Masih Seroja PoV
Decitan suara roda brankar yang beradu dengan lantai memecah keheningan salah satu rumah sakit di pagi hari ini. Brankar yang di atasnya tergeletak sosok gadis kecil yang dipenuhi oleh darah itu didorong oleh beberapa perawat memasuki ruang UGD, pastinya untuk segera mendapatkan pertolongan pertama. Dan aku, aku haya bisa ikut mengiringi laju brankar itu hingga mengantarkannya ke tempat yang memang sudah dipersiapkan.
"Dok, tolong! Tolong selamatkan adik saya Dok. Tolong selamatkan!"
Aku meracau di hadapan dokter lelaki dengan name tag dr. Fakhri ini, seakan menuntut agar ia bisa menyelamatkan adikku. Entah apa yang aku rasakan saat ini, tatkala aku ingat darah segar yang mengalir di sekujur tubuh Alamanda, aku pesimis jika.... ah, namun buru-buru aku hempas segala pikiran buruk itu. Aku percaya jika Tuhan pasti akan berbaik hati untuk menyelamatkan adikku.
Kulihat dokter bernama Fakhri itu mengulas sedikit senyumnya, seakan mentransfer sebuah sugesti positif untuk menguatkan aku.
"Mbak yang tenang ya. Banyak-banyak berdoa, semoga Allah menyelamatkan adik Mbak. Sekarang biarkan saya memeriksa keadaan adik Mbak."
"Saya mohon selamatkan adik saya Dok. Saya mohon!"
Dengan wajah memelas aku masih memaksa dokter bernama Fakhri ini untuk menyelamatkan Alamanda. Namun lagi-lagi, dokter muda ini kembali mengulas senyumnya. "Saya sebagai dokter hanya bisa berikhtiar untuk bisa melakukan yang terbaik, Mbak. Sedangkan untuk hasil akhirnya, semua merupakan hak mutlak Allah. Maka dari itu, ada baiknya saat ini Mbak terus melangitkan doa untuk mengetuk pintu-pintu langit sehingga Allah mengabulkan semua doa yang Mbak langitkan."
Oh ya Tuhan... Aku yang tidak pernah menengadahkan tangan untuk melangitkan pinta kepada Tuhan-ku, kini dokter itu memintaku untuk berdoa? Apakah Tuhan masih mau mendengarkan dan mengabulkan doa orang seperti aku ini?
Namun pada akhirnya aku hanya mengangguk samar sebagai pertanda menyetujui apa yang diucapkan oleh doker muda ini. "B-baik Dokter!"
"Ya sudah, Mbak silakan menunggu di sini, biarkan saya dan tim yang memeriksa keadaan adik Mbak."
Bayang tubuh dokter Fakhri mulai menghilang di balik pintu ruang UGD. Sedangkan aku, aku masih berdiri terpaku di depan ruangan ini.
Waktu terasa lamban berputar. Setiap detik yang aku lalui seakan enggan untuk bergulir, yang semakin membuatku terbelenggu dalam rasa cemas ini. Aku pun hanya bisa melihat tubuh Alamanda dari balik pintu kaca di ruangan ini.
Sebuah kaca yang berperan menjadi sekat kehidupan yang semakin menjauhkan aku dari dunia adikku. Aku lihat dokter Fakhri dibantu oleh beberapa perawat itu memasang wajah penuh ketegangan mulai memeriksa keadaan adikku. Dan raut wajah itulah yang semakin menyisakan rasa pilu dalam dadaku. Apakah Alamanda dapat tertolong?
Aku berbalik badan, ku sandarkan tubuku di dinding ruang UGD ini. Dengan sejuta beban yang terasa begitu berat, aku mencoba untuk mencari sesuatu yang bisa kujadikan sandaran. Siapa lagi yang bisa aku jadikan sebuah sandaran dalam memikul derita ini jika bukan dinding-dinding kokoh ruangan yang bisa menopang tubuhku agar tetap berdiri meski terasa begitu berat beban ini.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Bagaimana keadaan adik saya Dok? D-dia baik-baik saja bukan?"
Tubuhku yang sebelumnya merosot di depan ruang UGD, seketika bangkit dari posisinya. Ku seka sisa-sisa air mata yang masih deras membasahi pipi, dan ku raup udara dalam-dalam untuk menguatkan diri untuk menerima apa yang akan dikatakan oleh dokter Fakhri.
Dokter Fakhri mengulas senyum meski nampak dipaksakan. Kulihat dokter muda itu juga menghela nafas dalam dan ia hembuskan perlahan.
"Alhamdulillah adik Mbak bisa diselamatkan. Namun, ada sesuatu yang dialami oleh adik Mbak."
Dahiku sedikit mengerut. Dari ucapan yang dilontarkan oleh dokter Fakhri, seperti memberikan sebuah sinyal bahwa Alamanda mengalami satu hal yang buruk.
