Sudah tiga hari aku menikah dengan Satria. Tiga hari pula aku menempati rumah ini. Rumah ini terasa terlalu besar dan sepi. Apalagi, aku tidak pernah bertemu dengan Satria semenjak ijab kabul telah diikrarkan. Aku merasa sepertinya dia telah di telan bumi.
Tiga hari di sini. Hanya hal - hal itu - itu saja yang dapat aku lakukan di rumah ini. Bosan! Bagi seseorang yang selalu aktif di sekolah. Rasanya ini merupakan cobaan terberat dalam hidupku. Harus berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan. Tanpa ada teman yang bisa aku ajak bercengkrama.
' Damn! ' , aku mulai menggurutu tak karuan. Karena panggilan demi panggilanku ke ponselnya tidak pernah ia gubris. Chat tidak pernah di balas. Apa yang terjadi dengan suamiku ini. Suami yang aku cintai dengan segenap hatiku.
' Satriaaaaa.... ' , rasanya aku ingin berteriak memanggil namanya keras - keras. Tapi aku urungkan, tidak ada gunanya juga aku berteriak jika dia saja tak terlihat di hadapanku.
***
Tok..tok..tok..
Seseorang terdengar mengetuk pintu kamarku pelan. Seketika aku melompat dari tempat tidurku. Ya, selama ini kegiatanku hanya turun untuk makan lalu kembali lagi ke kamar.
" Siapa... ", aku bersemangat berharap yang datang adalah Satria suamiku. Tapi, ternyata...
" Oh, bi Inah. Ada apa ya bi? Belum jam makan malam kan?" , tiga hari ini aku mulai terbiasa dengan jam - jam makan di rumah ini.
"Emm..anu non. Nyonya dan tuan sudah menunggu di meja makan. Lalu, tuan besar juga. Tuan muda pun ada di sana. Mereka semua menunggu non Puspa turun. "
"Oh, gitu. Iya bi, makasih ya. Aku bersiap dulu sebentar nanti aku menyusul ke bawah ya! ", jawabku cepat. Aku bersemangat, girang sekali rasanya setelah 3 hari tak bertemu Satriam. Dengan cepat aku berlari ke arah lemari, mengganti pakaianku dengan dress cantik berwarna hijau botol.
Rupanya ayah dan ibu mertuaku sudah kembali dari perjalanan bisnisnya. Aku harus terlihat sebagai menantu yang baik di hadapan mereka.
***
Letak kamar yang aku tempati sekarang ini memang di lantai atas. Aku menempati kamar Satria. Tapi entah Satria tidur dimana selama beberapa hari ini. Sempat berpikir bahwa dia ikut dengan papa mama mertua perjalanan bisnis. Tapi hal itu mustahil.
Sementara itu, letak ruang makan ada di lantai bawah. Butuh beberapa menit untukku turun dari kamarku.
"Puspa. ..." , seseorang berteriak agak keras memanggilku dari lantai bawah. Sepertinya suaranya agak sedikit bergetar karena amarah.
Aku yang sedang menyisir rambutku tersentak kaget dan melemparkan sisir rambutku diatas kasur. Kulangkahkan kakiku dengan cepat. Kususuri tangga dengan sedikit tergopoh - gopoh. Rasanya sangat lelah harus menuruni banyak anak tangga dengan kondisi perutku yang sedang hamil 5 minggu.
***
Di ruang makan
Suasana nya entah kenapa agak sedikit kaku. Semua orang terdiam dan menatap ke arah ku yang baru saja tiba di ruang makan. Di sana sudah ada papa mertua, mama mertua, kakek Surya, kak Reno dan juga Satria. Ya, Satria juga ada di sana duduk bersebelahan dengan ibunya. Dia tidak menyambut kedatanganku sama sekali. Menatap wajahku pun tidak. Dia hanya diam membisu seperti patung yang tak bernyawa, pandangan matanya kosong entah tertuju ke mana.
'Mana senyum manis yang selalu membuatku terkagum - kagum tiap kali aku menatapmu. Mana panggilan sayang setiap kali kamu berpapasan denganku. Mana Satria? Kenapa kamu tiba - tiba jadi seperti ini di hari keempat pernikahan kita.' jeritku dalam hati. Ingin rasanya aku melontarkan banyak pertanyaan di depan wajahnya. Tapi hal itu tidak mungkin kulakukan saat ini.
" Duduk kamu, Puspa! " Suara mama mertuaku yang lantang seolah memecah keheningan.
Tanpa menunggu lama aku langsung mengambil tempat di samping Satria. Diam. Aku hanya menunggu instruksi selanjutnya.
" Puspa. Asal kamu tau. Kami sudah cukup malu atas pernikahan kalian. Dan kami pun sudah cukup dibuat kesal dengan tingkah laku kalian yang sudah kelewat batas. Saya yakin, bahwa saya telah mendidik Satria dengan keras sejak kecil. Satria tidak pernah menjadi anak pembangkang dan dia tidak pernah sekalipun berbuat onar di sekolah. Dimanapun, dia itu selalu di sanjung akan tingkah lakunya yang baik dan kepintarannya pun sudah tidak diragukan lagi. Saya tidak menyangka bahwa kamu sampai menggoda anak saya dan membuat kamu sampai hamil seperti ini. " Ucapan ibu mertuaku terhenti. Dia meraih gelas kaca di hadapannya, diam sejenak menatapku. Lalu, menengguk habis semua air putih yang berada di dalamnya. Sempat terpikir olehku bahwa gelas itu akan dilemparkannya ke arah wajahku. Seperti yang dilakukan ayah tempo hari.
