Suasana di meja makan tiba - tiba menjadi sangat hening setelah mama mertuaku menghabiskan kata - katanya. Sang kakek , pak Surya Wirajaya dan papa mertua pun hanya diam dan sibuk mengamati perbincangan kami sedari tadi. Mungkin beliau tidak mau ada keributan di rumah ini. Karena itu dia memilih diam dan mengamati. Atau memang sudah aturan mereka bahwa seharusnya aku menjadi pihak yang paling disalahkan.
Ya, karena nyonya Sarah, mama mertuaku adalah anak pertama dari keluarga ini. Karena itulah, dia dianggap sebagai ibu ratu pemegang tahta tertinggi setelah ayahandanya, pemilik dari kerajaan Wirajaya ini. Dan sementara itu, aku hanyalah seoonggok hati penggoda sang pangeran kecil mereka, dianggap sebagai gadis berandal murahan yang mencari celah untuk masuk dan menjadi Cinderella. Menyedihkan!
***
Aku berusaha mengunyah dan menelan makanan ku dengan baik. Aku berusaha kuat dan tegar menghadapi soal pelajaran kehidupan rumah tangga yang baru saja kumulai ini.
Aku sebenarnya bingung. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku juga bingung sebenarnya mau keluarga ini apa. Ah, aku merasa makin menyedihkan. Tidak pernah aku merasa seburuk ini dalam hidupku. Tidak ada seorangpun yang pernah memberikan penghinaan macam ini di hidupku.
' Come on, Puspa! You can do it !' batinku menyemangati diri sendiri.
Sekejap aku mengingat kata - kata kak Reno di taman tempo hari, dan perlakuannya barusan terhadapku seolah lebih dari cukup untuk membuatku tetap kuat dan tegar.
'Terimakasih, kak Reno!'. Aku menatap kak Reno lekat, ingin rasanya aku berlari menangis di pundaknya. Meski baru beberapa hari mengenalmu, kamu mampu membuatku untuk kuat dan tetap tegar dengan semua perkataan serta perlakuan mama mertuaku tadi. Sementara Satria, orang yang selama ini kucintai dan kuharapkan, dan sekarang sudah secara sah menjadi suamiku, yang seharusnya orang pertama sebagai pembela istrinya, tapi nyatanya tidak ada pembelaan apapun darinya. Sedikitpun !
***
Masih di ruang makan
Jam makan malam telah usai. Semua anggota keluarga tertua telah pergi meninggalkan kursi makan dan mereka sudah berada di kamar mereka masing - masing.
Aku, Satria dan kak Reno masih tak berpindah, duduk diam di kursi kami masing - masing . Aku berada di tengah - tengah keduanya. Pandanganku kosong. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiranku saat ini. Semuanya terasa bercampur jadi satu. Hampa dan bingung itu yang aku rasakan.
Sementara bi Inah dan bi Atin sibuk membersihkan meja makan. Kami hanya diam terpaku di kursi kami memandangi piring - piring yang sudah kosong. Sekosong suasana saat ini, mencekam dan terasa hambar.
Setelah beberapa menit dalam suasana hening,
Kak Reno mulai membuka suara. " Satria, sebaiknya kamu bicaralah dengan Puspa. Mungkin kalian butuh waktu untuk menjelaskan kondisi kalian saat ini dari hati ke hati. Ingat, kalian ini pasangan suami istri. Jangalah kalian gunakan emosi untuk menghadapi semuanya. Hadapi semua persoalan ini bersama. " Ucap kak Reno yang melihat kami hanya diam tanpa berbicara apapun satu sama lain. Kak Reno menepuk pundak Satria. Lalu beranjak pergi meninggalkan kami berdua dalam kebisuan.
" Sayang, kamu suka aku diperlakukan sepeti itu oleh orang tuamu?". Tanyaku pelan, berusaha membuat suasananya tetap tenang. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan padanya saat ini. Bahkan, ingin sekali aku menariknya dan menangis terisak di pundaknnya, seperti saat dulu ketika kami masih berpacaran. Setiap saat aku mendapati masalah dan dengan sigap dia mendekapku sambil mengusap rambutku pelan. Ah, sepertinya saat ini tak mungkin hal itu terulang kembali. Mustahil dia akan memperlakukanku dengan romantis.
Satria tak bergeming.
" Kenapa kamu diem aja? Kamu jawab dong! Kemarin juga kamu kemana aja? Kamu ilang gitu aja. Ninggalin aku tanpa kabar berita. Aku coba hubungi kamu berkali - kali. Kamu cuma read aja! Apa kamu menyesal telah menikahi aku? Kenapa kamu menyeret aku ke rumah kamu setelah itu kamu tinggalin gitu aja. Harusnya dulu aku nggak usah mau menikah sama kamu! Kalau pada akhirnya kamu nggak bisa jadi orang pertama yang melindungiku. Kamu lupa sama janji kamu ke ayah ibu buat jagain aku dan kandunganku?"
Aku mulai berkaca - kaca, menggoyangkan lengan Satria yang hanya diam terduduk di samping kiriku.
Jatuh sudah air mataku tak terbendung lagi, Satria tetap diam membisu. Dia menarik nafasnya Panjang.
" Sudahlah. Kamu nggak usah banyak menuntut ini itu. Aku sudah cukup diam menerima semuanya. Perlakuan orangtuaku terhadapmu cukup lah kamu terima saja dengan hati lapang. Toh, kenyataan memang benar kan kamu hamil di luar nikah. Itu bukan hal yang baik. Bukan hal yang kami harapkan. Kamu tau? Orang tuaku hendak mengirimku ke luar negeri. Aku harus menuruti atau menolak? Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Semua nya terlalu berat untuk pria seusiaku. Aku terlalu bimbang, Puspa. Janganlah kamu banyak berkicau. Cukup menurut saja. Itu yang harus kamu lakukan. Aku juga sama seperti kamu. Tak tau apa yang akan terjadi selanjutnya !"
Satria terlihat tampak kaku. Tanpa ekspresi bersalah sedikit pun. Dia sepertinya mulai mengabaikan perasaanku. Aku terasa makin terpojok. Tanpa ada orang yang mengerti perasaanku dan menolongku. Menangis. Hal itulah yang hanya bisa aku lakukan saat ini.
Satria mengibaskan lengannya, berusaha melepaskan gengaman tanganku. Aku menatapnya tajam. Mengusap air mataku yang sudah jatuh bercucuran tak terbendung.
" Terimakasih atas perlakuanmu hari ini, Satria. Aku tau ini memang berat untukmu. Aku tau aku harus berusaha tegar menjalani semua ini meski aku harus terpisah kamar ataupun menjaga jarak seperti kata ibumu tadi. Baik, aku mengerti. Tapi, apa rasa cintamu yang selama ini hadir diantara kita sudah hilang begitu saja? Aku mengandung anakmu Satria. Ini anak mu. Ini bukan hanya kesalahanku. Kita harus terima konsekuensi nya sama - sama. Apa kamu memandang serendah itu terhadapku?" . Aku memastikan raut wajahnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Ya, dia seolah tidak peduli lagi dengan keberadaanku dan anakku. Anak kami yang sedang aku kandung karena buah cinta kami. Meski kehadirannya membuat kami menjadi seperti ini. Aku harus menerima.
Aku memastikan sekali lagi raut wajah Satria. Berharap dia mau merespon ucapanku. Berharap dia mau menatapku, mendekapku di dalam pelukannya, mengelus rambutku dengan lembut dan mengecup keningku. Seperti yang biasa dia lakukan ketika aku sedang bersedih. Tetapi tidak.Ya, dia tetap tidak mengubah raut wajahnya. Kaku dan mematung. Dingin seolah aku tak ada di hadapannya.
Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya aku pahami semuanya. Situasi seperti ini yang tak pernah kubayangkan. Kulepaskan peganganku di lengan Satria yang masih mematung dan memasang wajahnya yang kaku.
Aku berlari menuju kamarku. Kembali membenamkan diriku dalam tangisku. ' Ibu... Ayah... maafin aku.. Maafin anakmu ini.. Maafin aku yang tak tau diri.. Aku sangat berdosa pada kalian. Aku mau pulang ayahhh..aku mau pulang. Ibuuu..aku cuma mau pelukan ibu. Memang benar, rumah besar atau kaya raya itu bukanlah segala nya tapi keluargakulah hanya kalian tempat terbaikku untuk kembali.... '
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Membaca
harus tegar & semangat menghadapi situasi seperti ini, walau beban berat dan perih.. baper
2020-11-17
1
Alea Wahyudi
nasi sudah jd bubur ....,jngn menyerah semangat demi anakmu, masih muda masih bs raih cita2 setelah anakmu lahir ,berjuanglah demi masa depan MU ...walaupun saat ini kau di abaikan.....ingat nasehat Reno
2020-11-16
1