"S-seuatu apa itu Dok?"
Dokter Fakhri kembali tersenyum simpul dan menghela nafas dalam. "Saya harap Mbak bersabar. Saat ini adik Mbak mengalami kebutaan permanen!"
Perkataan dokter Fakhri sukses membuat mata ini terbelalak dan membulat sempurna. Bibirku menganga lebar dan kututup dengan telapak tanganku, tulang-tulang tubuhku seolah lepas dari tempatnya dan membuatnya lemas tiada bertenaga. Air mata yang sebelumnya aku seka, kini tanpa permisi mulai menetes kembali satu persatu saat kudengar kata 'kebutaan permanen' yang disampaikan oleh dokter muda ini.
Tubuhku bergetar hebat, nafas terdengar begitu memburu seperti alunan gemuruh yang berkecamuk di dalam dada. Gelombang derita ini kembali menghantam, dan membuat tubuh ini terhempas di dasar palung luka paling dalam.
"B-Bagaimana bisa adik saya mengalami hal itu Dok?"
Dokter Fakhri memulai pemaparannya. "Jadi begini, Mbak. Cedera pada mata, memang dapat saja mengakibatkan kebutaan, bergantung pada bagian mata mana yang mengalami suatu cedera dan seberapa berat cedera yang terjadi."
"Jadi cedera yang dialami oleh Adik saya ini termasuk cedera berat Dok?"
Dokter Fakhri tersenyum seraya mengangguk. "Akibat serpihan kaca mobil yang mengenai mata adik Mbak, membuatnya mengalami kebutaan ini. Serpihan kaca itu telah mengenai bagian mata yang paling vital yaitu kornea mata, retina, bahkan saraf mata adik Mbak juga terkena dampaknya, sehingga membuat tiga komponen penting itu rusak parah."
Lagi, seonggok daging bernyawa dalam tubuhku seperti ditikam oleh sebilah pisau tak kasat mata. Kembali mengalirkan darah luka yang mengaliri setiap aliran darah. Dan jangan lagi ditanya, air mata ini kembali lolos tanpa permisi. "Separah itukah Dok?"
Dokter Fakhri mengangguk. "Memang seperti itu keadaannya Mbak."
"Apakah tidak ada jalan bagi adik saya untuk bisa melihat kembali? Mungkin dengan terapi? Obat? Atau apa?"
Di sela kegetiran yang aku rasakan, aku masih mempertanyakan sebuah peluang agar Alamanda bisa melihat kembali. Namun lagi-lagi dokter Fakhri hanya menggelengkan kepalanya. "Obat yang akan saya resepkan hanya sebagai penghilang rasa sakit Mbak, dan mencegah infeksi dari mata adik Mbak yang cedera. Sedangkan untuk bisa melihat kembali, hanya akan terjadi jika adik Mbak mendapatkan pendonor mata."
Aku kembali terperangah. "A-apa? Donor mata?"
"Iya Mbak, adik Mbak baru akan bisa melihat kembali jika ada seseorang yang mendonorkan matanya!"
Ya Tuhan .... mengapa Engkau memberikan penderitaan ini kepada adikku? Gadis kecil yang sudah berupaya menyelamatkanku? Tukar keadaan adikku dengan nyawaku Tuhan... Tukar saja dengan nyawaku.
Tubuhku terasa semakin lemas dan lemah. Kepala tiba-tiba terasa begitu pening dan berat. Aku merotasikan kedua bola mataku untuk melihat ke sekeliling. Perlahan, mata ini sedikit pun tidak dapat menangkap sinyal cahaya terang dari sekitar. Gelap, gelap, dan semakin gelap. Tubuhku terhuyung dan entah apa yang selanjutnya aku alami.
🍁🍁🍁🍁🍁
Bicara dokter Fakhri jadi ingat dengan dokter Firman ya.. hihihihi masih adakah yang ingat dengan dokter Firman? ☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
😭😭😭😭 yang dialami Alamanda sama seperti yang dialami Mira saat kecelakaan ingin mencelakai si kembar Dhana dan Dhina😭😭 huhuhuhu malang sekali nasib mu Dik😭😭😭😭 diusia belia harus kehilangan penglihatan, permanent pula😭😭😭😭 Dahlia kalau tau pasti bakal makin benci sama Seroja nih😭😭😭🤧🤧🤧 nyesek nyut nyutan hati ini dibuat kak rasti 🤧😭🥺💔
2021-10-22
0
Ugieh Azha Sugiharti
Fakhri kembaran Fakhru?
2021-10-09
1
Elly Mei
Eh... kayaknya ketemu calon adik ipar duluan nih... Fakhri sodara kembar Fakhru yg mungkn jodoh nya Seroja ya Kak..
Dr Firman yg di Juna Widya apa yaa??? lupa
2021-10-07
1