadi di jelaskan." Jelas Alisa menatap Fatir tajam.
Fatir menggeleng. Sembari membuang asap rokok dari hidungnya. Fatir turun tepat du depan gerobaknya yang masih buka dan Adam yang menggantikan Sidar masih terlihat melayani pembeli.
"Kami pulang dulu ya?" pamit Darma.
"Ya, hati-hati." Fatir mengangkat tangannya. Kemudian menghampiri Adam.
"Adam, masih banyak apa?" selidik Fatir sambil melihat-lihat ke dalam gerobak.
"Masih ada Mas."
"Tadi aku suruh, Sidar yang di sini. Kenapa jadi Adam?" Fatir heran, sambil mendudukkan dirinya di bangku.
"Si Sidar gak mau di sini, lebih baik di singkong aja katanya, mas," sahut Adam.
"Ya, sudah. Kamu pulang aja, biar Mas yang teruskan. Oya kamu pulang dulu ambil pakaian Ibu dan Hesya, jangan lupa mukenanya buat ibu. Bawa ke sini dengan motor nya. Mas nanti yang akan mengantarkan ke Rumah sakit, setelah jualan abis." Fatir memberi perintah pada sang adik ....
****
Hai .... BSH up nih. Semoga suka ya? jadikan ini favorit bagi kalian ya, makasih ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
masih nyimak....
sempet ketumpuk² sma yang laen....🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2023-10-29
1
Dedew
ceritanya bagus tapi yg like sedikit,mungkin blm banyak yg tau semangat Thor💪
2022-09-26
2
ida rostiani
suka cerita nya Thor lanjut semangat
2022-02-02
2