Kami ke arah timur menuju Da Hang tempat asal Zhang Chagyi. Rute pertama kami lewati adalah padang rumput yang landai.
"Ada apa Zhang Chagyi? Apa kamu belum siap mengikuti perang ini?" Zhang Chagyi menoleh dia tersenyum.
"Tidak tuan hanya saja aku teringat dengan kejadian dulu," aku menghela napas mensejajari nya.
"Sudahlah Zhang Chagyi lupakan saja karena semua sudah terjadi. Tidak usah lagi kamu ingat," Zhang Chagyi mengangguk.
"Tuan benar aku seharusnya tidak perlu mengingat itu.”
Paman Gong Duan mendekat. "Tuan, setelah ini kita akan melewati gurun Shamo."
"Paman Gong Duan katakan kepada mereka. Sebelum tiba ke sana sebaiknya kita menyamar."
"Baik tuan,” ucap paman Gong Duan mundur ke belakang memberi tau pasukan agar bersiap. Angin berembus kencang aku mendongak. Aku menghentikan langkah kuda. Zhang Chagyi juga melakukan hal sama.
"Ada apa tuan?" aku terdiam merasakan aura yang tak asing. Aku turun dari kuda mengedarkan pandangan.
Aku langsung mengejar aura itu. Tanpa sadar aku meninggalkan pasukan.
"Tuan,anda mau kemana?" teriak Zhang Chagyi keras.
"Cepat ikuti tuan!" seru paman Gong Duan.
Suara derap kuda terdengar jelas mengikuti ku yang berlompatan diantara pepohonan. Aku memasuki hutan yang lebat. Langkah ku terhenti di depan sebuah gua.
Aku berubah wujud melangkah masuk kedalam gua yang gelap dan lembab. Aku terus berjalan mencari jalan keluar. Seorang wanita muncul dihadapanku. Dia tersenyum mengulurkan tangan. “Saya ditugaskan untuk menjemput anda yang mulia putri,” ucapnya yang kuangguki. Lalu kami pun berjalan ke ujung gua. Hamparan rerumputan tampak sejauh mata memandang. Hembusan angin menerpa kulit. Aku menarik napas.
“Apa kita akan ke kerajaan kunlun?” dia mengangguk. Dalam sekejap tubuhnya berubah jadi burung phoenix.
“Silakan naik yang mulia putri,” bergegas aku naik. Kami pun terbang menembus angkasa.
Aku berseru takjub melihat kerajaan kunlun di langit. Awan yang bergumul tampak menghiasi langit biru. Terlihat di arah timur kerajaan kunlun berdiri kokoh. Sangat menakjubkan. Selang tak lama kami pun mendarat di gerbang istana. Dua orang penjaga membungkuk hormat lalu membukakan pintu. “Selamat datang yang mulia putri Ching’er,” sapa mereka serempak.
“Terimakasih sudah mengantarku,” ucapku yang diangguki. Lalu dia pun terbang meninggalkanku.
Langkahku memasuki istana disambut suka cita oleh ratu kunlun sekaligus ibu tiriku. Wanita cantik beriris kemerahan dan surai perak yang tergerai. Dia memelukku erat.
"Anakku, apa kabarmu? Ibu sangat merindukanmu,” aku tersenyum.
"Iya bu aku baik baik saja,” aku mengedarkan pandangan mencari seseorang.
"Apa kamu mencariku, Ching'er?" tanya seorang wanita berusia 25 tahun surainya yang putih dan iris matanya yang kuning keemasan. Dia adalah kakak tiri ku kami seayah. Dia juga seorang putri kerajaan kunlun.
Aku cengengesan menoleh. "Kak Wuqing," sapaku sumringah.
"Ternyata,kamu mengejarku lebih cepat dari yang kukira,” ledeknya membuatku terkekeh.
"Tentu saja,” sahutku.
"Ching'er kamu sangat mirip dengan Huang," ujar ibu sedih.
"Sudahlah bu. Ayah sudah tenang disana."
"Kamu mau kemana dik? Tadi kuliat kamu membawa banyak pasukan,” aku menghela napas.
"Aku akan pergi menuju Da Hang,” mereka terperangah mendengarnya.
"Ada apa kamu kesana?" tanya ibu membuatku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Aku akan melakukan pembasmian terhadap Jiangshi."
"Ching'er tidak ada Jiangshi disana. Di Da Hang hanya tempat sepi dan tenang. Tak ada peperangan disana,” ujar kak Wuqing menggelengkan kepala. Aku terdiam.
"Iya, nak disana tidak ada apapun. Atau mungkin saja ada seseorang yang menyebarkan berita ini untuk menjebakmu."
Aku berpikir sejenak. "Ibu benar. Tapi,apapun terjadi aku akan kesana,” ujarku mantap.
"Aku ikut!" ujar kak Wuqing ibu terperangah.
"Tidak! Wuqing perjalanan ke sana bukanlah hal mudah butuh perjalanan 2 hari ke sana belum lagi melewati gurun Shamo,” kak Wuqing mendesah kecewa.
