Setelah menyelusuri padatnya jalanan ibukota, mobil yang dikemudikan oleh Pras telah tiba di sebuah alamat yang di tunjukkan oleh Bu Leni.
"Apakah masih jauh, Bu?" ucap Leon dengan perasaan bertambah resah.
"Saya juga belum tahu rumahnya Pak. Tapi kata Memey, rekan kerja yang paling dekat dengan Vania, rumah Vania di sekitar sini," jawab Bu Leni.
"Nah, sepertinya itu Pak rumahnya," Bu Leni kembali bersuara, sesaat setelah melihat ada bendera kuning di sebuah rumah bambu yang sederhana.
Leon mengalihkan pandangannya. Ia menatap iba rumah sang mantan yang seolah tidak layak huni.
"Jadi itu rumah Vania?" tanya Leon ragu.
"Sepertinya iya Pak."
Leon, Pras dan Bu Leni mulai turun dari mobil. Leon mengedarkan pandangannya, menatap setiap sudut rumah dari luar.
"Pak Leon, apakah yang anda pikirkan sama dengan saya?" bisik Pras.
"Iya Pras. Sekarang aku tambah yakin, jika Vania memang bukan perempuan matre seperti apa yang aku pikirkan selama ini."
"Sama Leon, aku juga. Tapi aku ingin memberi saran, jangan bahas masalah kalian dulu. Situasinya sedang tidak tepat."
"Tapi mana tega aku melihat Vania tinggal di gubuk ayam seperti ini?" ucap Leon dengan nada meninggi. Emosinya kembali meluap, tanpa mempedulikan pelayat-pelayat di sebelahnya.
Pras menghela napasnya. Ia menarik Leon sedikit menjauh.
"Leon.., jaga emosimu. Vania sedang berduka. Kamu harus ingat itu," tegur Pras.
"Oke.., oke.., tapi aku ingin kamu membelikan sebuah rumah untuk Vania. Nanti uangnya aku transfer ke rekening kamu. Dan masalah ini pun juga hanya rahasia antara aku dan kamu!"
"Oke. Kamu serahkan saja semuanya sama aku. Sekarang kita bisa masuk kembali ke dalam rumah Vania. Dan sekali lagi aku berpesan, jangan bertanya apapun dulu sama Vania, okey Brother?"
Leon hanya mengangguk. Ia melangkah tegap dengan menggunakan kaca mata hitam yang masih menempel di matanya.
Sesampainya di depan pintu rumah Vania, Leon tidak melihat ada Bu Lina di sana. Penasaran, Leon pun menghampiri Bu Leni yang berdiri tidak jauh dari dirinya.
"Bu.., boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Leon.
"Mau tanya apa ya Pak Leon?"
"Ehmm," Leon menggaruk-garuk kepalanya. Ia bingung harus mulai bertanya dari mana, tanpa membuat karyawannya tersebut jadi curiga.
"Pak Leon, anda mau bertanya soal apa? Oh atau jangan-jangan Bapak sedang ada perlu ya? Apa kita mau pamit sekarang sama Vania?" jawab Bu Leni asal.
"Tidak.., bukan itu," Leon menggeleng cepat.
"Terus Pak, soal apa?"
"Itu loh, dari tadi kok saya hanya melihat Vania. Memangnya ibunya di mana? Kan saya juga ingin mengucapkan bela sungkawa kepada beliau."
"Oh soal itu ya pak. Jadi Ibunya Vania itu sudah meninggal lama Pak Leon. Dan selama ini, Vania hanya tinggal bersama Bapaknya. Vania juga yang membiayai pengobatan Bapaknya. Jujur saya kasihan melihat nasibnya sekarang. Dia sudah tidak punya orang tua, bahkan sanak saudara," jelas Bu Leni dengan mata berkaca-kaca.
"Lagi pula ya Pak. Vania itu termasuk bawahan saya yang rajin, baik, dan juga cantik. Seperti semalam, sebenarnya bukan jatah Vania lembur loh Pak," imbuhnya.
Deg...
"Terus kenapa jadi dia yang lembur?" cetus Leon dengan tatapan tajam terarah pada Bu Leni.
"I--Itu Pak. Sebenarnya kemarin itu jatah si Via, office girl baru. Hanya dia ijin tidak masuk kerja, makanya saya ganti jadwal ke Memey. Dan ternyata anaknya Memey sedang sakit, makanya Vania mengusulkan dirinya untuk lembur. Tapi hari ini dia malah kehilangan Bapaknya. Sungguh malang nasibnya Pak," ucap Bu Leni.
Sejak mendengar cerita dari Bu Leni, semakin menambah beban pikiran Leon. Andai saja Vania tidak lembur, pasti kejadian tadi malam tidak akan terjadi.
"Terima kasih Bu Leni untuk informasinya," ujar Leon.
"Sama-sama Pak. Saya sih berharap, Vania bisa di angkat menjadi karyawan tetap. Dia sudah mengabdi di perusahaan selama 7 tahun Pak. Sejak perusahaan itu masih di pimpin oleh Pak Bagio."
"Oke Bu Leni, nanti akan saya pikirkan masukan dari Ibu."
"Terima kasih Pak."
"Saya yang harusnya berterima kasih. Karena saya kan masih pimpinan baru. Jadi saya tidak tahu, seperti apa prestasi dan pengabdian semua karyawan saya. Termasuk juga Ibu," ucap Leon di akhir obrolannya dengan Bu Leni.
Selesai berbincang-bincang, Leon berjalan mendekati Vania yang masih belum berhenti menangis di depan jenazah Pak Indro.
"Vania.., saya turut berduka cita," ucap Leon pelan.
Glek...
Vania segera menyeka air matanya. Perlahan ia membalikan tubuhnya karena panggilan suara yang tidak asing di telinganya.
Deg...
"Leon, kenapa kamu bisa di sini?" kata Vania kaget.
"Maafkan aku Vania, aku sungguh menyesali perbuatanku. Sekali lagi maafkan aku," ucap Leon sembari melepas kaca mata hitamnya dan menatap sendu kedua netra seorang wanita yang selama ini ia rindukan.
Air mata Vania mengalir deras. Jika dulu saat Ibunya meninggal, Vania sangat berharap akan kedatangan Leon. Tapi tidak untuk sekarang, kehadiran Leon semakin membuat hati Vania sakit. Bahkan sangat sakit, hingga membuat air terus mengalir deras keluar dari kedua kelopak mata indahnya.
"Ngapain Pak Leon datang ke sini? Saya minta bapak segera pergi!!" lirih Vania.
"Tapi Vania.."
"Aku mohon sama kamu, tolong pergi," ucap Vania penuh harap.
"Jika itu mau kamu, aku akan pergi. Tapi, nanti malam aku akan kembali. Karena ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Dan ini ada sedikit uang, sebagai tanda bela sungkawa dari saya untuk kamu. Tolong terima ini( Leon menyodorkan selembar amplop putih ke tangan Vania)."
"Maaf Pak Leon, tapi saya tidak mau menerima ini."
"Tolong terima ini Van, jika kamu menolak aku akan tetap di sini," ancam Leon.
Seperkian detik Vania berpikir, ia pun memutuskan untuk mau menerima pemberian Leon. Daripada jika ia menolak, Leon pasti akan tetap di sana dan malah membuat Bu Leni menjadi curiga dengan kedekatan mereka.
"Baiklah," Vania terpaksa menerima amplop pemberian dari Leon sambil memalingkan wajahnya dari hadapan Leon.
"Sekarang kamu bisa pergi," titahnya.
"Oke Vania, aku akan pergi. Jaga kondisi kamu ya Vania. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, karena jika kamu terus menerus menangis, Bapak di surga juga pasti ikut menangis," ucap Leon sejenak sambil memberikan senyuman yang selama ini telah hilang dari penglihatan Vania.
Vania sama sekali tak bergeming. Menatap Leon saja tidak. Merasa tak ada respon dari Vania, Leon lalu berpamitan. Ia mengajak Pras dan Bu Leni untuk segera pergi dari rumah Vania.
"Vania, saya turut berduka cita ya," ujar Pras, sesaat sebelum pergi.
"Terima kasih Pak Pras."
"Kamu yang sabar ya Van. Dan ini ada sedikit sumbangan dari para teman-teman kantor," sahut Bu Leni.
"Terima kasih Bu," jawab Vania.
Vania menatap kepergian Leon. Cinta dan benci, perasaan itu kini bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya sekarang. Tanpa sengaja Leon kembali menoleh dan membuat kedua mata mereka saling bertatapan dari jauh.
"Vania, nanti malam aku akan ajak kamu ke suatu tempat. Dan semoga dengan cara ini, akan sedikit membuatmu terhibur," batin Leon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Nur Kholifah
nasib vania ada di tangan author
2022-01-06
0
Sugiyanto Samsung
sedih
2022-01-01
0
Ninksih Cah Pml Ikhlas
kl q lngsung kabur...trllu sakt
2021-12-25
0