Deg...
Lebih dari itu. Jantungku serasa di tusuk sebilah bambu tumpul. Datar di pemukaan tapi terdorong hingga dalam. Sakit. Sakit rasanya mendengar ucapan yang seharusnya tak ingin aku dengarkan. Aku seperti merasa tertampar lalu di lempar ke jalanan. Perih tapi tak berdarah.
Kuhela nafasku panjang. Menahan sesuatu yang rasanya ingin meledak keluar dari dadaku. Ingin kubuka mulutku tapi kuurungkan dan kukatupkan kembali.
'Sabar Puspa. Ini baru permulaan. Wajar jika mama mertua kecewa atas pernikahan ini. Tapi, kenapa aku? Kenapa hanya aku yang harus di salahkan atas semuanya ini? Apakah sehina itukah diriku sampai - sampai aku dianggap wanita penggoda putra mahkota... wanita bejat yang rela dihamili demi kekayaan. Lalu, kenapa Satria tidak membelaku? Menatap wajahku pun tidak. Apa yang terjadi denganmu Satria. Apakah pikiranmu sama saja dengan yang dikatakan ibumu barusan? Apa kamu pikir rela kugadaikan hidup dan masa depanku demi kemewahan semu?'
Perasaanku semakin kacau dan tak karuan. Aku hanya menunduk memandang ke bawah meja. Tidak tau harus menjawab apa. Aku tak mau ucapanku nanti membuat situasinya semakin runyam.
Selesai menengguk air putihnya, mama mertuaku melanjutkan pembicaraan. Kini suara nya terdengar lebih baik, " ... dan jangan harap kamu bisa tidur sekamar dengan anak saya, Satria. Kalian akan tidur terpisah. Satria tetap tinggal di kamarnya dan kamu pun tetap tinggal di kamar yang sudah kami persiapkan. Mulai besok kamu menempati kamar bawah. Biar Satria kembali tinggal di kamarnya. Apalagi saya lihat kamu tadi sepertinya tidak kuat jika harus naik turun tangga. Saya tidak mau masalah ini bertambah panjang dengan terjadi sesuatu terhadapmu atau anakmu."
Aku mengernyitkan dahi tanda banyak pertanyaan hadir di benakku, 'Kenapa aku tidak boleh sekamar dengan Satria? Dia kan suamiku? Kenapa aku harus menempati kamar bawah? Itukan kamar khusus untuk tamu yang hanya tinggal sementara di rumah ini? Ya, setelah beberapa saat berpikir aku mengerti maksud perkataannya apa. Dia ingin aku bercerai setelah anak ini lahir. Ya aku paham akan kelanjutan kisah cintaku dan drama rumah tanggaku.'
Mama mertuaku melanjutkan perkataannya. Sambil menatapku tajam dia berkata, " Perlu diingat, Satria bukan suami kamu. Ini hanya sementara, ini semua bentuk tanggung jawab kami supaya orang lain tidak menggunjing kehamilanmu di belakang kami. Ini semua akan berakibat fatal untuk perusahaan kami. Bisnis kami. Nama baik keluarga kami akan hancur karena ulahmu. Kami tidak mau ini semua terjadi. Jadi, ingat jika kamu sampai bertemu orang luar jangan katakan bahwa Satria adalah suamimu. Jangan pernah! Jangan pula katakan bahwa anak dalam perutmu adalah anak Satria. Dia pemilik tahta kerajaan bisnis kami selanjutnya. Itulah mengapa kami hanya menikahkan kalian untuk sementara. Jangan pernah berharap untuk menjadi nyonya Satria. Mimpimu terlalu jauh untuk menjadi nyata."
Aku semakin tertunduk lesu. Berusaha mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir mertuaku. Semuanya terlalu sulit kupahami. Semuanya terlalu berat bagi gadis seusiaku.
'Bukankah masalah ini tidak hanya kalian yang menanggung? Ini adalah akibat dari perbuatan anak kalian juga. Tapi kenapa hanya aku yang di salahkan? Apa kalian lupa, aku juga harus melepaskan beasiswaku. Menanggalkan impian serta cita - citaku. Kenapa kalian kejam terhadapku? Aku hanyalah seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Apakah kalian lupa bahwa aku pun baru berusia 18 tahun. Aku harapan terbesar kedua orang tuaku. Tapi aku harus menanggung janin yang terus membesar di dalam perutku. Membayangkan akan menjadi seorang ibu di usiaku sekarang bukanlah impianku. Kenapa kalian malah menambah bebanku dengan memisahkan aku dengan Satria. Ya, memisahkan kami. Lalu siapa yang akan membelaku. Menjagaku di saat - saat aku terpuruk harus menerima kehamilanku ... '
Menunduk. Aku semakin menunduk dan tenggelam dalam kekacauan pikiranku. Entah kata - kata apa lagi yang sedang di ucapkan ibu mertuaku. Aku tak sanggup mendengarkannya dengan baik. Aku tak mampu lagi menahannya, semuanya tidak bisa kucerna dalam otakku. Otak yang selama ini aku pakai untuk menorehkan prestasi demi prestasi.
Tanganku meremas erat dress hijau ku. Genangan air mata pun mulai menetes tak terbendung. Saat tiba - tiba ada jemari yang menyentuhnya dan menggenggam nya. Sepertinya dia mencoba menguatkan hatiku. Dari balik meja makan jemari itu mengusap lembut jemariku. Aku menatapnya jemari itu dengan lekat. Semakin erat genggamannya terhadapku.
Bukan. Itu bukan milik Satria yang duduk di sebelah kiri ku. Tapi, ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments