Dua perawat datang memasuki ruangan Hesya. Mengecek keadaan pasiennya. Fatir pun mempersilakan, Fatir menemani sang ibu menunggu sang adik yang terbaring lemah.
Sekitar pukul 03 dini hari Fatir sudah bersiap pulang, sekalian mau ke pasar. Belanja buat dagang dagangan, kemudian ia pamit pada sang ibu yang sedang bersimpuh di atas sajadah.
"Bu, Aku pulang dulu." Meraih tangan sang ibunda, lalu diciumnya.
"Iya, hati-hati Nak."
Fatir pergi, setelah sebelumnya mengucapkan salam pada sang ibu. Bu Afiah memandangi punggung sang putra sampai hiang dibalik pintu.
Fatir menyusuri lorong rumah sakit, suasana jelas masih gelap. Toh masih pukul 3 pagi, Ia menaiki motornya. Tidak lupa memakai helm sebagai pelindung kepalanya, setelah menyalakan mesin motor. Fatir melompat kan kendaraan rida duanya hingga melesat meninggalkan area Rumah sakit.
Seperti biasa setelah pulang dari pasar, Fatir beres-beres dibantu oleh kedua adiknya sebelum menjalankan kegiatannya masing-masing yang diantaranya sekolah.
****
Viona sedang menyeduh kopi untuknya, menyiapkan roti beserta mentega dan coklat.
"Wah ... Non mau menikah, rasanya Bibi kaget. Non gak pernah membawa laki-laki eh tiba-tiba mau nikah. Bibi shock Non." Suara bi Ijah.
Viona terdiam. "Buat apa lama-lama pacaran atau apalah namanya Bi, kalau tak menikah juga." Gumam Viona sambil menunduk.
Bi Ijah malah bengong, rupanya perkataannya membuat Viona sedih. "Aduh, salah ngomong." menepuk mulutnya. "Maaf Non, bukan maksud Bibi--"
"Nggak pa Bi," ucap Viona sambil memasukan roti ke mulutnya. Walau mendadak jadi tak berselera.
"Pagi sayang ..." sapa Oma Yani. Menghampiri meja makan tuk sarapan.
"Pagi, Oma. Oya Oma mau sarapan apa? Vi ambilkan." Menatap ke arah Oma nya yang duduk di sampingnya.
Datang ayah dan ibunya. Sama-sama duduk berhadapan dengan Viona dan bu Yani. Pak Rusadi sudah rapi, dengan penampilannya yang siap ke kantor.
"Oma nasi goreng saja Vi." Jawab bu Yani yang langsung Viona ambilkan.
"Kapan kamu akan membuat undangan? waktu 10 hari itu singkat loh. Ya ... bagus-bagus gak jadi sih," ungkap pak Rusadi dengan santainya.
Yang lain melihat ke arah pak Rusadi yang seenaknya. Bicara seperti itu.
"Papa, sebenarnya yang ingin aku jadi perawan tua itu siapa sih. Papa, iya? aku di tuntut cepat menikah. Tapi ketika aku mau menikah, kok ayah kekeh tidak meridhoi. Oma, bilangin Papa." Pinta Viona melirik omanya.
"Iya nih, maunya kamu apa sih? jadi serba salah Cucu ku ini, Heran." Gerutu bu Rahma pada mantunya. Rusadi.
"Masalahnya Mam ... dia itu--"
"Sudah, saya gak mau mendengar apa-apa, mengganggu selera makan saja," ketus bu Yani.
Hening!
"Sayang, kamu gak sarapan?" tanya sang bunda pada Viona putrinya.
"Vi, sudah makan roti. Oke Vi berangkat dulu." Viona berdiri menyambar tas nya. "Yu Mam, Pah, Oma." Viona mencium tangan orang tua nya bergantian.
Viona menyetir mobil dengan santai, di jalan menjemput Alisa yang nunggu seperti biasa.
"Sorry ya semalam pinjem suami mu sampai malam!" ucap Viona sambil kembali menjalankan mobilnya. Setelah Alisa duduk di sampingnya.
"Nggak pa-pa, santai aja. Lagian aku ngerti juga kalau semua itu gak akan semulus itu, maklum kan kamu itu keturunan ningrat. Sementara Fatir cuma orang biasa. Wajarlah, masih mending diterima juga," ujar Alisa dengan posisi duduk menghadap ke arah Viona.
Viona menghela napas panjang. "Iya, tapi itu bagi ayah ku, tidak dengan oma dan mama, mereka setuju aja. Gak ada masalah kok."
"Oya, baguslah kalau cuma ayah mu yang menentang. Setidaknya kamu punya banyak dukungan, iya gak?" sambil menaik turunkan alisnya.
"Kira-kira seperti itu lah," ucap Viona sambil terus melihat jalanan yang sudah ramai dengan orang yang beraktifitas.
Selang beberapa waktu. Mobil Viona sampai di halaman kantor tempat mereka bekerja. Langkah Viona yang berwibawa memancarkan ke pemimpinan, namun tetap terlihat anggun.
Semua karyawan mengangguk hormat pada Viona yang dibalas dengan anggukan.
Alisa duduk di tempatnya bekerja, sementara Viona masuk ke ruangan pribadi dan langsung memulai aktifitasnya. Tumpukan berkas yang di meja sudah menunggu tangan Viona.
Seperti biasa waktu makan siang, Alisa mengajak Viona tuk makan siang bareng. "Ibu Viona yang cantik dan calon pengantin, makan siang dulu yu?"
Viona menoleh pada Alisa yang berdiri di depan pintu. "Duluan aja lah, belum lapar," ucap Viona sambil kembali menatap layar laptopnya.
"Hai, buruan makan, jangan nanti-nanti! keburu habis waktu." Jelas Alisa, mendekati dan menarik tangan Viona.
"Kamu ini, main paksa-paksa aja aku ini masih sibuk," ungkap Viona, pada akhirnya ia berdiri juga mengikuti langkah Alisa yang menarik tangannya erat.
"Kalau gak dipaksa, kamu itu terlalu santai. Orang nya terlalu santai, masih banyak waktu lah. ini lah itu lah," ucap Alisa sambil memajukan bibirnya ke depan.
"Jangan di tarik juga kali ah, kaya penjahat aja," gerutu Viona yang tak terima di tarik-tarik.
"Oke-oke!" Alisa melepaskan tangannya, kemudian mereka berjalan beriringan menuju tempat makan yang berada di samping kantor.
Sedang asik makan, Alisa menerima sebuah pesan dari sang suami. Kemudian Alisa menoleh ke arah Viona yang tengah makan. "Kata Mas Darma, mungkin di suruh calon suami mu. Katanya mau maskawin apa?"
Viona bingung, dan gak tahu harus minta apa. Rasanya gak butuh apapun. "Terserah."
"Terserah? yang jelas dong jangan bikin orang bingung, kalau kamu bilang terserah. Itu orang bingung, terus membeli sesuatu yang akan benar-benar kamu tidak butuhkan, kan sayang mubazir Nona ...."
"Iya, terserah, sebab aku juga bingung, toh aku gak butuh apa-apa, ngerti kan?" balas Viona kekeh.
"Vi, maskawin atau mahar itu hukumnya wajib loh. Dalam pernikahan, mau besar maupun kecil. Mau tunai ataupun ngutang istilahnya, tetap wajib hukumnya," ujar Alisa.
"Kalau ditiadakan bisa gak? kasian. Uang nikah aja dari aku," Viona mengernyitkan keningnya.
"Tidak bisa, itu tidak bisa sayang, kan barusan aku sudah bilang. Mahar itu hukumnya wajib, kecuali kamu sebagai pihak wanita memintanya yang tidak merepotkan pihak laki-laki. Apapun itu. Tapi masa mau pesta tapi maskawin super murah? maskawin itu hak kita loh sebagai perempuan. Lagian Fatir sudah bilang kalau dia punya uang lima juta dan akan ia pakai buat mahar," ujar Alisa.
"Tapi itu tabungan dia buat nikah sama cewe nya atau biaya adiknya pendidikan. Atau apa gitu yang lebih bermanfaat," ucap Viona sambil menyuapkan makannya.
"Biaya pendidikan adiknya kan kamu bisa bantu! nikah sama kekasihnya? biar jadi urusan dia lah, bukan urusan mu, yang penting saat ini dia memberikan mahar padamu itu saja." Jelas Alisa disela makannya itu.
"Bingung ah."
"Vi ... kamu tinggal sebutkan aja," lanjut Alisa kembali.
"Bilang aja, sebelum mengantarkan uang ke rumah. Kita ke percetakan dulu. Buat undangan. Soal mahar nanti saja kita pikirkan." Viona memutuskan untuk ke percetakan.
"Jam berapa Nona?" tanya Alisa menatap sahabatnya itu.
"Em ... pukul empat sore. Tunggu di rumah mu aja, aku yang akan jemput ke sana." Tegas Viona.
"Oke, aku sampaikan sama Mas Darma."
"Emang Mas Darma mu itu gak kerja, bareng dia gitu?" selidik Viona.
"Kerja lah, kan ada ponsel. Emangnya kamu sudah tukeran nomor handphone?" tanya Alisa menatap sang sahabat.
Viona menggeleng pelan dengan meneguk minumnya sampai tandas. Kemudian mereka kembali ke tempat kerjanya. Setelah membayar makan siangnya.
Beberapa jam kemudian, Viona sudah bersiap-siap untuk ke ramah Alisa untuk menjemput Fatir. Karena sore ini mau ke tempat percetakan, mau bikin undangan.
Di perjalanan, Viona melihat orang kerumunan di pinggir jalan sehingga menghalangi kendaraan yang mau lewat. Mata Viona mendapati seorang wanita yang mungkin terjatuh dari sebuah motor ....
****
Hai, aku hadir lagi nih. Semoga suka dengan cerita ini ya reader ku🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Wiek Soen
lanjut thor
2022-03-04
1
Mentari
Insya Allah ke depannya kk
2022-03-02
1
sryharty
ko upnya lama seh mam,,andai bisa tiap hari up nya,,senang rasanya
2022-03-02
2