1-1

Hawa dingin di malam hari berhembus masuk melewati celah-celah tak kasat mata pada pintu masuk otomatis khusus penerbangan luar negeri Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta Terminal 3 Ultimate. Namun kondisi itu tak mengusik seorang lelaki yang sedang duduk santai di salah satu bangku ruang tunggu kosong karena hanya terisi olehnya bersama sebuah koper besar berwarna hitam. Nampak ia sedang menunggu penerbangan yang menjadi tujuannya, Bandara Udara Internasional Narita, Jepang. Dengan headset di telinganya, ia tampak asyik menikmati lanunan lagu yang berputar pada Ipod Touch miliknya dan tak perduli dengan lalu lalang orang yang melewati dan memperhatikannya. Sesekali ia melihat sebuah jam tangan sport berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum check-in dalam batinnya.

"Nani?!" (Apa?!)

Tiba-tiba sebuah suara teriakan tertahan dari seorang gadis membuat sang lelaki sontak menoleh kearah pemilik suara tersebut yang posisinya tak jauh dari dirinya. Dipandanginya sang gadis dengan sepasang mata berwarna senada dengan batu onyx yang hitam pekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu sepertinya berusia tak jauh darinya dan nampak sedang sibuk dengan smartphone berwarna putih di telinga kirinya. Rambut hitam lurus sepunggung dengan sedikit bergelombang dibawahnya dan poni di dahinya, kulit putih langsat, bola mata hazel berkelopak dengan bulu mata yang lentik, wajah bulat telur, hidung yang mancung, bibirnya yang mungil nan ranum, tubuhnya yang langsing berisi dengan tinggi 160 cm sangat serasi dengan balutan kemeja biru muda dengan motif bunga-bunga kecil perpaduan warna kuning dan coklat serta jaket ber-hoody warna biru torquise tampak serasi dengan celana jeans biru tua dan sepatu boots coklat khaki yang dikenakannya. Penampilan gadis ini bak boneka Barbie versi asia, cantik dan cukup stylish. Boleh juga nih dijadikan target! Batin sang lelaki sambil tersenyum miring.

Yang membuatnya menarik perhatiannya bukanlah penampilan fisik gadis itu melainkan bahasa yang digunakannya. Ya, ia sangat mengenal bahasa itu, bahasa resmi negara tempat tinggalnya.

“Yang benar saja?! Pokoknya kalau sudah sampai di Narita aku nggak mau di jemput oleh bodyguard!" Gadis yang*rupanya bernama Kirana atau tepatnya Kirana Kiseki Matsumoto berkata kepada sang papa melalui smartphone* miliknya. "Aku nggak mau semua orang mengarah kepadaku karena pengawalan yang terlalu mencolok!"

"Tapi keselamatanmu adalah yang paling utama Rana-chan," Sang papa yang bernama Daiki Matsumoto rupanya sangat mencemaskan keselamatan anak perempuannya itu. "Kami semua mengkhawatirkanmu, terlebih lagi kamu baru sembuh dari kecelakaan mobil itu dan juga mengalami..."

"Amnesia maksud Papa? Amnesia itu bukan berarti aku lupa segalanya Pa, buktinya aku masih ingat Papa dan Mama serta Daichi-nii! Kan dokternya sendiri bilang bahwa amnesiaku termasuk amnesia yang cukup langka. Hanya lupa beberapa kejadian di masa laluku tapi tak lupa dengan orang-orang terdekatku. Aku bukan anak kecil lagi Pa, yang kemana-mana harus diawasi, aku pastikan semuanya akan baik-baik saja. Bukankah sejak kecil aku sudah dibekali dengan pembelajaran berbagai macam ilmu beladiri untuk menjaga diriku sendiri?" Kirana berkata dengan nada keras kepalanya.

Cih, gadis ini cerewet sekali! Lelaki itu berdecak kesal mengupat dalam hati sambil terus menatap Kirana. Sungguh tidak tahu malu! Sengaja menarik perhatian orang-orang di sekeliling ya?! Kutarik kata-kataku tadi, dia tidak menarik!

"Papa tidak butuh komentarmu Rana-chan, kau sekarang adalah sepenuhnya tanggung jawab Papa dan Mama!" Daiki yang merasa terdesak dengan kekeraskepalaan sang putri akhirnya mengeluarkan ucapan tegasnya. "Melepasmu untuk tinggal bersama Kakek dan Nenek di Indonesia sejak usia 13 tahun sudah cukup membuat kami menangisimu berhari-hari karena berat melepasmu yang notabennya anak perempuan kami satu-satunya."

Kirana memutar bola matanya bosan. Entah sudah keberapa kalinya ia mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh papanya yang over protective itu. Semoga saja ia tidak menjadi anak durhaka dengan sikapnya saat ini.

"Baik, permintaanmu itu Papa penuhi! Dengan catatan orang yang akan menjemputmu adalah Daichi!"

"Kenapa Daichi-nii yang harus menjemputku? Dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO dengan tanggung jawab bisnis perusahaan yang sebagian telah Papa limpahkan kepadanya, jangan ditambahkan lagi dengan merepotkannya untuk menjemputku," Protesnya kembali dan kali ini sedikit frustasi karena ia bisa membayangkan betapa kakak lelakinya itu adalah orang yang sibuk dan ia tak ingin kehadirannya nanti akan merepotkan sang kakak. "Papa dan Mama kan sudah berjanji kepadaku untuk menjemputku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kuliah dan kembali ke Jepang."

"Ya Tuhan, kesalahan apa yang telah kuperbuat di masa lalu sehingga anakku mengalami amnesia separah ini," Keluh Daiki menghela napas berat. "Bukankah Papa sudah mengatakan bahwa kau akan tinggal bersama Daichi di apartemennya di Tokyo? Papa dan Mama saat ini sedang melakukan perjalanan bisnis mengunjungi cabang-cabang hotel keluarga kita di Eropa dan dapat dipastikan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, sudah pasti kakakmu itu yang menjemputmu sayang."

"Namanya juga amnesia Pa, hehehehe," Ujar Kirana membela diri sambil meringis lebar.

"Papa mengerti," Daiki harus bisa sabar menghadapi anak gadisnya itu. Ia harus memaklumi penyakit yang dialami oleh sang anak sehingga membuat keluarganya yang semula berbahagia berubah menjadi bencana. Terlebih lagi perubahan sikap dari sang anak yang semula manis dan penurut menjadi keras kepala. Dalam hatinya berkata, sifat anak itu menurun dari siapa? Ia melirik wanita cantik yang memeluk lengan kanannya seolah memberikan kekuatan untuk sabar, istrinya. "Papa akan mengirimkan foto kakakmu yang terbaru dan jangan sampai salah mengenali orang ya, kalau tidak berhasil menemukan kakakmu, kamu harus segera ke ruangan informasi meminta bantuan mereka untuk mencari kakakmu. Kamu mengerti kan Nak?"

"Hai-Hai," (Iya-iya) Jika bukan papanya yang menelepon, ingin rasanya Kirana segera memutuskan hubungan pembicaraan itu. Ia sangat jenuh mendengar ceramah panjang seolah ia telah membuat kesalahan fatal dan membutuhkan nasehat-nasehat agar ia tidak melakukan perbuatannya itu lagi. Ayolah Pa, aku sudah berusia 18 tahun saat ini.

"Kami semua disini menyayangimu,"

"Aku juga menyayangi Papa dan Mama,"

Telepon dengan sang papa pun terputus. Emosi yang berusaha ditekannya sejak tadi Kirana rasakan berusaha dibuangnya jauh-jauh. Ia memejamkan matanya sejenak dan mendongakkan kepalanya ke atas. Kedua tangannya diletakkan di masing-masing sisi pinggangnya dan melakukan gerakan rileks dengan memutar kepalanya kearah kiri serta kanan. Tak lupa ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya sekuat tenaga. Hal tersebut dilakukannya guna menenangkan hatinya.

"Apakah Kirana yakin akan tetap kembali ke Jepang?" Sepasang suami istri berusia delapan puluh tahunan namun tak menampakkan fisik seusianya menatap lurus kearah Kirana. Pandangannya yang tampak begitu khawatir dirasakan oleh Kirana. "Kondisimu masih belum pulih benar."

Lelaki itu mengerutkan alisnya ketika mendengar pembicaraan gadis itu dengan pasangan tua yang ada di hadapan gadis itu. Ia juga mengenal bahasa yang digunakannya, bahasa yang ia pelajari selama berada di Indonesia untuk mempermudah aktifitasnya di Indonesia. Ia sungguh berterima kasih dengan gen jenius yang dimilikinya untuk dapat mencerna semua ucapan gadis bernama Kirana itu. Nama yang cukup aneh untuk orang berdarah Jepang sepertinya. Tapi apa perdulinya? Gadis ini bukanlah objek spesial baginya. Sial, kenapa matanya tidak ingin lepas memandang gadis itu?!

"Mau bagaimana lagi Kek, Nek, menantu kesayangan Kakek dan Nenek itu sudah memberikan instruksi seperti itu," Jawab Kirana dengan senyum getir dibibirnya memandang kedua orang tua dari ibunya yang berkebangsaan Indonesia itu. "Mungkin ini balasan karena aku telah egois meninggalkan mereka dan memilih tinggal bersama Kakek dan Nenek," Tatapan Kirana seolah menerawang jauh entah kemana. "Maafkan aku ya Kek, Nek, hanya bisa menemani Kakek dan Nenek selama delapan tahun."

"Kirana...," Wahya, sang nenek menatap nanar. Ia merasa bersalah akibat kecelakaan yang dialami oleh cucunya itu. Kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi seandainya ia tak membiarkan anak yang masih belum lancar menyetir itu mengendarai kendaraan roda empat miliknya, tepatnya milik Rea, ibu dari Kirana. Ia ingat bahwa anak perempuannya itu menangis tersedu-sedu melihat Kirana yang terbaring lemah dengan kondisi yang memprihatinkan di ruang perawatan insentif di sebuah rumah sakit dan hampir menyalahkan dirinya serta suaminya yang tidak dapat menjaga anak yang sudah ia relakan untuk dibesarkan olehnya dan suaminya. Ia berterima kasih kepada menantunya, Daiki yang bisa menenangkan dan mendamaikan hubungan mereka yang cukup tegang karena insiden itu.

"Kakek dan Nenek tidak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja di sana!" Ujar Kirana mantap sambil tersenyum lebar berusaha menenangkan kakek dan neneknua. Kedua tangannya menggenggam tangan Wahya dan Sutomo. "Kalau nanti liburan panjang, aku akan datang menemui Kakek dan Nenek."

"Tentu saja Kirana," Wahya dan Sutomo memeluk tubuh cucunya erat. Seolah memberikan kekuatan kepadanya untuk dapat melewati semuanya. Bagi mereka berdua, Kirana adalah anugerah terindah yang diberikan anak keduanya untuk membunuh rasa sepi di rumah mereka sejak ketiga anak kandung mereka memiliki kehidupan rumah tangganya masing-masing. Keceriaan dan kepolosannya akan sangat mereka rindukan. "Kami akan selalu ada untukmu Kirana."

"Terima kasih Kek, Nek," Kirana membalas pelukan kakek dan neneknya tak kalah erat. Sesungguhnya ia membenci perpisahan ini. Entah mengapa perpisahan dengan kakek dan neneknya saat ini terasa berat. Ia seperti kehilangan kekuatan penopang dalam hidupnya. Meskipun ia mengalami amnesia, ia dapat merasakan bahwa betapa banyak cinta yang telah diperoleh dari pasangan paruh baya tersebut. Tapi ia tidak boleh egois, ia memiliki keluarga tempat di mana ia seharusnya berada. Keluarga yang perlahan akan membantu mengingat tentang masa lalunya yang terlupakan. "Ah, sudah waktunya aku pergi," Kirana melepaskan pelukan eratnya dan mencium punggung tangan kanan Kakek dan Neneknya. "Aku pamit ya Kek, Nek."

"Hati-hati ya sayang," Widya menepuk-nepuk kepala Kirana yang menunduk dengan lembut. "Kami akan sangat merindukanmu."

"Aku juga," Kirana tersenyum. Ia menarik koper besar warna pink fanta miliknya dan pergi meninggalkan pasangan tua itu menuju counter maskapai untuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi pesawat setelah proses check-in yang telah ia lakukansebelumnya via online.Ia melewati lelaki yang sedang mendengar musik dengan headset di telinganya. Samar-samar tercium wangi parfum perpaduan antara lavender dan vanila sehingga membuat pemuda itu tanpa sadar menarik napas seolah terbius sensasi aroma terapi yang wangi dan menenangkan. Manis, meskipun kata itu tidak cocok untuknya yang tidak menyukai segala sesuatu yang manis, Ia mengguratkan sebuah senyum bengkok yang sangat tipis dan mengikuti sosok Kirana dari belakang.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!