Sampai di sekolah Susi segera turun dari motor dan menyerahkan helmnya. “Nanti sore aku ada latihan di sanggar, jangan lupa ya. Aku tidak maupulang telat!” kata Susi kepada Rudy. Rudy menganggukkan kepalanya dan segera membawa sepedanya ke tempat parkir dan menyimpan helm di tempat penitipan helm.
“Hai anjing penjaga, kamu sudah dengar belum? Namamu dicoret dari pemain utama di pertandingan minggu depan?”, kata Hans kepada Rudy.
“Hans,jangan panggil Rudy seperti itu. Ganti istilah yang lebih keren dunk, body guard gitu. Orang gantengnya selangit gitu kok dipanggil anjing penjaga”, gerutu Dipo.
“Iya Popo bawel, Rud… jawab pertanyaanku”, seru Hans sambil menepuk pundak Rudy.
“Iya aku tahu, aku yang minta. Aku tidak mau pertandingan itu mengganggu konsentrasi belajarku saat ujian,” jawab Rudy.
“Lho kan pertandingan itu minggu depan, ujian masih bulan depan. Apa masalahnya?”,tanya Hans.
Rudy menghentikan langkahnya dan menjawab, “Minggu depan itu baru seleksi awal, kalau menang berarti minggu berikutnya pertandingan tingkat kota, dan kalau menang lagi bulan depan harus ikut seleksi tingkat propinsi. Terus kapan belajarku?”
Hans menepuk jidatnya, “Benar juga, okelah kalau begitu. Kamu memang benar-benar pintar”, sahut Hans.
“Tentu saja pintar, juara kelas bro!”, sambung Dipo.
“Sudahlah, sebentar lagi bel masuk berbunyi. Kita harus segera ke kelas”, ajak Rudy. Mereka bertiga segera berjalan menuju kelas masing-masing.
Di kelas Susi usai pelajaran biologi Ibu Cintya meminta Susi untuk menemuinya di ruang guru saat istirahat. Begitu bel istirahat berbunyi ia segera keluar kelas menuju ke ruang guru. Ia berjalan menuju meja Ibu Cintya. Ibu Cintya meminta Susi untuk duduk menunggu sebentar. Kemudian Ibu Cintya masuk ke ruang kepala sekolah dan berbicara serius dengan beliau. Susi dapat melihatnya dari tempat ia duduk. Setelah selesai berbincang dengan kepala sekolah, Ibu Cintya keluar ruang kepala sekolah dan meminta Susi untuk mengikutinya kembali masuk ke ruang kepala sekolah. Susi menganggukan kepalanya dan mengikuti Ibu Cintya.
“Duduk dulu, Bapak mau menyampaikan sesuatu. Tolong dipikirkan matang-matang”, kata Pak Simbolon, kepala sekolah Susi. “Masih ingatkah dirimu soal olimpiade semester kemarin? Kamu sudah tahu hasilnya kan?”, lanjut Pak Simbolon sambil memandang wajah Susi lekat-lekat. Susi hanya mengangguk mengiyakan. “Sebagai pemenang tingkat kota, kamu wajib mengikuti lomba tingkat propinsi. Karena penyelenggaraannya bulan Desember ditunda dengan batas waktu yang belum ditentukan, kami tidak berani mengikatmu. Tetapi kemarin ada surat tugas dari propinsi untuk kamu untuk melanjutkan mengikuti olimpiade tingkat propinsi. Sebetulnya Bapak sangat senang kalau kamu ikut, tetapi permasalahannya adalah waktu olimpiadenya bersamaan dengan jadwal ujian kamu. Ini salinan surat tugasnya. Tolong dibicarakan dengan papamu, apapun keputusan papamu kami terima. Kalau keputusanmu tetap ikut, kami akan menjadwalkan ujian susulan untukmu; dan jika tidak ikut kami akan mengajukan surat pengunduran diri untukmu. Tolong dipertimbangkan dengan baik. Waktumu hanya sampai hari Senin”, kata Pak Simbolon menjelaskan kronologi masalah yang akan dihadapi Susi.
“Baik Pak, besok saya tanyakan papa. Saya akan memberikan keputusan saya hari Senin”, jawab Susi kepada Pak Simbolon.
“Iya nak, kamu boleh keluar sekarang”, lanjut Pak Simbolon.
Susi berdiri dan mohon pamit, ia segera keluar dari ruang kepala sekolah. Di pintu kelas Wati sudah menunggunya, “Sus, ada masalah apa kamu dipanggil Pak Simbolon? Kenapa lama sekali?”, tanya Wati menyelidik. Susi menunjukkan surat tugas yang diterimanya kepada Wati. “What!!! Kamu menang olimpiade? Luar biasa! Ikut ke propinsi dunk?”, kata Wati dengan senyum yang lebar.
“Belum tahu, aku tanya papa dulu, boleh atau tidak”, jawab Susi.
“Ikut saja, ini kesempatan langka lho. Lagi pula ini kesempatan untuk membuktikan kepada papamu kalau kamu itu memang bisa diandalkan”, kata Wati.
“Entahlah, tiba-tiba aku lapar. Aku mau ke kantin dulu”, kata Susi.
“Tapi sebentar lagi bel masuk. Apa kamu tidak takut dimarahi Pak Simbolon?”, tanya Wati.
“Pak Simbolon memberi aku waktu tambahan sepuluh menit untuk istirahat. Aku mau makan dulu”, jawab Susi sambil berjalan ke kantin. Wati yang ditingalkan Susi hanya terbengong-bengong. “Wah, ajaib ini sampai Pak Simbolon memberi tambahan waktu”, batin Wati sambil melangkah masuk ke kelas.
Sepulang sekolah Rudy dan Susi membeli lauk, mereka sepakat untuk makan di rumah saja untuk menghemat waktu. Rudy memacu motornya dengan cepat sampai di rumah. Ia tidak mau mengecewakan segera menyiapkan lauk yang dibelinya di meja untuk mereka makan.
“Habis ini aku mau mandi terus berangkat. Nanti di tinggal aja, kamu jemput setelah waktu pulang”, kata Susi kepada Rudy. Rudy hanya mengangguk dan meneruskan makan. Selesai makan Susi segera naik ke atas untuk mandi. Rudy membereskan meja dan mencuci piring di dapur. Ia membuang sampah dapur ke tempat sampah di luar gerbang. Semalam ia lupa membuang sampah.
Susi segera melepas baju seragamnya dan masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya dari keringat yang membuat lengket dan gerah. Seusai mandi ia segera berdandan lalu menyiapkan baju latihan tarinya dan tak lupa menysipkan handuk kecil serta sabun mukanya. Susi berlari kecil menuruni tangga dan mencari Rudy. Ia menemukan Rudy sedang membersihkan muka dan tangannya.
“Belum selesai?”, tanya Susi
“Bentar, aku mandi dulu”, jawab Rudy sambil berlari ke kamarnya untuk mandi.
Susi duduk di sofa ruang tengah membuka hp-nya. Ternyata ada pesan dari Wati, “Sus, hari ini jadi ke sanggar kan? Aku jemput ya”. Susi pun membalas, “Aku diantar dan dijemput Rudy. Kita ketemu di sanggar”. “Okey”, jawab Wati mengakhiri percakapannya.
“Hhmmm wangi banget, mau ketemu pacar ya?”, goda Susi saat Rudy mendekat.
“Mau anter calon istri”, jawab Rudy sambil mencubit hidung Susi.
“Aduh sakit tahu, hei… mau ke mana?”, tanya Susi saat Rudy berjalan ke dapur.
“Mengunci pintu samping, kita lewat pintu depan saja”, jawab Rudy dari dapur. Setelah selesai mengunci pintu Rudy segera keluar rumah diikuti oleh Susi di belakangnya. Ia pun mengunci pintu depan.
“Duh, cantiknya kalau manyun seperti itu”, goda Rudy sambil menyerahkan helm. “Tunggu di depan gerbang saja ya, sekalian kamu tutup gerbang buat aku. Nanti aku temenin tidur seperti semalam. okey!”, kata Rudy sambil mengedipkan mata.
“Apaan sih, genit”, dengus Susi sambil berjalan ke luar gerbang. “Awas kalau sampai kamu genit sama Wati. Aku akan hukum kamu semalaman di kamar”, gerutu Susi membuka gerbang. Rudy hanya tertawa. Ia tahu Wati suka padanya, tapi ia tak pernah berdua saja dengannya. Setiap kali bertemu Wati itu pun karena mengantar Susi.
Rudy mengantar Susi sampai ke depan sanggar. Susi turun dari motor dan menyerahkan helmnya. “Jangan terlambat jemput, kita harus sampai rumah sebelum Ibu datang”, kata Susi sambil menatap kesal kepada Rudy. Ia sangat kesal kalau Rudy menyebutnya dengan calon istri. Ia ingat sekali saat bermain rumah-rumahan dengan Rudy kala itu, ia menjadi istri dan Rudy jadi suami. Saat mama dan ibu melihat itu, mereka hanya tertawa melihat permainan itu. Tetapi saat papanya datang dan melihat mereka bermain, papanya marah besar bahkan merusak
rumah-rumahan yang dia buat bersama Rudy. Dan malam itu Susi melihat papanya untuk pertama kalinya marah dengan mama dan ibu di ruang kerja. Satu kalimat yang selalu diingatnya “Aku tidak suka anakku bermain seperti itu dengan anakmu. Aku tidak akan membiarkan anakku menjadi istri anakmu. Tidak akan pernah. Ingat itu baik-baik”.
“Hai Rudy, antar jemput Susi ya”, sapa Wati mendekati Rudy.
“Iya, aku tinggal dulu ya. Titip jagain Susi ya Ti, jangan sampai dia godain mister lagi”, kata Rudy sambil menghidupkan motor dan meninggalkan mereka berdua.
“Wah… wah ada yang cemburu sama mister nih”, goda Wati sambil menggandeng Susi. Susi menoleh sambil memanyunkan wajahnya. Mereka segera masuk dan berganti pakaian. Mereka mengikuti latihan dengan serius. Mereka tahu bulan ini bulan terakhir mereka bisa mengikuti latihan di sanggar karena bulan depan mereka harus fokus untuk ujian.
Latihan selesai lima menit yang lalu, tetapi Rudy belum muncul. Susi menjadi resah, karena ia tidak berani pulang sendiri, tepatnya tidak pernah pulang sendiri. Ia menyesal menolak tawaran Wati untuk pulang bersamanya.
Mister yang melihat Susi duduk sendiri di dalam sanggar segera mendekatinya, “Belum dijemput?”, sapanya sambil duduk di depan Susi. Susi menganggukkan kepalanya. Mister adalah panggilan untuknya dari anak-anak didiknya di sanggar ini. Ia adalah pemilik sekaligus pengelola sanggar tari. Ia sangat mencintai tari dan pernah menjadi penari terkenal sebelum istrinya meninggal. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk menari dan mendidik anak-anak untuk mencintai tari.
“Kamu takut pulang sendiri ya? Kenapa?”, tanya Mister sambil memandang Susi.
“Tidak apa-apa Mister, hanya belumpernah pulang sendiri”, jawab Susi pelan.
“Kamu tahu tidak kalau latihan tadi bisa untk menjaga diri dari kejahatan?”, kata Mister.
Susi mendongakkan kepala dengan wajah tak percaya, “Benarkah?”, tanya Susi.
“Mari aku ajari caranya”, kata Mister sambil menggandeng tangan Susi ke tengah sanggar. Ia menjelaskan cara-cara bela diri dan mengajarkan kepada Susi ia juga meminta Susi mencoba beberapa gerakan itu. Mereka tertawa renyah saat mencobanya, tak terasa tiga puluh menit pun berlalu.
Sementara Rudy sudah menunggunya di luar sanggar. Ia datang lima belas menit yang lalu. Ia melihat Susi masih belajar di dalam. Ia memperhatikan Susi dan Mister yang tertawa sambil belajar. Ia tak ingin mengganggu mereka, ia tahu menari adalah salah satu hoby Susi selain membaca komik.
Saat Mister menoleh ke arah pintu, ia melihat Rudy sudah menunggu. Ia memberi isyarat pada Susi untuk berhenti dan segera berganti baju. Susi pun berlari ke ruang ganti, sedang Mister menemui Rudy di luar, “Tunggu sebentar ya, maaf sudah membuatmu menunggu”, sapanya dengan ramah. Rudy hanya menganggukkan kepalanya. “Datang jam berapa?”, lanjut Mister.
“Lima belas menit yang lalu Mister, saya yang harus minta maaf karena terlambat menjemput, baru selesai latihan soalnya”, jelas Rudy.
“Tidak apa-apa, selama ia menunggu dalam sanggar, ia aman”, kata Mister sambil menepuk pundak Rudy. “Aku masuk dulu ya, sudah waktunya pulang”, lanjut Mister sambil membalikkan tubuhnya dan masuk ke sanggar.
Tak lama setelah itu Susi keluar sanggar dengan wajah kesal karena Rudy terlambat menjemputnya. Ia segera mengambil helm dari tangan Rudy dan memakainya. Setelah Susi naik ke motor Rudy, ia segera memacu motornya untuk pulang ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments