Seikhlas apapun, jika berurusan dengan hati, maka akan sulit untuk ikhlas. Berbagi suami bukan sebuah mainan, akan tetapi perasaan yang menjadi taruhannya.
Sudah hampi 30 menit Andira di kamar mandi, dia menangis meratapi semua masalah hidupnya. Meski Andira tahu, poligami tidak diharamkan, tapi sangat sakit di rasakan. Sebentar lagi, akan berubah, cintanya akan terbagi menjadi dua, di kehamilannya yang masih muda, Andira sudah mendapat cobaan yang berat.
Tok tok tok tok.. pintu kamar mandi di ketuk.
“Siapa?” Andira membersihkan wajahnya dan mengusap air matanya.
“Kamu sudah lama sekali dikamar mandi sayang, apakah kamu baik-baik saja?” ternyata Alfin yang datang.
“Iya Mas, Andira baik-baik saja. Hanya saja sejak tadi Andira sakit perut.” Jawabnya berbohong.
“Jenazah sudah selesai di mandikan, dan sebentar lagi akan dibawa ke makam.”
Andira tidak menjawab, dia langsung keluar. Alfin menatap wajah Andira, dia tahu, jika, Andira hanya pergi menangis. Matanya bengkak, dan merah. Alfin memeluk Andira, mereka tanpa sadar menangis bersama.
“Sayang, izinkan aku masuk penjara. Aku tidak sanggup melihatmu menangis. Tangismu adalah duka, melihat kamu seperti ini, aku tidak tega. Sekarang aku butuh jawaban kepastian kamu, jika terbaik aku di penjara maka aku lebih baik di penjara.” Ujar Alfin, membelai kepada Andira.
“Mas, aku tahu ini sakit, tapi aku percaya kamu akan adil membagi waktu antara aku dan dia. Aku tidak mau kamu masuk penjara, kasihan Mama dan Papa. Ayo kita kedepan, biar mereka tidak mencari kita.
“Kamu tahu apa yang terjadi jika aku menerima dia sebagai istri keduaku, tapi kenapa kamu justru membuatku semakin tidak bisa menolak dengan keinginan kamu,’’
“Segala sesuatunya telah aku pikirkan, ini semua demi mereka orang yang kita sayang.”
“Baiklah, aku akan pasrah dengan taqdirku,”
Akhirnya mereka menuju ke tempat pemulangan jenazah. Disana sudah menunggu untuk pergi ke pemakaman. Mungkin hanya Andira yang merasakan sakit hati, badannya terasa lemas, tidak mungkin juga Andira pulang lebih awal, karena andira menghormati suaminya yang sudah menabrak pak Ilham. Proses pemakaman selesai, Hanin masih menangis di sisi batu nisan ayahnya. Ibu Ani menghampiri Hanin, yang masih meratapi kepergian ayahnya.
“Ayo, ikut pulang dengan kami, ayahmu sudah tenang disana,” ujar ibu Ani.
Hanin akhirnya ikut dengan Ibu Ani, sedangkan Alfin dan andira naik mobil lain. Andira tidak banyak bicara, dia lelah sangat lelah. Alfin juga tidak banyak bicara, pikirannya bingung, dan kacau. Tak lama kemudian mereka sampai dirumah, Andira segera turun, karena akan membersihkan kamar untuk Hanin. Meski berat sangat berat sekali melakukan itu, tapi janji tetaplah janji, tidak akan ada yang mampu menggantikan sebuah janji, karena janji harus di tepati sendiri.
Andira segera membereskan kamar itu, setelah selesai, andira langsung keluar menunggu Ibu Ani yang sedang menuju kerumahnya. Dan tak lama setelah itu, Ibu Ani datang. Mereka turun, dan masuk ke rumah milik Alfin.
“Hanin, kamu istirahat dulu, jangan bersedih, semua sudah kehendak sang maha kuasa,”
Hanin tetap diam, dia hanya mengangguk, Andira langsung mengajak Hanin menuju kamarnya, meski dadanya teras mau meledak, menahan rasa sakit karena harus tinggal satu rumah dengan calon istri suaminya. Tidak ada wanita yang sanggup menahan sakit jika harus berbagi suami dan satu rumah dengan istri baru suaminya, kecuali wanita yang siap untuk melihat suaminya berpoligami.
“Hanin, aku harap, kamu dan aku bisa akur, dan semoga kamu sabar dengan keadaan ini.” Ujar Andira.
“aku hanya seperti boneka Mba,”
“kenapa kamu mengatakan seperti itu?” Andira heran.
“Karena aku tahu, aku mengecewakan orang lain, tapi aku diam saja, karena harus mengikuti keinginan ayah.’’ jawabnya sedih.
Andira merasa kasihan melihat Hanin, tapi dia ada pada posisi yang tidak memungkinkan. Sudah di pasrahkan pada orang lain dan harus memenuhi keinginan orang tuanya. Hanin sudah hidup sebatangkara, dia merasa bersedih, jika harus tinggal sendiri. Dan jalan satu-satuny menurut dan patuh pada sebuah keinginan.
Perjalanan hidupnya sudah digariskan menjadi istri kedua, dan mau tidak mau harus menerima taqdir itu. Andira duduk di dekat Hanin, dia akhirnya paham, kalau Hanin juga merasa sedih dan terpaksa dengan pernikahan itu.
“Saat ini, aku hanya pasrah, karena permintaan ayahmu, tapi hanya satu yang aku pesankan, jadilah istri yang bisa menerima poligami ini, dan kita harus kompak, agar pernikahan ini akan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.”
“Iya, Mbak. Tapi, jujur Mbak, aku tidak bisa terima dengan keadaan ini, Mbak. Sangat sulit, tapi aku akan berusaha menerima semua keadaan ini demi almarhum Ayah.” Ujar Hanin sedih dengan linangan air mata.
Andira memeluk Hanin, sedikit demi sedikit Andira memahami keadaan itu, dan sadar jika Hanin juga tertekan dengan keadaannya.
“Istirahatlah kamu pasti lelah,” Andira tersenyum melihat Hanin, setelah itu Andira pergi meninggalkan hanin sendiri.
Andira keluar dari kamar Hanin, langsung ke dapur membuaat kopi untuk Papa dan Mama mertuanya. Pikirannya masih kacau, hanya raganya yang berdiri tegak, tapi sebenarnya dia sudah sangat hancur bagai kepingan gelas pecah lantai. Ketidak sanggupan dirinya membuat harus bisa bertahan demi laki-laki yang dicintai dan demi calon bayi yang di kandungnya.
Kopi sudah siap, langsung Andira bawa ke ruang tengah, dimana sudah duduk Alfin juga disana, membicarakan hal serius.
“Kopinya Pa, Ma.”
“Duduk dulu Dira,” suruh ibu Ani.
“Iya Ma,” Andira pun duduk di dekat Alfin. Matanya yang sembab karena selesai menangis.
Alfin tidak mampu berkata apapun, sepertinya sudah terkendali oleh Ibu Ani dan Pak Ilyas.
“Andira, begini ya, karena sudah sama-sama sepakat, ibu mau perrnikahan ini di percepat. Karena Ibu takut jadi omongan tetangga kalau terlalu lama, apalagi polisi terus memata-matai Alfin. Jadi Ibu mau cepat di laksanakan pernikahannya.” Ujar Ibu Ani, seperti tidak mempunyai beban pikiran, dan mengerti tentang perasaan Andira.
“Andira terserah Mama sama Papa, kapan waktu yang pas. Tapi boleh usul!”
“Apa?” Tanya Pak Ilyas.
“Masih mau usul apa? Kamu mau suami kamu di penjara,” Ujar ibu Ani dengan wajah marah.
“Ma, tolong dengarkan usul Andira, dia berhak berpendapat,” Jawab Alfin melihat mata Andira yang langsung berkaca-kaca.
“Iya sudah, mau usul apa?” Ujarnya datar.
“Tidak jadi Ma, semua terserah Mama. Andira sebaiknya diam, dari pada nanti salah bicara.”
“Nah gitu, itu akan lebih baik.” Ujar Ibu ani ketus.
Andira meyakinkan hatinya, bahwa yang terjadi pasti ada hikmahnya.
“Tolong kamu urus baju pernikahan Hanin dan Alfin, di tempat kamu pesan baju penganti yang dulu, Ra’.”
Andira ingin berteriak, kenapa harus Andira pikirnya, yang harus menyiapkan baju pernikahannya.
“Dan jangan lupa urus juga surat pernikahannya.”
Deg...
Terimakasih Sudah mau mampir, lanjut lagi ya. jangan lupa like and komennya. kasik masukan ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
semoga karyaku bisa sekeren dirimu...
salam dari Suamiku Seorang DJ 😊
2021-10-26
0
NasyafaAurelia🐧
wah roman2nya ni mertu mertua durjanah nii
2021-10-22
0
🔵🍭ͪ ͩ𝐒𝓊𝓈𝓌𝒶𝓉𝒾 ՇɧeeՐՏ🍻
demi anaknya,alfin, agar tidak masuk penjara, bu ani tega memperlakukan andira seperti perempuan yang tidak punya perasaan.
lalu apa yg bisa dilakukan alfin ketika andira diperlakukan seperti itu oleh ibunya??
2021-10-21
1