Episode 14

“Kau mau kemana malam-malam begini?” Sungjae terus berjalan menuruni tangga. Menoleh ke arah sumber suara pun tidak. Seolah tidak ada suara yang sedang memanggilnya.

“Sungjae!” panggilan disertai bentakan itu menghentikan langkah Sungjae. Hanya berhenti, tanpa menoleh. “Ayah Tanya, kau mau kemana?!” masih dengan kalimat yang terdengar tegas dan penuh penekanan.

Sungjae menghembuskan nafas kasar, berbalik dan menatap seorang laki-laki paruh baya di belakangnya. “Untuk apa bertanya? Tidak penting juga kan?” Ucapnya sebelum kembali membalikkan tubuhnya.

Ayah Sungjae hanya diam. Tangannya mengepal melihat anak semata wayangnya yang mulai membangkang kepadanya. Sebenarnya sudah dari dulu Sungjae membangkang. Membolos sekolah dan tak memperdulikan omongan orang tua. Namun, baru sekarang orang tua itu menyadari seberapa berandalnya anaknya itu.

Diam-diam Ayah Sungjae bertanya pada penjaga juga ahjumma di rumahnya tentang kebiasaan Sungjae. Dan betapa terkejutnya ia kala tahu bahwa Sungjae jarang tidur dirumah. Pernah beberapa hari bahkan anak itu tidak pulang.

Menginap dirumah temannya, membolos sekolah, merokok. Ya~ Ayah Sungjae dikejutkan dengan bungkus rokok yang ada di dalam laci kamar anaknya. Ingin rasanya ia memukul wajah tampan sang anak. Tapi kembali lagi. Semua juga kesalahannya, bersama istrinya.

Dua orang tua yang hanya sibuk dengan pekerjaan. Mencari harta demi mengejar kemewahan dunia sampai lupa bahwa ada seorang anak yang harus mereka didik dan juga mereka jaga.

Seorang anak yang harus mereka tuntun jalannya. Meluruskan jalan ketika sang anak berbelok. Namun kembali pada kata pepatah. “Nasi telah menjadi bubur”.

Jika bisa berfikir lebih realistis lagi, bubur yang tak bisa kembali menjadi nasi jika ditambah ayam dan juga bumbu rasanya akan kembali enak. Namun, apakah bisa hubungan seorang anak dengan orang tua yang hampir tidak pernah hangat itu secara tiba-tiba menyatu dan menghangat?

Mungkin bisa.

Bisa jika keduanya sama-sama berintropeksi diri dan memulai kembali dari awal. Bagaimanapun mereka mempunyai ikatan yang jauh luar biasa kuat. Seorang anak dan orang tua. Lebih kuat dari semua hal yang terkuat di bumi ini. Harusnya bisa, semoga.

“Tuan muda malam ini mau menginap lagi?” Sungjae berhenti. Menatap pengawal yang sedari tadi membuntutinya. Pengawal itu diam menunduk. Tidak berani menatap mata tuan mudanya. “Tuan besar menyuruh saya mengikuti kemanapun anda pergi, Tuan.” Lanjutnya seolah mengerti tentang tatapan Sungjae padanya.

Sungjae menghembuskan nafas jengah. Terlalu lelah untuk berdebat, dan hanya memberi kunci mobil mewah nya itu pada pengawalnya. Melangkah masuk ke dalam mobil hitam dan bersandar sembari satu tangannya menopang dagu.

Mobil berjalan pelan. Keluar dari pekarangan rumah mewah yang tak pernah ada aura dari rasa kasih sayang.

Jalanan malam itu terbilang cukup ramai. Banyak orang berlalu lalang. Salju tak banyak turun malam ini. Tukang kebersihan sepertinya juga sudah membersihkan jalanan dari tumpukan salju, dilihat dari bersihnya jalanan malam itu.

Sesekali Sungjae menguap. Mengusap matanya yang terasa sedikit pedih. Jujur, ia mengantuk. Ingin tidur dan sedang tidak ingin kemana-mana. Mungkin ia akan melakukan itu jika ayahnya tak pulang.

Mata Sungjae sedikit membulat ketika melihat seorang gadis berambut panjang dengan sedikit ikal diujungnya itu berjalan seorang diri. Gadis itu sesekali tersenyum menyapa orang yang tak ia kenal. Mantel putih tebal, sepatu boots biru laut, celana panjang, syal yang dililit hampir menutupi setengah wajahnya. Sungjae sangat mengenali gadis itu.

“Berhenti depan.” Perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari sang gadis.

Mobil hitam mewah itu menepi. Sang pengawal hanya menatap tuan mudanya dari spion yang menggantung di depannya. Senyum mengembang di bibir Sungjae. Bahkan, si Pengawal sampai terheran dengan apa yang baru saja ia lihat. Tuan mudanya itu jarang sekali tersenyum. Ia hanya tersenyum dan tertawa ketika berhasil mengerjai seseorang. Namun kali ini, senyum itu terlihat berbeda.

Senyum tampan yang sangat menawan.

“Tuan ingin turun?” senyum Sungjae memudar seiring dengan suara yang menginterupsi pendengarannya. Ia berdehem menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menghinggapi perasaannya.

“Tunggu disini.” Perintahnya dengan nada datar.

Kaki jenjang itu turun dari mobil. Berdiam sebentar dan kembali menatap pada gadis yang baru saja berjalan melaluinya. Di ketuknya kaca mobil dengan sedikit kasar. “Tunggu aku disini. Jika lama, kembalilah terlebih dahulu. Bilang pada Ayah aku menginap di rumah Daniel.” Ucapnya lalu menjauh dari mobil tanpa menunggu jawaban dari pengawalnya.

Kedua tangan dingin itu ia masukkan pada saku mantel. Sedikit berjengkit kala angin dingin menerpa wajahnya.

Tatapannya menajam saat ia melihat gadis itu masuk pada sebuah gang kecil dengan penerangan yang sangat minim. Dengan hati-hati Sungjae melangkah mengikuti.

Gadis itu berjalan tanpa menoleh ke belakang. Menggenggam setangkai bunga lily putih. Berjalan dan sesekali bersenandung kecil.

“Kemana dia malam-malam begini?” Tanya nya pada diri sendiri. “Kalau ada orang jahat bagaimana?” Ayolah, bahkan kau sering menjahatinya.

Hana, gadis itu semakin memantapkan langkahnya. Tak menghiraukan udara malam yang dingin. baginya, malam ataupun siang sama saja. Tak membuatnya takut untuk datang mengunjungi ibunya.

Langkah Hana terhenti di depan nisan yang bertuliskan Jung Eunbi. Gadis itu berjongkok di depan nisan. Mengelap nisan yang sedikit tertutup salju. Meletakkan setangkai lily putih tepat di atas nisan.

“Hai bunda. Bunda lagi apa?” Hana tersenyum. “Bunda tahu nggak? Tadi aku habis makan malam sama ayah. Tapi ayah harus pergi karena ada urusan. Terus aku kesini saja.” Cengiran imut ia berikan.

Hana benar-benar tak menyadari sekitar. Entah terlalu cuek, atau memang indranya tak begitu peka. Dibelakangnya, berdiri satu sosok laki-laki yang sedari tadi menatapnya dengan raut muka yang tak biasa.

Gadis itu terlalu sibuk bercerita dengan bundanya. Hari-hari yang ia lalui, pun juga dengan dirinya yang masih di bully. Hampir saja ia menangis. Menceritakan bagaimana kejamnya Jisoo yang membuang semua peralatan sekolahnya. Melumuri tas sekolahnya dengan saos, lalu merobek baju olahraganya yang harusnya ia pakai.

“Bunda, aku salah apa sih bun? Kenapa semua orang membenciku?” suara lelah itu akhirnya keluar. Hana mengerjap cepat. Menengadah ke atas menatap langit yang gelap. “Nggak. Hana nggak boleh nangis. Hana nggak boleh cengeng. Hana harus kuat. Iya kan bun?” Tanya nya lagi.

Hana bukan orang gila. Ia tahu bahwa pertanyaan yang ia lontarkan hanya di jawab oleh hembusan angin. Tapi entah perasaan seperti apa, ia selalu lega kala bercerita di depan makam bundanya. Seolah bundanya berada di sampingnya. Mengelus lembut kepalanya dan memberikan kata-kata yang menenangkan untukknya.

Angin berhembus tanpa permisi. Menerbangkan beberapa helai rambut Hana yang terurai. Gadis itu sedikit bergidik kala merasakan sentuhan dingin dari angin malam. Tubuhnya tiba-tiba menegang, menyadari ada sesuatu yang menarik syalnya.

Reflek berdiri dan menoleh ke arah belakang. Mata bulatnya semakin bulat menyadari seseorang yang tengah sibuk membenarkan syalnya. Tangannya bergetar. Tubuhnya lemas. Ingin pingsan saja rasanya.

Dengan segala kewarasan yang masih tersisa, ia mundur. Menabrak pinggiran makam ibunya. Hampir saja terjatuh jika Sungjae tak segera menangkap tubuh mungilnya.

“Nggak takut ke pemakaman malam-malam? Kalau ada setan bagaimana?” Hana terdiam. Menarik tubuhnya dan menegakkan nya kembali. Mengatur deru nafas yang rasanya sangat sesak.

“Mau pulang?” Hana masih terdiam. Dari seribu jenis setan yang ada di pemakaman ini, baginya Sungjae lah yang paling menakutkan. Jika memang benar ada setan, mungkin mereka hanya akan menakut-nakuti. Tapi berbeda jika itu adalah manusia. Simpelnya, setan tak akan bisa membunuh. Tapi manusia bisa.

Hana mundur satu langkah. Melirik pelan makam ibunya. “Aku mau pulang. Permisi.” Buru-buru gadis itu melangkah meninggalkan Sungjae. Tapi terlambat kala tangan Sungjae dengan cepat menangkap lengan Hana.

Hana ingin menangis. Berteriak dan berlari ke rumah Nenek Chan. Udara dingin yang sedari tadi menemaninya seperti menguap begitu saja. Keringat mulai bermuculan di dahinya. Nafas yang semakin tak teratur kala tubuh Sungjae mendekat. “Ku mohon, jangan lagi.” Batinnya sembari memejamkan matanya.

“Aku antar pulang.” Mata indah Hana melotot. Lengan kurusnya masih berada di genggaman Sungjae. Kali ini, ia berusaha menatap mata laki-laki yang selalu membully nya itu.

“T-tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.” Tolaknya sedikit ragu.

“Tidak baik gadis pulang sendirian malam-malam. Biar aku antar.” Ekspresi yang sangat datar. Lebih datar dari ekspresi Yoongi.

“Tapi…” belum juga gadis itu menyelesaikan ucapannya, lengannya ditarik begitu saja. Hampir saja Hana tersandung dan terjatuh kalau ia tak bisa menyeimbangan tubuhnya.

Mereka berjalan dalam diam. Tak ada percakapan sama sekali dari keduanya. Lengan yang sedari di pemakaman tadi di genggam Sungjae telah terlepas. Itupun Hana yang meminta. Jika tidak, mungkin tidak akan di lepaskan.

Sesekali Hana melirik. Melihat raut muka Sungjae yang sama sekali tak bisa ia baca. Untuk apa laki-laki pembully itu mengantarnya pulang? Bagaimana bisa ia di pemakaman? Dan apa sebenarnya niat nya?

Banyak pertanyaan yang muncul. Pertanyaan yang selamanya akan menjadi pertanyaan jika Hana tak menanyakan langsung pada dia, laki-laki yang kini berjalan di sampingnya.

Hana hanya berharap, semoga Sungjae tak ada niat buruk lagi padanya. Dan semoga, Sungjae tak mendengarkan curhatannya di pemakaman tadi.

Semoga saja…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!