Sebuah gordyn berwarna putih dengan motif kupu-kupu di jendela kamar berayun tatkala hembusan sang bayu terasa begitu kencang membelainya. Meliuk-liuk bak para penari yang begitu lihai dalam menggerakkan tubuhnya seiring seirama dengan nada yang mengalun indah.
Sebuah kamar yang teramat sederhana, karena di dalam kamar ini hanya ada sebuah ranjang dari kayu dengan kasur busa yang melapisi bagian atasnya, sebuah almari kecil, sebuah meja yang di atasnya dihiasi botol obat penenang dan juga teko plastik yang berisi air putih.
Seroja berdiri terpaku di ambang pintu yang tiada berdaun. Hanya ada sebuah gordyn yang berfungsi sebagai penutup kamar ini. Dan dari tempatnya berdiri, nampak sesosok wanita paruh baya yang tengah terlelap di atas ranjang.
Sebuah pemandangan yang kontras di kala sang ibu tengah tertidur seperti ini dengan kondisi sang ibu yang tengah terjaga. Dalam keadaan seperti ini, wajah wanita paruh baya itu nampak begitu tenang dan damai. Sedangkan di saat terjaga, wanita itu seakan berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan, dan bisa membuat keadaan yang berada di sisi kanan kirinya begitu berantakan.
Langkah kaki Seroja terayun untuk dapat lebih dekat dengan Dahlia. Perlahan, ia daratkan bokongnya di tepi ranjang dan ia kecup pelan kening wanita yang tengah terlelap itu.
"Hingga saat ini, aku tidak mengerti mengapa sejak dulu ibu selalu membenciku. Bahkan sebelum ibu dalam keadaan seperti ini, ibu selalu saja memperlakukan aku dengan berbeda. Tidak seperti perlakuan seorang ibu terhadap anaknya. Sebenarnya, apa salahku Bu? Kesalahan apa yang pernah aku buat hingga membuat ibu dari dulu tidak pernah menyayangiku?"
Rasa sesak kembali menyergap rongga dada Seroja. Layaknya himpitan batu besar yang mendorong bulir-bulir bening dari pelupuk matanya untuk menetes satu persatu. Ia mengira hubungannya dengan sang ibu bisa membaik, namun kenyataannya di luar ekspektasi. Hubungannya dengan sang ibu semakin memburuk, terlebih sejak malam kelam itu terjadi. Satu malam yang berhasil menghancurkan kehidupan pribadinya. Satu malam yang berhasil meluluhlantakkan dunianya dan satu malam yang setelah malam itu terjadi, gelombang ujian bertubi-tubi datang menghantam hidupnya.
Dunia yang bagi kebanyakan orang merupakan tempat untuk mengecap manisnya kehidupan, namun bagi Seroja, dunia bak empedu yang hanya menyisakan kepahitan semata.
Ia seka bulir-bulir bening yang jatuh dari pelupuk matanya. Wanita itu menangis sesenggukan dengan kepala menunduk. Matanya terpejam, tatkala sekelebat bayangan kembali hadir menyapanya. Kejadian di dua tahun yang lalu bagaikan sebuah kepingan-kepingan puzzle yang jika tersusun justru hanya semakin mengiris perih batin wanita itu. Tepat di kamar ini. Sebuah kamar dimana kehancuran hidupnya di mulai.
"Mengapa kamu ada di sini? Pergi kamu dari sini, pergi!"
Larut dalam luka lama yang kembali menyapa dan bergelayut manja di dalam hatinya, membuat Seroja tidak sadar jika sedari tadi matanya terpejam dan melupakan satu hal bahwa sang ibu kapanpun bisa terbangun dari tidurnya. Benar saja, Dahlia terbangun dan kini posisi tubuhnya mulai beringsut mundur dari posisi sebelumnya.
Tubuh Seroja tersentak, ia dongakkan sedikit kepalanya dan terlihat sang ibu sudah memasang raut wajah yang menakutkan, layaknya seekor singa yang berhadapan dengan musuhnya.
"Ibu..."
"Pergi kamu dari sini! Pergi! Kamu sudah menggoda suamiku dan membuatnya meninggalkanku!" Dahlia melempar bantal ke arah Seroja untuk meluapkan amarahnya. "Dasar wanita penggoda. Pergi kamu, pergi!"
Seroja ikut naik ke atas ranjang berupaya untuk mendekat ke arah Dahlia. "Ibu ... ini Seroja. Seroja putri Ibu."
Dahlia semakin beringsut mundur, hingga kini kakinya berpijak di atas lantai. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengacak kasar rambutnya. "Tidak, tidak. Kamu bukan anakku. Kamu adalah anak wanita perebut calon suamiku. Dan sekarang kamu menggoda lelaki yang menjadi suamiku. Dasar wanita pembawa sial. Pergi kamu dari sini, pergi!"
"Ibu ... Mengapa Ibu mengatakan hal itu? Ini Seroja, Bu ... putri Ibu."
"Bu Dahlia!"
Suara suster Ana yang masuk ke dalam kamar sukses membuat Dahlia menoleh ke arah sumber suara. Gegas, wanita paruh baya itu merapatkan tubuhnya ke arah sang suster dengan posisi seperti anak perempuan yang tengah mencari sebuah perlindungan karena didera oleh rasa takut.
"Usir wanita penggoda itu dari sini Sus! Usir dia dari sini! Aku tidak ingin melihat wajahnya!"
Dahlia meronta di dalam dekapan suster Ana, menginginkan agar Seroja segera pergi dari tempat ini. Sedangkan suster Ana hanya mencoba untuk mengusap-usap punggung Dahlia untuk memberikan sedikit ketenangan.
"Bu Dahlia mengapa tidak ingin bertemu dengan mbak Seroja? Mbak Seroja datang kemari dengan niat baik. Dia ingin melihat keadaan bu Dahlia."
Masih dengan sorot mata tajam, tatapan Dahlia seakan kian membidik. Nampak di mata cekung wanita paruh baya itu dipenuhi oleh kabut kebencian yang begitu pekat. Kabut itu mungkin tiada akan pernah menghilang, sebelum ada sebuah sinar kerelaan tentang apa yang terjadi, yang menyusup dalam relung hatinya.
"Aku tidak butuh ditemui oleh wanita itu, Sus. Aku tidak butuh. Sekarang, usir wanita pembawa sial dalam hidupku itu, usir dia Sus. Cepat usir dia!"
Dahlia nampak semakin tiada terkendali. Wajah wanita itu terlihat dipenuhi oleh gejolak emosi yang meletup-letup tak terbendung sehingga membuat Seroja semakin larut dalam perih yang terasa mengiris batinnya. Bibirnya terkatup, lidahnya seakan kelu tak mampu berucap apapun. Hanya ada lelehan air mata yang mengalir deras dari jendela hatinya yang menyiratkan bahwa ia tengah terluka. Terluka karena wanita yang begitu ia cintai dalam hidupnya tidak menginginkan kehadirannya.
Suster Ana melirik ke arah Seroja yang saat itu tengah menatapnya. Wanita itu hanya mengangguk pelan sebagai sebuah isyarat agar Seroja segera meninggalkan kamar ini. Seakan paham dengan apa yang dikatakan oleh suster Ana, ia pun gegas membawa dirinya untuk keluar dari kamar ini. Pastinya dengan serpihan-serpihan luka yang berserakan di dasar hatinya.
Benar saja, Dahlia nampak sedikit tenang tatkala sorot matanya tidak lagi menangkap bayangan Seroja. Nafas yang sebelumnya terdengar memburu, kini sedikit mulai teratur.
"Mbak Seroja sudah keluar dari kamar ini. Sekarang bu Dahlia kembali beristirahat ya."
Layaknya seorang ibu yang membujuk sang anak, suster Ana mendekap erat tubuh Dahlia yang sudah sedikit lebih tenang itu. Masih dengan lembut, suster Ana mengusap-usap punggung Dahlia.
"Dia bukan anakku Sus, dia bukan anakku. Jangan pernah lagi suster Ana membiarkannya masuk ke dalam kamarku!"
Suster Ana hanya menganggukkan kepalanya meski di dalam hati ada sebuah tanda tanya besar yang mengusiknya. Apa gerangan yang dimaksud oleh wanita paruh baya ini? Mungkinkah ada sesuatu yang hingga saat ini masih menjadi sebuah rahasia dalam hidup Dahlia, yang tidak diketahui oleh siapapun bahkan oleh Seroja sendiri?
Namun, buru-buru suster Ana mencoba untuk menepi dari segala pertanyaan yang hampir menenggelamkannya ke dalam pusaran rasa penasaran yang semakin besar. Ia merasa belum saatnya mengorek sebuah cerita yang pernah terjadi di masa lalu Dahlia.
"Baiklah Bu, saya akan menunggu di depan kamar. Tidak akan membiarkan mbak Seroja masuk ke dalam sini. Sekarang bu Dahlia kembali beristirahat ya."
Seperti seorang anak yang tunduk pada perintah ibunya, kepala Dahlia mengangguk pelan. Tanpa diberi instruksi oleh suster Ana, wanita paruh baya itu naik ke atas ranjang untuk kembali merebahkan tubuhnya.
🍁🍁🍁
Angin kencang menerpa wajah Seroja yang masih dipenuhi oleh gurat-gurat kesedihan yang begitu kentara. Air matanya telah mengering namun dalam hati, serpihan luka itu masih terasa begitu menusuk seonggok daging bernyawa dalam tubuhnya. Mengucurkan darah tak kasat mata yang dipenuhi oleh pertanyaan besar tentang apa maksud yang diucapkan oleh sang ibu di dalam kamar tadi.
"Aku harap mbak Seroja memaklumi apa yang dilakukan dan diucapkan oleh ibu Dahlia tadi. Apa yang diucapkan oleh beliau, jangan sampai membuat mbak Seroja berkecil hati sehingga tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi."
Suara suster Ana yang muncul dari pintu masuk, sedikit membuat Seroja terhenyak. Ia usap kasar wajahnya dan mulai menautkan pandangannya ke arah sang suster yang juga ikut mendaratkan bokongnya di lincak yang masih kosong.
"Apakah ucapan seseorang yang tengah mengalami gangguan kejiwaan merupakan ucapan paling jujur, Sus?"
Suara Seroja terdengar sedikit bergetar tatkala ia menyerukan pertanyaannya. Hatinya sungguh belum siap mendengarkan penjelasan dari suster Ana jika memang apa yang ia takutkan memang benar adanya.
Suster Ana hanya mengulas sedikit senyumnya. Mungkin sebagai bentuk sependapat dengan apa yang diucapkan oleh Seroja. "Tidak semua yang diucapkan oleh seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan itu benar Mbak, namun tidak menutup kemungkinan jika apa yang diucapkan oleh ibu Dahlia memang merupakan salah satu rahasia besar yang selama ini ia tutupi."
Seroja terkesiap. Apa yang diucapkan oleh suster Ana semakin menggiring persepsi bahwa semua yang keluar dari bibir sang ibu merupakan sebuah kebenaran.
"Jika melihat bagaimana cara ibu memperlakukan aku semenjak aku kecil, mengapa aku semakin merasa bahwa apa yang terucap dari bibir ibu memang benar adanya?"
Suster Ana sedikit tercengang. Sejauh ini ia memang tidak terlalu mengetahui tentang bagaimana hubungan Dahlia dengan sang anak. Yang ia tahu, Dahlia membenci Seroja karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di malam itu.
"Memang bagaimana cara ibu Dahlia memperlakukan mbak Seroja? Apakah kasar? Atau bagaimana?"
Rasa ingin tahu suster Ana semakin mendorong pertanyaan itu meluncur bebas dari bibirnya. Mungkin dari apa yang diceritakan oleh Seroja akan membuatnya semakin paham dengan seluk beluk hubungan ibu dan anak itu.
"Sejak kecil, ibu memang memperlakukan aku berbeda Sus. Sangat berbeda dengan cara ibu memperlakukan Alamanda. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa ibu memperlakukan aku seperti itu. Perlakuan ibu bukan seperti perlakuan yang ditampakkan oleh ibu kandung kepada anaknya."
Pandangan mata Seroja kembali menerawang, teringat akan perlakuan yang ditampakkan oleh Dahlia. Semenjak kecil belaian lembut dan kasih sayang Dahlia memang tidak pernah ia rasakan sama sekali. Wanita itu selalu memperlakukannya berbeda. Bahkan terlihat begitu kontras dengan perlakuan yang diberikan kepada Alamanda.
Dahlia melahirkan Alamanda tatkala Seroja menginjak usia dua puluh satu tahun. Semenjak kelahiran Alamanda itulah yang semakin membuat Seroja tersadar bahwa perlakuan sang ibu sungguh berbeda. Namun, wanita itu tidak pernah protes atau merasa iri sama sekali. Ia justru begitu menyayangi adik perempuannya itu.
"Aku belum bisa mengatakan apapun, Mbak. Mungkin nanti akan aku coba memancing ibu Dahlia untuk menceritakan apa yang terjadi di masa lalu. Mbak Seroja sabar sebentar ya."
Seroja tersenyum getir. Ia berpikir, kenyataan apa yang nantinya akan ia peroleh tidak akan berpengaruh apa-apa. Karena saat ini ia hanya menjadi sosok raga yang hanya mengikuti kemana goresan takdir akan membawanya. Entah membawanya ke dalam kebahagiaan atau justru semakin ke dalam jurang kesengsaraan. Sejak dua tahun lalu raganya seakan mati, dan tidak akan pernah bisa bangkit kembali.
"Kalaupun ibu tidak pernah menceritakan tentang apa yang terjadi di masa lalu, aku juga tidak terlalu perduli Sus. Hidupku sudah terlanjur hancur dan tidak mungkin akan kembali seperti semula. Kini aku hanya menjalankan peranku untuk bisa menghidupi ibu dan juga adikku."
"Mbak Seroja jangan mengatakan hal itu. Kehancuran hidup mbak Seroja bisa diperbaiki kembali. Tentunya dengan menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi."
Seroja menggelengkan kepalanya pelan. "Entahlah Sus. Saat ini aku menjalani kehidupanku dengan kehampaan. Ragaku seakan tidak bernyawa. Aku seperti kehilangan sesuatu dalam diriku sejak malam itu."
Suster Ana tersenyum simpul. Ia paham betul dengan apa yang menjadi kekalutan yang dirasakan oleh Seroja ini. Ia tahu betul bagaimana kepelikan hidup yang dua tahun terakhir dialami oleh wanita berusia dua puluh tujuh tahun ini. Satu kejadian yang berhasil menyeretnya ke dalam jurang yang curam dan gelap yang entah bagaimana caranya ia bisa kembali merangkak naik menuju sebuah cahaya yang terang.
Suster Ana menggenggam jemari tangan Seroja dengan erat. Seakan memberikan sebuah ketenangan dan kenyamanan batin. "Aku percaya suatu saat nanti mbak Seroja akan kembali mendapatkan hakikat hidup yang sebenarnya. Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah kembali merengkuh tubuh mbak Seroja untuk bisa keluar dari kegelapan ini."
Seroja menatap lekat manik mata suster Ana. "Apakah aku harus meng-amiinkan doa suster Ana?"
"Tidak ada salahnya mbak Seroja meng-aamiinkan, karena Allah memiliki cara Nya sendiri untuk mendekap dan memeluk erat tubuh hamba Nya untuk kembali ke jalan yang semestinya."
🍁🍁🍁🍁
Haaahhhhh.... Lima episode selesai saya buat. Bagaimana? Sudah muncul berbagai pertanyaan di dalam benak para pembaca? Hehehe heehee sabar ya Kak...
Terus dukung cerita author remahan kulit kuaci ini dengan like, komentar, favorit, dan jika ada yang dengan ikhlas memberikan vote, hadiah poin maupun koin, akan saya terima dengan penuh rasa syukur....😘😘😘
Untuk yang bertanya tentang Fakhru, sabar ya..... Dia pasti akan hadir tapi nanti... hehehe heehee 😅😅
Banyak cinta untuk Kakak-kakak semua...
Salam love, love, love❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Hersus
penasaran anak siapakah Seroja
2022-06-30
0
Ummi Alfa
Penasaran juga sama kehidupan masa lalu Seroja yg membuat dia hancur.
2022-02-28
0
ℒℴℴ𝓃𝓀Ryuzein•𖣤᭄😎
lajut kak author....
2021-12-10
0