......Cinta itu hadir saat kita sudah saling mengenal, memahami satu sama lain. Cinta itu tidak dapat kita tebak kapan akan datang, dan kapan akan pergi. Karena sesungguhnya Allah yang maha tahu akan perasaan kita
......
Tidak pernah terpikir bagaimana hidup serumah dengan wanita yang tidak kita cintai, meski sudah sah dalam ikatan suci, tetap akan menjadi beban pikiran, karena akan ingat sebuah tanggung jawab yang harus di lakukan. Wanita juga ingin mempunyai tanggung jawab mengurus suami. Tapi semua masih penuh dengan rasa malu dan tidak saling mengenal.
Dua hari kepergian Andira, membuat Alfin tersiksa dengan keadaan itu. Tapi, disisi lain, Hanin bisa melakukan tanggung jawabnya untuk menyiapkan makan, dan mengurus keperluan rumah. Meski tidak sekamar, tapi Hanin tidak mempermasalahkan itu. Bagi Hanin bisa menyiapkan apa yan harus di siapkan itu sudah cukup.
Mungkin Hanin tidak berpikir untuk bisa mencintai Alfin, tapi Hanin salah, Allah maha tahu dan maha mengubah benci jadi cinta, bahkan cinta menjadi benci.
Semua hanya menunggu waktu entah detik, satu jam, sehari, seminggu atau sebulan, bahkan setahun. Kita tidak tahu kapan akan datang perasaan cinta itu. Tapi, saat Allah sudah berkendak semenit kemudian perasaan itu tiba-tiba datang dalam diri Hanin.
Saat Alfin sudah berangkat kekantor.
“Mas Alfin, kenapa tiba-tiba aku suka sama kamu, kamu laki-laki perhatian dan setia, semoga aku bisa mendapatkan separuh cintamu Mas. Meski hanya 40% dan Mbak Andira 60% atau aku dapat 30%, aku ikhlas. Asal bisa hidup dengan kamu, Mas.” Guman Hanin dalam hati.
Setelah Alfin benar-benar menghilang dari pandangannya, Hanin pun masuk dan menuju dapur, membersihkan dapur setelah itu langsung menyiapkan makan siang untuk di antar ke kantor Alfin.
Hanin sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Alfin. Dia memilih baju yang terbaik, untuk bertemu Alfin. Setelah jam menunjukkan pukul 11.30, Hanin dengan senang hati pergi mengantar makanan itu. Tanpa perduli Alfin senang atau tidak.
Di kantor, Alfin sedang sibuk dengan pekerjaannya, di pikiran Alfin terus teringat akan Andira, yang sejak dua hari lalu tidak di hiraukan pesan nya. Alfin merasa bersalah, akhirnya dia menelpon Andira.
Tut tut tut tut, panggilan tersambung. Suara Andira terdengar serak. Seperti orang baru selesai menangis.
“Assalamualaikum, Mas.”
“Waalaikumsalam, ada apa? Kenapa suaramu seperti baru selesai menangis,”
“Jika aku khawatir akan kesehatan suami itu salah ya? aku minta maaf. Semua pesan yang di anggap mengganggu sampai tidak di jawab, gak apa-apa, aku minta maaf. Cuma satu pesanku, meski jauh sempatkan tanya bagaimana keadaan kehamilanku, karena jika kamu lupa akan hal itu, kamu akan menyesal nantinya.”
Kata-kata Andira membuat Alfin terkejut, bahkan sakit terdengar. Rasa bersalah yang tiba-tiba menyelimuti Alfin. Dia sadar kekeliruannya, marah boleh tapi pikirkan bayi yang ada di kandungan Andira, yang butuh perhatian agar nyaman di masa kehamilan.
Alfin juga ingat kata-kata yang pernah di ucap dua hari lalu, dan membuat Alfin menyesal.
“Maaf kan aku sayang, aku janji ini tidak akan terulang lagi.”
“Aku tidak apa-apa Mas, kamu mulai suka pada Hanin, karena itu istrimu, tapi jangan kamu coba lupa memberiku semangat agar kehamilan ini kuat.” Andira menyadari bahwa saat ini bukan hanya dia milik Alfin.
“Kamu bicara apa, sulit untuk ku jatuh cinta pada Hanin. Itu perlu proses panjang, dan untuk saat ini aku hanya bisa menghormati dia.”
“Mas, Jangan membencinya, karena cinta dan benci itu berlawanan. Bisa-bisa jadi cinta.”
“Sudah ah jangan bahas lagi, bicara soal kita, yang saling rindu satu sama lain.” Ujar Alfin yang sudah mengubah Panggilan nya ke video call.
“Lah, kok di rumah sakit?”
“Abah sakit Mas,” Jawab Andira tidak bisa berbohong. Karena memang sedang di rumah sakit.
“Abah sakit apa? Terus gimana keadaannya? Kenapa kamu tega menyembunyikan ini dariku?”
“Aku hanya tidak ingin merusak hari bahagia Mas dan Hanin.”
“Salah, kamu salah besar. Justru aku tidak bicara apa-apa sama Hanin. Aku sudah bilang, kalau aku tidak cinta dan jangan di paksa.” Jawab Alfin kesal.
“Pokoknya besok malam aku kesana, aku selesaikan dulu tugasku,” Ujar Alfin, lagi. Dan langsung di putus panggilannya.
Ternyata di balik pintu yang terbuka sedikit, ada telinga yang mendengarkan. Hanin yang sudah datang beberapa menit yang lalu, tanpa sengaja sudah mendengar semua percakapan Alfin dan Andira. Sakit hati mendengar kata-kata Alfin. Yang terus mengatakan tidak cinta, dan seolah tidak pernah anggap Hanin ada. Hanin berpikir bukan dirinya yang minta di nikahi, tapi keluarga Alfin yang menginginkan itu terjadi. Jika Hanin marah, jangan salahkan dia, mungkin kesal karena tidak di anggap.
“Mas, kamu keterlaluan, jangan salahkan aku jika aku membuatmu bertekuk lutut nantinya.”
Guman Hanin marah, dia pun pulang, dan menitipkan makan siang Alfin di satpam.
Sebenarnya jika di pikir secara akal sehat, tidak dengan amarah. Maka akan di benarkan, kalau Hanin punya hak seutuhnya kepada Alfin. Dan Alfin harus menyadari akan semua itu.
Alfin harus bisa menghormati apa yang dilakukan Hanin, tanpa harus mnyakiti hati Hanin, menolak dengan lembut, tanpa harus mendiamkan. Yang akhirnya akan menjadi penyesalan untuk Alfin.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu, Alfin pun menyuruhnya masuk.
“Permisi Pak, ini ada titipan makan siang uang Bapak. Tapi bukan ibu Andira, Pak,”
“Iya, terimakasih, ya pak.”
“Sama-sama, saya permisi,”
“Silahkan,”
Setelah pergi, Alfin membuka kotak makannya, dia sebenarnya tidak berselera dengan menu yang di bawanya. Entah apa karena pikiran Alfin kacau, atau karena memang tidak suka pada Hanin.
“Jika ini tidak di makan, maka mubazir jadinya, lebih baik aku berikan pada Pak satpam lagi,”
Segera di telepon satpam yang mengantar makanan itu dan memberikannya. Karena sudah waktunya sholat duhur, Alfin pun ke musholla untuk sholat.
Selesai sholat langsung kekantin, banyak karyawan yang bertanya-tanya pada sesama karyawan, heran melihat Bapak Alfin yang biasanya makan di ruangannya kini makan di kantin.
“Gak biasanya, Pak Alfin makan di kantin, bukan kah Ibu Andira selalu bawakan makan siang kekantor.” Ujar salah satu karyawan di perusahaan itu.
“Pak Alfin itu laki-laki ideal, contoh baik untuk para karyawan cowok, udah setia, romantis, pokoknya seneng lihat keharmonisan keluarganya.” Sahut karyawan satunya lagi.
“Semoga saja, terus seperti itu,tidak ada orang ketiga diantara mereka.” Ujarnya lagi.
Suasana semakin ramai, karena banyak karyawan yang mau makan siang, dan para karyawan yang sedang membahas Alfin, dan masih lanjut membicarakan Alfin.
“Kata siapa Pak Alfin setia, dia sudah nikah lagi,” Ujar seseorang yang tiba-tiba datang, membuat para karyawan itu terkejut. Menoleh kearah sumber suara.
???????
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments