Rudy menghentikan motornya di taman kota setelah pulang sekolah. Ia menggandeng tangan Susi ke bangku taman di depan ia menaruh motornya. Dengan gugup ia meminta Susi duduk di sampingnya.
Dengan perlahan Rudy berkata kepada Susi, “Dengar, papa sudah tahu kita tidur satu kamar. Jadi …”.
“Kamu takut apa? Dimarahi papa? Bilang saja kalau aku yang minta. Bereskan”, kata Susi memotong pembicaraan Rudy. “Aku tidak suka kamu membicarakan hal ini di tempat umum”, lanjut Susi sambil berdiri hendak pergi.
“Mungil, jangan begitu dong. Aku belum selesai bicara”, sahut Rudy sambil memegang tangan Susi untuk menghentikan langkahnya. Ia pun berdiri di sisi Susi sambil memegang kedua tangan Susi. Ia menata hatinya dan memandang wajah Susi. “Aku tak mau papa marah padamu, jadi mari kita buat kesepakatan”, lanjutnya.
Susi menatap mata Rudy yang teduh membuat emosinya sedikit turun. Ia tahu bukan hanya dirinya yang akan kena marah tetapi juga Rudy dan Ibu Sinta. Ia sangat takut jika papanya mengusir mereka. Itu artinya ia akan di kurung dalam kamar dan akan merasakan kesepian yang sangat panjang. Dengan merekalah Susi merasa disayang dan dimanjakan. Bahkan Susi sering merasa kalau Ibu Sinta lebih mengasihinya dibanding Rudy, anaknya.
Rudy dan Susi kembali duduk di bangku taman. Mereka duduk dalam diam, hanyut dengan aliran pikiran masing masing. Rudy memegang lembut tangan Susi dan membelainya, ia takut tangan mungil ini akan lepas dari genggamannya. Ia sangat takut jika ia tidak diijinkan lagi bersama Susi.
Tiba-tiba Susi menarik tangannya dan berkata, “Biar aku saja yang bicara sama papa soal ini, lagi pula aku yang minta kamu menemani aku tidur, jadi ini tanggung jawabku. Katakan apa yang harus aku katakan pada papa. Katakan juga perjanjianmu dengannya. Supaya aku tahu seberapa parah amarah papa”.
Rudy menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan kepada Susi, “Aku tidak tahu dari mana aku harus cerita. Tapi malam itu, saat kamu menanggis di sudut kamar semalaman, tidak ada yang bisa menenangkanmu. Aku ingat betul bahwa kamu pun tidak makan dari siang. Aku dilarang ibu mendekatimu, tapi jujur, aku tidak suka melihatmu seperti itu, sakit sekali hatiku. Saat aku ke dapur membuka lemari es, aku melihat ada es krim kesukaan kita. Aku mengambilnya, karena aku pikir itu akan dapat menghentikan tangismu”.
Rudy menghentikan ceritanya saat air mata Susi mulai menetes. Rudy menghapus air mata Susi dengan kedua tangannya. Ia merengkuh gadis cantik yang sangat dikasihinya ke dalam pelukannya. Ia membelai kepala Susi dan mencoba menenangkannya. “Maaf, aku sudah membuat mengingat peristiwa itu. Jangan menangis lagi. Hatiku sakit melihat air matamu”.
Dengan sesenggukan Susi meneruskan cerita Rudy, “Dan kamu membuka es krim stoberi, mengambil sendok dan menyedok es krim itu. Kamu menawarkan padaku berkali-kali namun aku menolaknya. Lalu kamu menyuapiku sampai es krim stoberiku habis. Dan kamu juga memberikan es krim vanilamu kepadaku. Kau tahu, aku lapar sekali waktu itu, dan es krim itu seperti malaikat yang mengisi perutku hingga kenyang. Setelah habis semuanya, kau memandikan aku, menggantikan bajuku, dan menjanjikanku es krim yang banyak kalau aku mau tidur. Seperti kemarin lusa, waktu itu aku juga memaksamu menemaniku tidur”. Susi menegakkan kepalanya menatap Rudy, “Malam itu aku tahu papa melihat kita, bahkan saat kamu sudah tidur, aku belum bisa tidur. Dan aku pura-pura tidur saat papa mendekat dan menyelimuti kita. Aku merasa sangat nyaman tidur denganmu karena aku tahu kamu tidak akan meninggalkan aku sendiri”, lanjut Susi. Rudy mengangguk pelan dan mengapus air matanya, ia mengecup kening Susi dengan lembut.
“Woi…, kalau pacaran jangan di sini dong!”.
Rudy dan Susi melepaskan tangannya lalu menoleh pada sumber suara yang tidak asing di telinga mereka.
“Kok kalian nangis, ada masalah apa? Di usir dari rumah?”, selidik Dipo sambil jongkok di depan keduanya.
“Ih Dipo kepo, kamu mengikuti kami ya? Mau jadi mata-mata?”, sahut Susi sambil menghapus air matanya.
“Kepo? Siapa? Aku? Enggaklah, ngapain juga ngepoin urusan orang. Ini minum dulu biar tidak dehidrasi. Kalian ngapain sih, aku perhatikan dari tadi pagi bawaannya suntuk melulu. Tidak dapat jatah dari nyokap? Atau kena marah lagi?” tanya Dipo.
“Popo memang tukang kepo, Kamu ngapain di sini?”, tanya Susi sambil melotot.
“Harusnya aku yang tanya kalian, ngapain kalian di sini. Rumahku di situ.. tu, nyebrang jalan doang. Dari gang itu tiga rumah di sebelah kiri, kalau kalian kan masih ke sono, masuk gerbang besar itu kan?”, jawab Dipo sambil menunjukkan tangannya.
“Sudah… sudah…”, kata Rudy menengahi, “Kami sedang ada masalah, tapi belum bisa diceritakan. Besok kalau aku sudah siap pasti aku ceritakan”, lanjut Rudy.
“Bener ya, aku tagih janjimu”, kata Dipo kepada Rudy sambil menepuk bahunya. Ia memberikan dua botol air mineral kepada mereka “Habiskan minumnya, buang ke tempat sampah botol …”.
“Kakak…!!! Mana es ku? Haus kak”, panggil Dini sambil merajuk mendekati Dipo. Gadis kecil itu menarik-narik tangan Dipo.
“Iya, ayo kita beli”, jawab Dipo kepada Dini. Dipo menggandeng Dini pergi menjauhi Rudy dan Susi dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Susi terkejut melihat kejadian di depannya, “Siapa itu? Sampai Si Kepo tunduk padanya”, tanya Susi kepada Rudy dengan terus menatap kepergian Dipo dan Dini.
“Itu Dini, adik tirinya Dipo. Mereka selisih lima tahun”, jawab Rudy.
“Ough, makanya mirip. Satu ibu?”, tanya Susi.
“Bukan, satu ayah. Kamu kok jadi kepo sama Dipo”, tanya Rudy penuh selidik. “Naksir Dipo ya?”, lanjut Rudy menatap wajah Susi yang terus memandangi Dipo. “Baguslah kalau begitu. Aku percaya sama Dipo, jadi tenang mengakhiri tugasku”, kata Rudy sambil beranjak dari bangku taman.
Susi yang mendengar kata Rudy mulai mencerna arah pembicaraan itu. “Tunggu, apa maksudmu dengan mengakhiri tugasmu? Kamu mau pergi dariku?”, tantang Susi.
“Iya, kalau kamu suka Dipo, aku tenang. Dia itu laki-laki yang baik dan bertanggungjawab. Sama ibu dan adik tirinya saja dia sayang. Apa lagi sama kekasihnya”, kata Rudy kesal.
“Kamu ngomong apa sih? Aku tanya tentang maksudmu tadi? Mengakhiri tugas dengan tenang, percaya sama Dipo. Tentu saja kamu percaya, dia kan sahabatmu”, dengus Susi.
“Oke, kita kembali soal itu. Dua hari setelah peristiwa itu, Papa memanggil ibu ke kantor. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi setelah agak lama ibu memanggilku. Ibu bilang kalau papa mau bertemu denganku di kantor. Ibu berpesan kepadaku untuk mengangguk dan menjawab iya. Sejujurnya aku sangat takut, tapi ibu mengantarku sampai ke dalam kantor”, kata Rudy. Ia mengela nafas panjang untuk melanjutkan ceritanya.
“Papa memelukku dan mendudukkanku di meja kerjanya. Waktu itu papa menanyakan dua hal saja kepadaku”, lanjut Rudy.
“Tanya apa? Peristiwa malam itu?”, sahut Susi.
Rudy menggelengkan kepalanya dan berkata dengan pelan, “Waktu itu papa tanya: Rudy, apa kamu sayang Susi? Aku menggangguk. Kemudian papa tanya lagi : Rudy mau tidak jagain Susi? Aku mengangguk. Papa tanya itu tidak cuma sekali, tapi beberapa kali”.
“Terus jawabanmu tetap sama?”, tanya Susi.
“Iya, aku mengangguk dan menjawab iya. Dan yang terakhir papa memelukku dan berkata: Rudy tolong jaga Susi sampai dia menikah dengan orang yang tepat. Papa akan membiayai semua kebutuhanmu, dan kalian boleh tinggal di sini sampai kalian mandiri”, lanjut Rudy.
“Apa? Jadi selama ini kamu menjagai aku karena permintaan papa? Karena papa memberi semua fasilitas buat kamu? Kamu jahat, benar-benar jahat. Aku tidak menyangka kamu benar-benar mengenaskan. Ternyata benar kata Hans, kamu memang anjing penjaga yang dibayar papa”, kata Susi penuh amarah. Ia beranjak dari bangku taman dan bergerak ke jalan raya hendak menyeberang.
Rudy yang menyadari amarah Susi segera mengejar dan menangkap Susi. Ia memeluknya dan berkata, “Kamu boleh marah padaku, tapi di rumah. Kita pulang sekarang, jangan sampai papa pulang duluan”.
Mendengar kata-kata itu, Susi segera terdiam dan mengikuti Rudy. Rudy memacu motornya dengan cepat. Ia tidak ingin Pak Surya marah karena mereka pulang terlambat.
Sesampainya di rumah, Susi segera masuk ke kamarnya. Ia melempar melepas sepatunya dan melempas tas sekolahnya ke atas meja belajarnya. Ia menjatuhkan dirinya ke ranjang dan berteriak “Ternyata kamu benar-benar jahat… jahat…. sekali”. Ia menangis tersedu-sedu di atas bantalnya sampai tertidur karena lelah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments