3-2

Terdengar suara hujan yang turun deras di sebuah area pemakaman berpadu dengan suara tangisan yang pecah dari seorang gadis berambut pendek sebahu. Seolah tidak memperdulikan sekelilingnya, ia terus menangisi gundukan tanah merah yang bertabur bunga bertuliskan nama seorang wanita, Astrid Medina.

"Mama," Tangisan gadis itu tak juga berhenti meskipun hujan turun semakin deras sehingga membuat satu per satu pelayat izin pulang dan meninggalkan gadis itu bersama seorang wanita paruh baya.

"Sudahlah Non, jangan menangis lagi," Wanita paruh baya itu mengelus pundak rapuh majikan mudanya. "Bu Astrid akan sedih di alam sana melihat kondisi anak yang dikasihinya dan dilahirkan dengan bertaruh nyawa ke dunia ini hancur seperti ini. Non kan masih ada Pak Daniel."

"Jangan pernah Bibi menyebutkan nama itu lagi di hadapanku!" Suara bentakan sang gadis membuat wanita paruh baya itu terdiam namun tak tampak darinya merasa sakit hati. Ia justru memaklumi mengapa gadis itu bersikap kasar. "Aku muak dengan semua sikapnya! Kerja! Kerja dan hanya kerja yang ia lakukan! Tak sekalipun ia memperhatikan keluarganya! Lebih baik ia menghilang saja sekalian dari muka bumi ini daripada harus berurusan dengan makhluk egois seperti dia!"

"Jaga ucapanmu itu Luna!" Suara rendah seorang lelaki menghentikan ucapan sang gadis. "Papa tidak pernah mengajarkan anak papa bersikap tidak sopan kepada orang tuanya!"

"Untuk apa seorang yang hebat seperti anda kemari?" Gadis itu berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadap kearah pria yang menyebut dirinya Papa. Matanya menatap nyalang dan tajam penuh emosi dan dendam. "Urusi saja pekerjaan yang sangat anda banggakan itu dan tak perlu mengurusi urusanku! Aku sudah muak dengan sikap acuh tak acuhmu itu! Bahkan pada saat Mama sekarat di rumah sakit pun anda tidak sedikitpun pernah menjenguknya. Apakah pantas anda disebut sebagai suami sekaligus Papa?!"

PLAK!

"Pak Daniel," Wanita paruh baya itu hanya mampu menutup mulutnya menyaksikan kejadian yang ada di hadapannya. Seorang ayah telah menampar pipi anak kandungnya hingga membuat sudut bibirnya berdarah. Ia tak menyangka Daniel Putranto yang ia asuh dan didik sejak kecil tega melakukan perbuatan yang menurutnya tidak pantas dilakukan pada putri satu-satunya meskipun ia tahu bahwa apa yang diucapkan sang putri tidak sopan.

"Luna, Papa tidak bermaksud...,” Lelaki itu pun terkejut dan tak menyangka pada apa yang telah dilakukannya. Dalam mimpi pun ia tak pernah berpikiran melakukan tindakan sehina itu.

Gadis yang diketahui bernama Luna hanya bisa mengelus pipi kirinya yang memerah dan mengecap rasa asin bercampur anyir darah di sudut bibirnya.

"Beri aku waktu satu tahun," Kilatan kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu terlihat dimata Luna.

"Apa maksud..."

"Satu tahun cukup bagiku untuk pergi angkat kaki dari rumah anda dan tidak akan mau bertemu dengan anda lagi!"

KRIINNG....KRIING...KRIINNG...

Luna bangun dari tidurnya setelah mendengar bunyi alarm jam bulat berkaki berwarna kuning di samping tempat tidurnya yang menunjukan pukul 5 pagi. Kenapa ia bisa memimpikan kejadian yang terjadi dua tahun yang lalu? Sial, mengapa setelah sekian lama kejadian yang paling mengerikan dan tidak ingin ia ingat mendadak terbawa mimpi?

Ia pun segera beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Hari ini ia mendapatkan shift pagi di cafe tempat ia bekerja sambilan. Ia harus bersiap-siap untuk membuka cafe dan mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam meracik kopinya. Kemampuannya itu ia dapat di salah satu cafe tempat kerjanya ketika ia masih duduk dibangku SMA. Padahal dulu hal itu hanya untuk mengalihkan dunianya yang penat dan kosong mengingat betapa dinginnya rumah yang ia tinggali. Dan rupanya kemampuannya itu mengantarkan dirinya menjadi barista yang selalu dinanti racikannya di cafe ini. Ia bersyukur memiliki atasan seperti Kei yang selain memberikan upah lebih dari cukup, ia juga diberikan keleluasaan bereksperimen dengan kopi kesukaannya.

Setengah jam berlalu hingga ia mematutkan diri di depan meja rias. Wajahnya tampak masih menunjukkan guratan kelelahan akibat mimpi buruk tadi. Ah, perduli amat! Batinnya. Ia pun mengoleskan krim pagi dan sunscreen ke wajahnya. Tak lupa melukis wajahnya dengan make up tipis yang akan membantunya terlihat segar. Tiba-tiba bunyi nada ringtone dari smartphone-nya menggema seolah memanggil Luna untuk mengangkat teleponnya. Bi Ani!

"Halo Bi?"

"Non Luna, apa kabarnya?"

"Kabarku baik, Bibi gimana kabarnya? Sehat?" Luna beranjak dari meja rias menuju tas selempangan kebanggaannya. Ia memasukkan beberapa buku, laptop, dan perlengkapan yang dibutuhkan. Meskipun hari ini adalah hari liburnya di kampus, bukan berarti ia bisa bersantai-santai untuk tidak belajar. Beasiswanya tergantung dengan prestasi yang diperolehnya. Ia berbeda dengan sahabatnya Kirana yang notabennya adalah anak dari keluarga kaya raya. Meskipun begitu, ia sangat menyukai kesederhanaan yang dimilikinya. Jika Kirana anak yang sombong, sudah tentu ia tidak akan bisa menjalin hubungan persahabatan yang mendalam sejak awal SMA hingga sekarang.

"Bibi baik kabarnya. Non, sudah setahun Non nggak pulang, Bibi kangen, Ibu juga pasti kangen dijenguk oleh Non, apakah Non Luna tidak ada rencana untuk pulang ke rumah?" Suara Ani terdengar lirih ditelinga Luna. "Bapak juga kangen sama Non, beliau terus menanyakan kabar Non terus sejak Non memutuskan kuliah di Jepang."

Luna menghela napas. Ia benci setiap kali ditanyakan kapan pulang. Baginya ia tidak memiliki rumah sejak kematian mama tercintanya yang terlalu menahan sakit hati ketika tahu bahwa sang mama bukanlah orang yang dicintai papanya. Hah..., mengapa juga ia harus lahir dalam keluarga seperti ini? Tak ada cinta di dalamnya, terlebih lagi papanya, ia lebih memilih mengubur dirinya sendiri dengan pekerjaannya sebagai General Manager di perusahaan bonafit yang bergerak dibidang kepelabuhanan di Indonesia dari pada bersama dirinya yang notabennya anak semata wayang yang butuh sosok seorang ayah.

"Bi, aku sibuk, aku harus berangkat kerja sambilan, nanti kuhubungi lagi ya," Luna memandang kearah wekernya yang telah menunjukkan pukul 8 pagi. Ia pun mengakhiri pembicaraan dengan Ani. Ia masih belum sanggup menjawab pertanyaan yang selalu dilontarkan Ani setiap kali meneleponnya. Luka tamparan dari Papanya masih sangat membekas di hati Luna meskipun sudah tahunan berlalu. Ia bergegas membawa sekotak makan berisi buah-buahan sebagai menu sarapannya di cafe nanti.

***

Terpopuler

Comments

Widya Wijaya

Widya Wijaya

poor Luna 😢

2020-03-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!