Episode 18

Jalanan nampak sepi. Beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan setengah ban mobilnya hampir tertutup salju. Petugas kebersihan telah melakukan pekerjaannya semalam. Namun siapa sangka, pagi ini salju turun lebih banyak.

Udara yang semula sedikit menghangat berubah menjadi dua kali lipat lebih dingin. Membuat semua orang enggan untuk melakukan aktifitas diluar. Padalah hari itu adalah hari selasa. Sudah seharusnya banyak pekerja juga anak sekolah yang lalu lalang di jalan.

Seorang gadis yang duduk di belakang samping pengemudi menghembuskan nafasnya perlahan. Kepulan asap yang keluar dari hidung serta bibir mungilnya menjadi pertanda bahwa pagi itu udara memang sedang tak bersahabat.

Kedua telapak tangan yang berbalut sarung tangan berwarna biru laut saling beradu menggenggam dan meremat. Kedua kaki bergerak gelisah. Gigi terdengar bergemelutuk. Sesekali ia menghembuskan nafas yang lebih panjang dan dalam.

Mobil bergerak perlahan. Menepi pada sebuh bangunan sekolah mewah. Banyak siswa yang berjalan saling beriringan. Sama-sama mengenakan seragam musim dingin, juga mantel dan syal untuk lebih menghangatkan tubuhnya.

“Anak ayah tidak turun?” Hana menoleh pada suara berat milik sang ayah. Menatap lama mata sang ayah, kemudian mengulurkan tangannya pada pegangan pembuka pintu mobil.

Detak jantung yang semakin berdebar. Tangan yang mulai basah karena berkeringat. Kegiatannya terhenti saat kedua tangan sang ayah memeluknya erat. “Semua akan baik-baik saja nak. Tidak usah takut.” Tersenyum manis seolah menyalurkan kekuatan untuk sang anak tercinta.

Mata Hana berkaca. Jujur ia takut. Sangat takut. Memasuki salah satu tempat terseram sendirian selama ia hidup. Boleh kah ia pindah sekolah? Tetapi kembali lagi, naluri mengatakan untuknya jangan merepotkan sang ayah.

Hana membalas senyum sang ayah. Mendekatkan wajahnya sebelum mencium pipi sang ayah.

Dalam hati, Hoseok sangat menghawatirkan anaknya. Tidak ada kata baik-baik saja semenjak ia tahu bahwa anak tersayang nya di bully. Sepeninggal Hana, memori akan perbincangan dirinya dengan Namjoon Ssaem kembali berputar.

Namjoon Ssaem menjelaskan dengan rinci tentang Hana yang sering di ganggu di sekolah. Selalu sendirian, dan tidak mempunyai teman. Anaknya yang ia kenal periang, ternyata menyimpan ribuan duri dalam dekapannya.

Hoseok menyenderkan kepalanya pada senderan bangku mobil. Memejamkan matanya dan mengehembuskan nafasnya pelan. Pikiran dan hatinya berperang. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya. Rasa bersalah akan dirinya yang merasa tidak becus menjadi seorang ayah untuk satu anak selalu hinggap di fikirannya. Apa benar, ia gagal menjadi seorang ayah?

Dilihatnya kembali anaknya yang mulai hilang dari pandangannya. Anak gadis yang tumbuh dengan sangat cantik. Teringat janji yang selalu ia katakan pada mendiang sang istri. Kini, masih bisakah ia menarik Hana keluar dari masa kelam remajanya?

Sakit mental yang tak bisa dianggap remeh. Sakit hati karena terus mendapat ejekan dari teman sebaya. Meski senyum masih bisa terukir jelas di bibir, namun tak ada yang tahu ribuan duri bersarang dan merobek hatinya.

Luka yang semakin lama semakin menganga lebar. Melawan pun seakan tak bisa. Karena jika dipaksa, hanya akan membuat luka itu semakin lebar. Jalan satu-satunya adalah pergi. Meninggalkan luka yang sudah menjadi teman setianya.

Hana berjalan seorang diri di koridor sekolah. Semenjak ia turun dari mobil, seluruh pasang mata telah menatapnya minat. Entah apa yang mereka rencanakan, hanya saja hati dan fikirannya seolah sepakat menyuruhnya untuk berhati-hati.

Setelah kejadian Umji jatuh dari lantai dua dan sampai sekarang masih belum sadarkan diri, belum ada keputusan dari sekolah untuk menghukum Hana. Meski semua orang menudingnya sebagai tersangka, namun beberapa orang di antara mereka masih mencari bukti kebenarannya.

Ini termasuk tindakan kriminal. Seseorang yang baik namun penuh dengan rasa sakit hati, bisa saja melakukan hal di luar akal sehatnya. Beberapa siswa berpendapat demikian. Sampai mereka melupakan sebuah kenyataan, bahwa ada beberapa iblis yang bisa menyamar menjadi manusia hingga menyebabkan kekacauan.

Yoongi sebagai anak pemilik sekolahan pun tak tinggal diam. Ia terus mencari bukti agar sang pujaan hati tak lagi di anggap menjadi tersangka atas kasus kriminal pelajar. Berbagai cara sudah ia coba. Namun sialnya, cctv sekolah yang mengarah pada gedung lantai dua itu mengalami kerusakan. Entah di sengaja atau memang sudah rusak. Cctv itu tak berfungsi saat kejadian berlangsung.

Seokjin pun sama halnya dengan Yoongi. Meski ia tak mengenal Hana secara baik, namun ia yakin bahwa ada seseorang yang dengan sengaja menjebak Hana untuk menghilangkan bukti. Kali ini bisa dibilang Seokjin lebih cerdas dari Yoongi.

Yoongi terus mengamuk dan menuntut para detektif untuk melacak serta mencari tersangka sesungguhnya. Sedangkan Seokjin memilih mengerahkan tenaga kakak nya untuk mengambil sidik jari yang tertinggal di sekitar lokasi kejadian.

Seokjin tahu bahwa hal ini lumayan memakan waktu. Banyak sidik jari tertumpuk di sekitar lokasi karena banyaknya siswa yang ingin melihat juga menonton sang korban. Namun hal itu akan menjadi salah satu titik mencari siapa tersangka sesungguhnya.

Hana berhenti pada pintu bercat coklat. Semua siswa yang ada di ruang kelas menatap Hana. Beberapa diantara mereka memilih menyingkir. Saat kaki Hana melangkah masuk ke ruang kelas, bisikan-bisikan mulai terdengar tak mengenakan.

Hana menunduk. Menyembunyikan rasa takutnya pada helaian rambut yang sedikit menutupi mukanya. Ia duduk di bangkunya seorang diri. Tak ada Jimin. Laki-laki itu entah pergi kemana. Padahal bisanya ia selalu menyambut Hana di depan ruang kelas.

“Jangan dekat-dekat sama anak pembawa sial, nanti kalian di bunuh.” Hana menahan nafasnya.

“Bukankah dia memang pembunuh?” Hana menghembuskan nafasnya pelan.

“Muka manisnya benar-benar tak berguna.” Hana meremat ujung mantelnya.

“Manis dari mananya?” Seorang siswa berjalan mendekat ke arah Hana. Kaki Hana gemetar. Kali ini apa lagi yang akan mereka lakukan?

Siswa itu dengan sengaja menjambak rambut Hana. Membuat hana mendongak pada atap kelas. Matanya memejam menahan sakit akibat jambakan dari teman sekelasnya.

“Kau bilang mukanya manis? Coba lihat. Muka-muka psikopat begini darimana manisnya?” setelahnya, siswa itu melepaskan jambakan dengan menghentak kepala Hana.

Hana terhuyung dan hampir terjatuh. Dengan sikap biasa saja, ia kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa.

Salah satu siswi lainnya datang menhampiri Hana. Duduk diam di depan Hana, sembari kedua tangan ia tumpu menjadi satu. “Hei, anak pembawa sial. Ini ada bingkisan buat kamu.”

Hana menatap siswi itu dan kado bergantian. Ada satu kotak berbungkus kertas pink dengan hiasan pita warna warni sebagai pemanis. Ukuran kotak itu terbilang cukup sedang. Siswa itu menyodorkan dan meletakkan kotak itu tepat di depan Hana.

“Buka. Hargai pemberian orang.” Hana menunduk. Tak ada gerakan bahwa ia akan membuka kotak itu.

“Cepat buka!” bentakan dari siswa lain membuat Hana berjengkit kaget.

“Hei, apa-apaan kalian?!” Suara berat dan menggelegar itu datang dari pintu. Semua siswa menoleh, kecuali Hana yang semakin menciut nyalinya.

“Kenapa berkumpul disini? Kembali ke bangku masing-masing.” Bagaikan sihir, semua siswa langsung berhamburan ke bangku masing-masing. Tersisa Sungjae yang masih berdiri dan menatap Hana yang menunduk.

“Apa itu?” Tanya Sungjae yang tak di jawab oleh Hana.

“Kado dari orang.” Jawab salah seorang siswi yang tadi menyodorkan kado pada Hana.

Tangan Sungjae bergerak mengambil bingkisan. Namun di tahan oleh Jisoo yang baru saja sampai di kelas. “Itu punya si pembunuh. Biar dia yang buka. Kamu nggak punya hak.” Sungjae menatap tajam ke arah Jisoo. Seolah bertanya, apa itu kado dari Jisoo?

Hana mendongak. Menatap ke arah Sungjae yang ternyata juga menatapnya. Tangannya gemetar meraih kado di depannya. Membuka pita pelan-pelan. Semakin bergetar kala pita itu terlepas dengan mudah.

Kado terbuka. Hana sontak menjerit kaget. Bahkan ia reflek berdiri dan mundur, membuat kursi yang semula ia duduki tergeletak mengenaskan di lantai.

Mata Sungjae membola. Begitu pula Jisoo yang langsung bersembunyi pada punggung Sungjae. Seluruh siswa berdiri dan berteriak melihat isi dalam bungkusan.

Badan Hana bergetar hebat. Air mata otomatis turun. Mata Jisoo bergerak mengamati Hana dan juga isi kado bergantian. Sebelum tangannya reflek menggenggam tangan Hana dan membawanya keluar.

“Jisoo!!” Sungjae berteriak lantang. Beberapa siswa memilih bungkam sembari menutup mulutnya.

Sungjae berlari keluar menyusul Jisoo dan Hana. Semua siswa bergidik ngeri pada isi kado. Sebuah tikus besar yang mati dengan tubuh yang telah di cincang serta kepala yang mendongak ke atas menjadi kado Hana di pagi yang dingin ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!