7-1

"Ini untukmu," Luna menyerahkan secangkir coklat panas kepada Kirana. Sudah empat jam ia dan Kirana berkutat dengan tugas kelompok kampusnya. Perlahan namun pasti, hawa musim semi mulai tercium di indera Luna. Ia memandang hamparan pohon sakura yang berdiri kokoh di taman depan apartemen tempat tinggalnya. Tampak puncuk warna pink menghias setiap ujungnya dan hanya membutuhkan waktu yang tepat untuk merekah sempurna menyambut musim semi yang hangat.

"Thanks Lun," Kirana tersenyum menerima cangkir dari Luna dan segera menyeruput coklat panas tersebut. "Kalau nggak ada dirimu mungkin aku akan menjadi kacang garing di apartemen kakakku sendirian. Manusia sok sibuk itu sedang dalam perjalanan bisnis ke Eropa sekaligus bertemu Papa dan Mama. Curang, aku juga ingin bertemu dengan mereka,” Ia menggembungkan pipinya sambil memeluk bantal besar di hadapannya. "Aku kan juga kangen, dulu sewaktu di Indonesia kedua orang tuaku selalu menyempatkan diri untuk menghampiriku dan mengajakku berlibur ke London dan sekitarnya. Tapi sejak kuliah ini aku merasa kesibukankulah yang membuatku belum dapat mengunjungi mereka."

"Kita berdua benar-benar menyedihkan ya?" Luna berkata tanpa menatap Kirana. Ia tak menggubris ucapan Kirana sebelumnya. Tatapannya menerawang keluar jendela dengan dagu yang tertopang oleh tangan kirinya. "Kau amnesia dan aku trauma," Sejak malam itu Luna tak pernah menerima pesan-pesan singkat dari gulungan kertas berisi perhatian-perhatian kecil dari Daichi. Lelaki itu pun mulai mengurangi kujungannya ke cafe. Seharusnya ia merasa lega atas semua itu. Namun mengapa ia justru merasa kehilangan sekarang? Apakah sebenarnya ia..., ah, sudahlah, mungkin hanya perasaan sesaatnya saja.

"Apa maksudmu Lun? Apakah kau mengetahui masa laluku yang masih terlupakan?"

Luna tersenyum dan menggeleng. "Tidak ada hal yang begitu penting untuk kau ingat Kirana, aku malah senang kau lupa akan hal itu. Justru aku merasa bersalah padamu karena permasalahanku dengan Papa membuatku jadi egois dan meninggalkanmu yang sedang terbaring sakit parah di rumah sakit untuk melanjutkan kuliah di sini. Syukurlah Yang Maha Kuasa masih sayang kepada kita berdua dengan mempertemukan kita kembali sehingga persahabatan ini tidak putus."

"Apakah Papamu masih dingin padamu?"

Pertanyaan Kirana yang meluncur lancar membuat Luna membelalakan mata menatap wajah polos Kirana. Mengapa pertanyaan itu harus keluar dari mulut Kirana? Bak menaburkan garam di atas luka hatinya yang sampai sekarang masih belum kering. Padahal sudah hampir dua tahun ia meninggalkan rumahnya.

"Entahlah," Luna menghela napas panjang sehingga menimbulkan uap dari hidungnya. "Bi Ani selalu meneleponku dan mengatakan bahwa Papa sudah berubah dan merindukanku serta berharap liburan musim semi ini aku kembali ke Indonesia. Jika memang beliau sudah berubah mengapa beliau tidak langsung meneleponku? Mengapa hanya Bi Ani?" Buliran air mata menggenang dikedua sudut mata Luna. Shit! Mengapa ia selalu saja tak dapat menutupi perasaan yang dialaminya kepada sahabatnya Kirana jika berkaitan dengan keluarganya? "Jika memang beliau tidak mencintaiku mengapa beliau memilikiku sebagai anaknya Kirana?" Bibirnya bergetar ketika mengucapkan kata-kata yang selalu berhasil menyakitinya. "Bahkan aku telah berhasil membuat lelaki playboy yang selama ini berusaha menaklukkanku malah berbalik ia yang takluk padaku sekaligus patah hati bersamaan."

Kirana segera beranjak dari tempat duduknya dan segera menghambur memeluk sahabatnya. Entah mengapa setiap kali melihat sahabat karibnya ini bersedih ia selalu merasa memiliki ikatan batin tak kasat mata seperti dapat merasakan kesakitan yang sama.

"Hatiku sakit Na, setiap kali mengingat sikap Papa yang selalu ramah kepada semua orang sementara begitu dingin padaku dan Mama. Bahkan aku dengar dengan telingaku sendiri bahwa selama ini Papa mencintai wanita lain dan tak dapat menggapainya sehingga beliau melampiaskannya kepada Mama,” Tangis Luna semakin pecah di pelukan Kirana. "Kini aku sadar bahwa selama ini penyakit yang diderita Mama bukanlah kelainan Jantung melainkan psikis beliau sehingga membuat jantungnya semakin melemah dan akhirnya meninggalkanku dengan pria tak berperasaan itu. Bagaimana bisa aku jatuh cinta jika aku sendiri tak percaya bahwa cinta itu ada?"

Kirana terdiam sambil terus mengelus pundak Luna untuk menenangkan emosi Luna.

"Jujur Na, aku iri padamu yang memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia. Saling menyayangi dan penuh cinta. Apakah aku bisa merasakan hal sepertimu dan bahagia juga?"

"Pasti bisa!" Kirana berusaha membesarkan hati Luna. "Aku doakan kau mendapatkan pangeran tampan yang hanya mencintaimu seorang dan akan berbahagia selamanya!" Ujarnya mantap sambil menggenggam erat kedua pergelangan tangan Luna.

Luna tertawa disela tangisnya. "Aku tidak butuh pangeran Kirana, kau terlalu kebanyakan baca novel punya Mamamu."

"Ishhh, nggak juga kali," Kirana memukul kepala Luna tidak terima sambil berkacak pinggang dan memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. "Pokoknya jangan bersedih lagi okay!"

"Iya," Luna tersenyum dan mengusap air matanya. Jika memang Daichi sungguh-sungguh kepadanya, maka ia tidak akan menyerah dengan kata-kata Luna. Jika ia menyerah maka lelaki itu tak berhak untuk memilikinya. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar tuan muda yang arogan itu? Dia masih cari masalah denganmu?"

"Syukurlah akhir-akhir ini hidupku lebih tenang, keputusanku untuk keluar dari klub basket sudah benar. Yah, walaupun sebenarnya sedih juga sih karena bagaimanapun bola bundar oranye itu selalu menemaniku sejak kecil. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada makan hati!" Kirana mengangkat bahu dan tersenyum sumringlah sambil bertopang dagu. "Rasanya damaaaaaiiii bangettt, setiap kali ia mendekat aku berhasil menghindar." Ia merebahkan tubuhnya di karpet dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak ada gunanya ia menangisi ciuman paksa Akio padanya beberapa minggu yang lalu. Life must go on. itu prinsipnya.

"Apa kau tidak merasa segala sesuatu yang terlihat begitu damai bisa berubah lebih mengerikan dari sebelumnya?" Entah mengapa Luna merasakan firasat yang tidak enak terhadap kalimat terakhir yang diucapkan Kirana. Tatapan tajam Akio Fujiwara kepada Kirana penuh dengan arti. Antara kesal, benci, hasrat mendamba menjadi satu. Semoga ini hanya perasaan kekhawatiran berlebihannya kepada Kirana.

"Apa maksudmu?" Kirana mengernyitkan dahi.

BRAK!

Pintu apartemen Luna dibuka secara paksa membuat Luna dan Kirana terkejut menatap siapakah gerangan yang berani membuka pintu secara paksa.

"Akhirnya aku menemukan kalian!" Teriak Park Ha Neul penuh semangat.

"Ampun, aku terpaksa panggil tukang pintu nih akibat ulah Nona Besar yang satu ini," Luna bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Park Ha Neul. "Ada apa sore-sore begini kau datang ketempatku? Biasanya kau selalu bersama tunangan yang sama seenaknya denganmu itu?"

"Hari ini aku ingin merayakan keberhasilanku menjadi model nomor satu di Jepang!" Ujar Park Ha Neul bersemangat. "Jadi aku akan mengajak kalian party di Klub paling terkenal di Jepang!"

"Kau tidak salah mengajak orang?" Kirana menghela napas dan melipat tangannya serta meletakkan di dadanya. "Kami berdua itu beda dunia denganmu Nona Besar."

"Pokoknya kalian harus ikut dan tidak ada penolakan! Aku ingin merayakannya tak hanya sesama teman-teman modelku juga bersama kalian," Park Ha Neul tersenyum angkuh dan berkacak pinggang. Ia menjentikan jarinya dan tak lama kemudian para bodyguard wanitanya datang menghampiri dengan membawa beberapa plastik belanjaan berisi pakaian lengkap dengan sepatu high heels-nya. Luna dan Kirana pun saling menatap bingung dan mengangkat bahu.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!