"Tapi,bu aku ingin menemani Ching'er," pinta kak Wuqing memohon. Ibu menghela napas panjang memijat pelipis.
"Ibu,bukan aku saja yang pergi tapi banyak yang ikut mengiringi. Ibu tenang saja."
"Baiklah,kalian boleh pergi. Tapi, bawa ini." Ibu menyerahkan sepasang gelang berwarna kemerahan. "Gunakan ini saat kalian terdesak,” lanjutnya. Kami mengangguk mengenakan gelang yang diberi ibu.
....
"TUAN! TUAN! TUAN!" teriak Zhang Chagyi mengitari hutan. Kami muncul di depan Zhang Chagyi yang terperanjat dengan kehadiran kami secara mendadak. "Tuan?!" Zhang Chagyi memandang kak Wuqing penasaran.
"Zhang Chagyi,dimana yang lain?" Tanyaku.
"Mereka menunggu tuan di tepi hutan,” aku mengangguk.
"Sebaiknya kita segera pergi. Mereka sudah menunggu," titahku. Kami melangkah menuju tepi hutan. Tak terasa kami tiba udara gurun langsung terasa menyergap.
"Tuan, kami sudah siap,” kata paman Gong Duan aku mengangguk.
"Kak Wuqing kita juga harus bersiap.”
"Siapa dia tuan?" tanya Zhang Chagyi menunjuk kak Wuqing.
"Oh, perkenalkan dia adalah kakakku Wuqing." Mereka ber oh pelan dan membungkuk. "Dan dia akan ikut dalam peperangan kali ini,” ujarku membuat mereka saling tatap.
"Maaf tuan apakah nona bisa berpedang?" Kak Wuqing mengeluarkan pedang yingying semua takjub memandangnya.
"Jangan pernah meremehkan kekuatan Wuqing,” ujae kak Wuqing menyeringai. Semua menunduk takut.
"Maafkan atas perkataan kami tuan,” mereka membungkuk.
"Hm,memaafkan kalian? Tidak semudah itu. Kalian sudah berani bersikap lancang terhadap ku. Kalian harus diberi pelajaran,” kata kak Wuqing mengangkat pedang mereka gemetaran.
"Sudahlah kak maafkan saja mereka. Dan lagipula kita harus melanjutkan perjalanan,” ujarku menghentikan gerakan kak Wuqing. Dia menoleh mendengus.
"Baiklah,” sahutnya memasukkan pedang.
"Kakak tidak mengganti pakaian? Kita akan segera berangkat." Kak Wuqing menggeleng.
"Aku tidak perlu lagipula mereka tidak mengenalku," ujar kak Wuqing. Tampak Zhang Chagyi melangkah pergi lebih dulu.
Kami terkesiap melihat perubahan Zhang Chagyi. "Dia sangat tampan,” gumam kak Wuqing menelan ludah. Aku terpaku menatap ketampanannya.
"Bagaimana tuan penampilan saya?" Aku tersentak.
"Tidak, itu terlihat bagus,” ujarku gelagapan. "Ah,aku harus segera bersiap,” lanjutku melangkah pergi.
.....
Kami melewati gurun Shamo yang luas dan panas. Aku menyeka keringat yang mengucur. Kulirik kak Wuqing yang tampak santai di balik capingnya. Dia terlihat tidak kepanasan.
Matahari sudah hampir turun ke peraduan. Langit pun gelap paman Gong Duan mendekat. "Tuan,sudah malam. Kita harus menginap dulu."
"Iya, malam sudah tiba dan kita tidak tau arah mana lagi,” ujar kak Wuqing mensejajari langkah ku. Aku melirik pasukan yang dibelakang. Mereka terlihat kelelahan.
"Baiklah,kita akan singgah untuk beristirahat,” semua menghela napas lega. Kami akhirnya menemukan oasis.
"Kita akan disini sampai pagi tiba,” perintahku semua mengangguk mantap.
"Baik tuan!" kak Wuqing menghampiriku.
"Ching'er, ayo mengobrol kesana,” bisik kak Wuqing.
Aku mengangguk setelah memberikan arahan pada pasukan. Kami duduk di tepi oasis menatap bulan.
"Sudah lama sekali kita tidak bercengkrama berdua,” aku tersenyum.
"Benar kak sudah lama sekali,” ujarku menghela napas. "Kak,apakah kalau darah campuran seperti ku jika berubah wujud dan memberikan setetes darah untuk menghidupkan seseorang. Lalu,kalaupun terjadi.." ujarku ragu meliriknya.
"Apakah kamu melakukannya? Siapa dia?" aku tersentak tapi mengangguk juga.
"Dia adalah musuhku, Do Jian,” kak Wuqing menutup mulut dengan telapak tangan.
"Apakah dia tau kamu prajurit Wang Jian Li?" aku menggeleng kak Wuqing menghembuskan napas. "Sampai kapan kamu akan menyimpan rahasia ini?" aku menunduk. "Sudahlah,sebaiknya kita istirahat besok kita akan melanjutkan perjalanan,” ujar kak Wuqing bangkit aku mengikuti nya menuju tenda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments