“Kau tak pulang?” Ucap Daniel yang hanya dilirik malas oleh Sungjae.
“Pulanglah. Mau sampai kapan disini terus?” Sungjae meletakkan gitar yang sedari tadi dimainkannya. “Buat apa pulang.” Ucapnya lirih tanpa menatap Daniel.
“Kau sudah besar. Pulanglah. Bicara baik-baik sama orang tuamu.”
Sungjae menghembuskan nafasnya. Menatap kedepan dengan tatapan kosong. Setelah itu, ia berdiri mengambil jaket dan kunci mobilnya.
“Aku pulang.” Melangkahkan kakinya, meninggalkan Daniel yang menatapnya dengan tatapan iba.
Sebelum Sungjae melangkahkan kakinya menuju pintu utama, tangan Daniel menarik lengan Sungjae. “Bicaralah pelan-pelan. Mereka akan paham.”
Tak ada jawaban dari Sungjae. Laki-laki itu melanjutkan langkahnya. Dalam hati, ia terus bertanya. Hal apa yang akan ia temui saat nanti sampai di rumah.
Sudah dua hari Sungjae menginap di rumah Daniel. Daniel pun tentu tak mempermasalahkan sama sekali. Sudah sering ia membagi rumah nya untuk anak tunggal yang sangat keras kepala itu.
Bukan bermaksud kabur. Sungjae memang sudah muak tinggal di rumahnya. Baginya, tidak ada yang menyenangkan sama sekali. Setiap pulang sekolah, yang ia temui hanya kesepian, kesunyian dan kesendirian. Tidak ada yang menyambutnya, kecuali para pelayan yang bekerja di rumahnya. Sungjae yakin, jika mereka tidak di bayar, mereka tidak akan menyambut kedatangan Sungjae.
Kedua orang tua Sungjae sangat sibuk. Hampir tidak pernah pulang kerumah. Saat pulang pun, mereka akan pulang larut malam dan berangkat bekerja kembali pagi-pagi buta.
Tidak pernah ada sapa diantara Sungjae dan orang tuanya. Sungjae pun juga tidak pernah menyapa orang tuanya. Bagi kedua orang tuanya, asal mereka bisa menuruti semua keinginan anaknya, tidak akan menjadi hal yang buruk.
Mobil mewah, jalan-jalan, apartemen, apapun yang Sungjae minta akan selalu dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Padahal, yang sebenarnya Sungjae inginkan adalah kehangatan dari sebuah keluarga.
Mobil Sungjae memasuki gerbang rumah mewah nya. Bebarapa pelayan datang dan menyambut kedatangan tuan muda satu-satunya itu.
“Tuan muda, tuan dan nyonya besar ada di dalam rumah.” Lapor salah satu pelayan.
Sungjae menautkan alisnya. Menatap heran pada salah satu pelayan yang baru saja memberitahunya. Ini baru jam 7 malam. Waktu yang masih bisa di bilang sore untuk kepulangan orang tuanya. Biasanya orang tua Sungjae akan pulang pukul sebelas atau dua belas malam. Lalu berangkat lagi pukul empat pagi.
Sungjae kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Semakin ke dalam lalu menaiki tangga rumahnya yang menghubungkan ke lantai dua.
Saat kaki Sungjae mengarah ke kamarnya, sayup-sayup ia mendengar jeritan dan makian dari dalam kamar kedua orang tuanya.
Sungjae mendekat mengarah pintu. Membuka sedikit pintu yang tidak terkunci itu. Matanya memanas kala menatap pemandangan pertama yang sangat tidak pantas ia lihat. Ayah Sungjae memukul ibunya.
Mata sungjae melotot. Tangannya mengepal. Urat-urat di sekitar lengan dan lehernya menyembul keluar. Matanya semakin panas, kala tamparan itu di balas pukulan dari sang ibu.
“Sudah ku bilang! Aku tidak pernah mencintaimu! Jadi biarkan saja aku pergi bersamanya!!”
Makinya pada suami yang ada di depannya.
Ayah Sungjae tertawa remeh. “Terserah kau mau pergi kemana! Tapi untuk lusa, datanglah ke kantor ku! Aku ada pertemuan dengan klien penting. Dan kau harus ikut!!” balasnya sembari menunjuk wajah ibu Sungjae.
“Hah!! Tidak akan aku ikut denganmu! Ajak saja sekretaris jalangmu untuk ikut bersamamu!”
“Dia bukan ******!!”
Plaakkk
Satu tamparan lagi tepat mendarat di pipi mulus Ibu Sungjae. Membuat sang ibu jatuh tersungkur.
Saat ia jatuh, matanya tak sengaja menatap ke arah pintu. Ia melihat, anaknya yang sedang berdiri menghadap keduanya.
“S-sungjae..” Ucapnya pelan.
Ayah Sungjae berbalik. Dan respon yang diberikan pun hampir sama. Menatap kaget pada anaknya yang berdiri di ambang pintu.
Ibu Sungjae berdiri. Tersenyum kaku sambil berjalan mengarah ke anaknya. Belum juga langkah itu sampai, Sungjae mengangkat satu tangannya. Mengisyaratkan agar sang ibu jangan lagi berjalan mendekat ke arahnya.
“Jangan mendekat.” Ucapnya dingin tanpa ekspresi. “Jangan tinggal serumah bila kalian hanya bertengkar.”
Dingin dan tanpa ekspresi. Membuat kedua orang dewasa itu menatap tak percaya dengan perkataan anaknya. Anak yang selalu mereka anggap manis, dulu. Anak yang bahkan jarang sekali mereka temui. Tanpa sadar berubah menjadi seorang anak nakal yang bahkan tanpa segan melontarkan kata-kata kasar untuk siapapun juga sering berbuat onar sesukanya.
Sungjae melangkah menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Mengambil kunci mobil asal dan kembali pergi keluar dari rumahnya. Hatinya hancur. Air mata bahkan terus berlomba ingin keluar meskipun masih ia tahan.
Tidak ada anak yang baik-baik saja saat melihat kedua orang tuanya bertengkar di hadapannya. Begitupun Sungjae. Pikirannya kalut. Bahkan hampir tidak bisa berfikir.
Ia tahu betul bahwa ayah dan ibunya menikah tanpa adanya rasa suka. Mereka dijodohkan, dengan dalil melanjutkan dan mengembangkan perusahaan keluarga. Lagi lagi strata dan harta menjadi dasar bagi pernikahan seseorang.
Sungjae membenci itu. Membenci saat dirinya terlahir tanpa adanya dasar cinta yang tulus. Tanpa adanya keinginan kuat untuk nya bisa terlahir. Harta tidak akan membuatnya bisa bahagia. Ia hanya ingin keluarganya utuh. Utuh dalam artian saling berbagi kehangatan satu sama lain. Tertawa dan bercanda bersama.
Jika boleh memilih, Sungjae lebih memilih tidak memiliki apapun asal mempunyai keluarga yang hangat dan harmonis. Daripada ia memiliki seluruh isi dunia, tapi sama sekali tidak memiliki kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Mobil hitam mewah dengan stiker di belakang bertuliskan “SJ” itu melaju sangat cepat membelah malam. Sungjae bahkan sudah tidak peduli jika ia akan ditilang oleh polisi. Atau lebih parahnya di tabrak dengan mobil lain dan nyawanya langsung hilang saat itu juga. Ia benar-benar tidak peduli.
Sakit hati atas ucapan dan kelakuan kedua orang tuanya benar-benar membunuh titik jernih hati dan fikirannya. Tidak ada cinta di hati Sungjae. Tidak ada pula binar cahaya di matanya. Semua tertutup akan tidak pernah adanya cinta dan kasih dari kedua orang tuanya. Dirinya tidak pernah di ajarkan bagaimana rasanya mencintai. Dan tidak pernah merasakan rasanya dicintai. Ia bahkan membenci apa itu arti cinta, keluarga dan keharmonisan.
Emosi yang mengambil alih kesadaran Sungjae benar-benar sudah menggebu. Sampai ia tak menyadari suara klakson mobil yang saling bersahutan. Mengingatkan Sungjae akan bahaya yang saat ini sedang melintas di depannya. Seorang nenek tua yang berjalan dengan menuntun seorang anak kecil, melintas tepat di hadapan Sungjae.
Sungjae terlonjak kaget. Membanting stir ke sembarang arah sebelum mobil itu menabrak pembatas jalan. Matanya memejam beberapa saat, sebelum ia menengok ke belakang dan beruntungnya nenek dan anak itu selamat.
Ia keluar dengan darah yang mengalir di kepalanya. Udara dingin malam itu terasa jauh lebih dingin. Ia berjalan menghampiri nenek yang sedang memangku dan menepuk pelan punggung anak kecil yang menangis hebat dipelukannya. Orang-orang bahkan berteriak dan memaki Sungjae atas kecerobohannya. Sementara Sungjae hanya menunduk dan meminta maaf. Berjanji akan mengganti rugi kepada nenek dan sang cucu yang masih syok.
“Sudah, nenek tidak apa-apa. Kamu obati saja lukamu. Jangan khawatirkan nenek.” Ucap nenek itu lalu berdiri meninggalkan Sungjae.
Sungjae masih berdiri melihat nenek yang pergi dengan menggendong cucunya. Rasa bersalah kian membuncah di hatinya. Ia menyadari atas semua kelakuannya. Jika saja ia tidak segera sadar, apa yang akan terjadi dengan nenek dan cucunya itu?
Kepala Sungjae tiba-tiba pening. Penglihatannya sedikit buram. Matanya menatap kepada kerumunan orang yang mulai pergi meninggalkannya. Juga, mobil mewahnya yang ringsek di pinggir jalan.
Satu yang ia sadari. Saat ini ia berada di pinggir Sungai Han. Kakinya melangkah dengan sedikit tertatih. Mencoba menyeimbangkan tubuhnya agar ia tidak terjatuh. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, sampai akhirnya ia melihat siluet seorang gadis manis yang tengah sibuk membuat rumah untuk kucing kecil dari tumpukan kardus. Menyelimuti bahkan memberi makan pada kucing itu.
Sungjae mengucek matanya yang semakin memburam. Melangkah sedikit mendekat sampai akhirnya ia mengenali gadis itu.
“Jung Hana?” panggilnya pelan sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya. Sungjae pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments