Viona tersenyum bahagia. Sebentar lagi ia akan menjadi pewaris tunggal dari sang Nenek. Kalau ia tak menikah, otomatis ia tidak mendapatkan hak sepenuhnya dari harta keluarganya itu.
"Kapan, Nak Fatir siap nikahi cucu saya ini?" selidik bu Yani. Menatap tajam.
Darma dan Fatir saling tatap. Kemudian Fatir menoleh ke arah Viona, wanita cantik itu tampak mengulas senyuman. "Secepatnya Oma. Pengennya minggu ini." Jelas Fatir. Menatap orang-orang yang ada di sana bergantian.
"Apa minggu ini juga?" keluarga Viona nampak kaget. "Tidak salah itu?"
"Ups, kenapa kalian kaget? wajarlah kalau mereka ingin secepatnya. Mungkin mereka ingin segera ehem-ehem, kan kalau sudah nikah bebas." Timpal Darma sambil memainkan alisnya.
Fatir menoleh ke arah Darma. Dengan tatapan datar, menurutnya penuturan Darma masuk akal juga. Sementara Darma santai aja.
"Gimana kalau mereka sudah gak kuat? melakukannya sebelum menikah, kita pun selaku orang tua atau keluarga akan ikut berdosa bukan. Sebab ketika mereka ingin menikah tidak kita mengindahkan nya, hendaknya sesuatu yang baik itu janganlah di tunda-tunda," ujar Darma dengan panjang. Sementara Keluarga Viona terdiam.
"Kami memang merencanakan di minggu ini. Oma, Mama. Papa. nikahkan kami ya?" suara Viona penuh permohonan.
Helaan napas yang berat dari pak Rusadi menandakan ke tidak setujuan nya atas pernikahan putrinya ini. Masalahnya calon dia yang membuat ia kurang setuju, masa seorang Viona akan menikah dengan pria biasa, sementara bu Asri menatap cemas ke arah suaminya.
"Baiklah, tapi saya sebagai orang tua Viona ingin melihat bibit bebet dan bobot nya kamu." Jelas pak Rusadi.
Fatir menatap ke arah Viona. Ia bingung, kalau pak Rusadi pengen bertemu dengan orang tua nya. Sementara ibunya gak tahu apa-apa dan ia sendiri belum bicara apa-apa pada sang bunda.
"Papa ... Mas Darma tahu bibit bebet dan bobotnya Fatir kok." Bela Viona sambil melirik Darma yang langsung memberi anggukan.
"Benar, saya tahu benar Fatir ini Om, saya kenal baik dengan orang tua Fatir. Termasuk almarhum ayahnya." Akunya Darma meyakinkan.
"Baiklah, saya putuskan kalau acaranya 10 hari lagi. Dan ... kapan akan bawa uangnya kemari. Sebab harus mengurus semua dari sekarang, sementara waktu mepet," ucap pak Rusadi menatap Fatir tajam.
"Insya Allah besok sore kami, saya dan Fatir ke sini tuk menyerahkannya Om," Darma menjawab dan meyakinkan kalau ia akan turut mendampingi Fatir.
"Oke." Pak Rusadi mengangguk.
Hening!
Sebab tak ada pembicaraan lagi, akhirnya Fatir dan Darma pun berpamitan pada Viona sekeluarga. Dan Viona mengantar sampai ke mobil.
"Kami pergi dulu ya Vi?" ucap Darma, menggantikan Fatir yang diam saja.
"Iya, Mas. Hati-hati, bilang sama Alisa. Sorry sudah meminjam Mas Darma malam-malam begini." Viona merasa gak enak sudah menyita waktu Darma dari keluarganya.
"Ah, apaan sih kata sama siapa aja. Lagian gak malam kok nih baru pukul 22.00 wib, santai aja, kan ini atas dukungan Alisa juga," balas Darma sambil menyenggol tangan Fatir yang lebih menikmati rokoknya baru dia nyalakan.
"Apaan?" menoleh Darma dengan heran.
"Ngomong kek, pamitan atau apa kek!" suaranya pelan dan tertahan.
"Oh," gumamnya Fatir, lalu menoleh pada Viona yang berdiri berpangku tangan. "Saya eh aku pulang dulu." Mengangguk.
"Iya, Mas." singkat.
Keduanya memasuki mobil Darma. Dan tidak buang waktu lagi. Darma memutar kemudi dengan cepat, sebelumnya Darma dan Fatir menganggukkan kepala dan Viona membalas dengan lambaian tangan.
Setelah mobil Darma hilang dari pandangan. Viona masuk kembali ke rumah, baru menginjakkan kaki di pintu saja sudah mendapati tatapan tajam dari anggota keluarganya. Terutama dari pak Rusadi dan Omanya.
"Nggak adakah laki-laki yang lebih mapan dari Dewo? bukan laki-laki seperti itu, cuma pedagang mie ayam gerobak. Masih mending kalau jualannya di Cafe atau di Mall, ini di gerobak! jatuh amat harga diri kita." Pak Rusadi memulai berujar ketika kaki Viona masih melintasi pintu.
"Kamu itu pewaris Yani grup, masa bersuami tukang mie ayam, benar saja sayang?" timpal Bu Yani sambil menuntun cucunya supaya duduk di dekatnya.
"Oma, dengarkan Viona, jangan suka merendahkan orang! hidup itu berputar, Pa. Oma, siapa tahu besok atau lusa kita menjadi orang miskin dan orang yang kita rendahkan menjadi orang kaya? kan kita gak tahu tentang nasib seseorang."
"Benar juga sayang, Papa juga sebelum nikah sama Mama cuma punya motor. Boro-boro hidup senang." Sambar bu Asri menyindir suaminya.
Wajah pak Rusadi merah, merasa malu dengan sindiran istrinya. Namun bukannya menerima, malah balik marah. "Mama menyindir Papa? tapi setidaknya Papa bukan penjual gerobak. Saya bekerja di sebuah perusahaan dan meniti karier dengan baik." Tegasnya.
Mata bu Asri mendelik. "Ealah ...."
"Sudahlah, dah malam, baiknya kita istirahat." Lerai bu Yani sambil merangkul bahu Viona.
"Makasih Oma." Viona membalas pelukan sang Nenek.
"Saya ragu, kali aja besok yang dia bawa itu bukan 50 juta seperti yang di sepakati tadi. Bisa aja dia bawa setengahnya atau juga lebih kecil, saya ragu. Sebab dari mana punya uang itu? sementara dia harus menghidupi keluarganya," ujar pak Rusadi lagi penuh keraguan.
Bu Yani melongo mendengarnya. "Tapi ... uang kita banyak! ngapain kita bingung-bingung. Pesta-pesta aja, agar semua tahu kebahagian cucu ku, gitu aja kok repot?"
"Tapi, Oma. Lebih baik sederhana ajalah Oma, jangan gede-gedean. Yang penting sakral nya, Kan Oma?" Viona menatap Omanya. Tak perduli dengan perkataan sang ayah.
"Iya, sayang. Kalau kamu mau, bisa aja mengadakan resepsi yang besar-besaran. Tidak perlu menuntut uang bawa pria itu, iya kan sayang? cucu Oma yang cantik."
Viona dan sang bunda mengangguk. Kemudian mereka pun bubar, ke kamarnya masing-masing.
Viona menaiki anak tangga tuk mencapai lantai dua, dimana kamarnya berada.
Klik!
Setelah mengunci pintu, Viona menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur yang super empuk itu. Sebelum tidur, pikirannya sempat melayang melang-lang buana. Hingga akhirnya mata pun terpejam, dan lelap.
****
Fatir yang langsung menemui sang bunda di Rumah sakit. Kini tengah berbincang mengutarakan rencananya untuk menikahi Viona.
"Apa Fatir yakin? kita cuma orang biasa, dia mau di kasih makan apa nanti, Nak ..." tutur bu Afiah, Menatap putranya itu.
"Bu, aku ingin Sya sembuh. Apapun akan aku lakukan demi kesembuhannya." Fatir melihat ke arah sang adik yang tertidur lemah. "Aku tak sanggup, Bu ... tak sanggup dengan pengobatan yang semahal ini. Jangankan yang mahal seperti ini, yang biasa aja aku kewalahan, mana harus memikirkan pendidikan Adam dan Sidar juga."
Bu Afiah menghela napas dalam-dalam. Menatap putranya penuh perih, Semenjak ayahnya meninggal. Otomatis semua beban berpindah pada pundak Fatir dan Fatir kekeh, kalau adik-adiknya harus berpendidikan tinggi. Dan hidupnya harus sukses, itu niat Fatir terhadap adik-adiknya.
Sebagai ibu ia hanya bisa mendoakan apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Netra matanya melihat sang putra yang beranjak mendekati tempat tidur Hesya.
"Oya, Bu. Apa sudah makan?" menoleh kembali sang bunda.
"Sudah. Tadi adam bawakan makan buat Ibu." Jawabnya.
Fatir mengangguk. Ia memandangi wajah Sya yang kini sedikit kembali berdarah. Tidak sepucat kemarin.
Suara derap langkah kaki yang begitu nyaring, menghiasi suasana malam yang hening ....
****
Semoga kalian suka dengan cerita ini🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Dedew
ceritanya unik,gak melulu tentang CEO kaya
2022-09-26
1
tutut puput
serahkan semua masalahmu Fatir kepada Allah, pasti akan mudah terselesaikan
2022-02-24
1
Mentari
Makasih kk🙏
2022-02-24
1