Kirana membuka matanya perlahan. Ia pun merubah posisi tubuhnya yang semula berbaring menjadi duduk. Ditatapnya ke sekeliling kabin Business Class pesawat plat merah milik Indonesia yang sedang membawanya terbang dari Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia menuju Bandara Udara Internasional Narita, Tokyo, ibukota negara Jepang.
Ia menoleh kearah lelaki yang duduk disebelahnya. Dipandanginya pemuda yang masih tertidur itu sesaat. Wajah oval dengan dagu yang berbentuk 'V' dan rahang yang kokoh, rambut gaya shaggy pendek berlayer yang bertumpuk-tumpuk dengan panjang yang tidak merata dan sedikit kesan berantakan di belakang berwarna hitam yang sama pekatnya dengan bola mata berwarna onyx-nya ketika ia bertatapan muka memohon izin hendak melewati tempat duduknya yang berada tepat di sebelah jalan badan pesawat, hidung yang mancung, bibir yang tipis, kulit putih porselen yang senada dengan miliknya, tubuhnya yang atletis serta pakaian mahal nan rapi elegan yang dikenakannya, menunjukkan bahwa lelaki ini bukanlah orang sembarangan. Sungguh tampan lelaki ini, batin Kirana sambil tersenyum simpul. Hitung-hitung mendapatkan pemandangan indah selama perjalanan yang membosankan ini kan lumayan.
Perlahan sinar mentari pagi mulai menggelitik dan menarik perhatian mata hazel-nya yang duduk tepat di sebelah jendela pesawat. Tak pelak ia pun segera mengalihkan pandangannya dari sang lelaki dan menoleh keluar jendela. Rupanya ada yang lebih menarik perhatiannya dibandingkan teman sebangkunya di pesawat. Dilihatnya pemandangan di luar, Jepang! Betapa Negara ini begitu ia rindukan. Sudah lima tahun ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sini.
"Ladies and Gentleman, shortly we will be landing at Narita International Airport in Tokyo, Japan. The time in Indonesia is four hours ahead of Tokyo time. Please fasten your seatbelt, adjust your seatbelt in the upright position and lock your table securely. For Business passengers, please stow your footrest and video monitor in place. Also keep your window shades open during this time. Passengers who are using laptop and other entertainment devices please switch them off now. Thank you..."
Akhirnya, aku kembali juga ketempat asalku, Jepang! Dalam hati Kirana berkata ketika pesawat terbang yang ia tumpangi telah mendarat dengan mulus dan selamat di Bandara Udara Internasional Narita. Segurat senyum merekah di bibirnya. Dihirupnya dalam-dalam udara di sekelilingnya. Tercium udara hangat nan segar yang menandakan bahwa musim panas telah menantinya disini. Ia terkikik dalam hati ketika dirinya mengamati pakaian yang ia kenakan sungguh bertolak belakang dengan musim yang akan ia hadapi di Tokyo. Mau bagaimana lagi, cuaca di Indonesia pada bulan Agustus tahun ini mengalami anomali yang cukup parah. Bulan dimana seharusnya musim kemarau masih merajalela tiba-tiba berubah menjadi musim hujan dengan tingkat kelebatan yang cukup signifikan setiap harinya. Tak pelak ia memilih menggunakan pakaian tertutup serta sepatu boots.
"Yosh, waktunya mengambil tasku dan mencari Daichi-niisan." Kirana memberikan semangat pada dirinya sendiri. Ia membuka jaketnya dan mengikatnya di pinggang rampingnya. Perlahan ia membaca petunjuk arah menuju tempat pengambilan barang yang lebih banyak bertuliskan huruf kanji meskipun terdapat bahasa Inggris sebagai pendampingnya. Ia sengaja untuk mengetes dirinya sendiri apakah kemampuan bahasa Jepangnya masih ada dan ia bersyukur bahwa penyakit amnesianya tidak membuatnya amnesia pula pada tulisan rumit itu sehingga tak membuatnya harus bertanya kesana kemari seperti orang hilang.
Sementara itu, tampak seorang pemuda berusia berusia pertengahan dua puluhan memasuki Bandara Udara Internasional Narita menuju tempat kedatangan penumpang dari luar negeri. Sontak aura di sekelilingnya berubah, seluruh mata memandang pemuda itu dengan tatapan kagum seolah melihat artis idola terkenal. Rambut coklat kehitaman dengan potongan pendek berlayer, sepasang mata berwarna hazel, wajah tampan nan baby face yang selalu menebarkan senyum ramah sungguh menggemaskan, sangat kontras dengan tinggi badannya yang 178 cm dan selera berpakaiannya yang terlihat kasual dengan kaos merah garis-garis hitam berpadukan dengan celana cargo hitam selutut serta sneakers merah senada dengan kaos yang dikenakannya.
Empat puluh lima menit telah berlalu, namun sosok yang ditunggu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya. Tatapannya mulai gelisah dan khawatir mengapa dalam kurun waktu selama itu orang yang sedang ia tunggu kedatangannya belum juga menampakkan diri? Ampun, penyakit sister complex-nya benar-benar mengerikan! Seandainya ia tidak playboy mungkin dirinya tidak akan berlebihan mengkhawatirkannya. Namun kata-kata sahabatnya masih terngiang-ngiang dikepalanya. Junior sialan!! Rutuknya dalam hati. Bisa-bisanya ia menyumpahi dirinya!
"Onii...san...," Sebuah suara yang terdengar lembut terdengar memanggil pemuda itu. "Daichi-niisan."
"Dare?" (Siapa?) Daichi menoleh kearah suara itu berasal.
"Ternyata benar!" Ucap sang gadis bersemangat. "Wajah Daichi-niisan sangat mirip dengan foto yang dikirim Papa! Yokatta ne," (Syukurlah) Setelah hampir tersasar karena sempat salah membaca huruf kanji pada petunjuk yang berada di Bandara, akhirnya ia berhasil menemukan sosok orang yang dicarinya. Ia pun mengelus dada dan melepas nafas lega.
"Kau siapa?" Daichi mengernyitkan dahinya merasa tidak mengenali gadis yang ada dihadapannya. Cantik sih tapi...
"Masa' Niisan tidak kenal padaku? Aku yang kena amnesia kenapa justru kakakku yang lupa," Gadis itu cemberut dan menggembungkan pipinya membuat wajahnya terlihat manis dan imut. "Aku ini imouto-mu!"
5 detik
4 detik
3 detik
2 detik
1 detik
"EEEKKKKKHHHH?!!!" Daichi berteriak seraya tidak percaya dengan penglihatan yang ada di depannya. Ia mengusap-usap matanya untuk memastikan bahwa sosok yang saat ini berada dihadapannya adalah benar adik perempuannya. Ya Tuhan, ini sungguh adiknya? Apakah selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak menyadari sosok adiknya? Dasar bodoh! Keluhnya dalam hati.
"Aku dikirimkan foto ini oleh Papa," Kirana mengambil smartphone dari dalam tas kecilnya dan menunjukkan sebuah foto dengan wajah Daichi didalamnya. "Papa bilang foto ini adalah foto kakak yang terbaru agar aku tidak salah mengenali orang."
"Adikku tersayang!!" Daichi spontan berteriak dan langsung memeluk erat tubuh adiknya itu. "Aku rindu padamu, rupanya selama tinggal di Indonesia selain membawa oleh-oleh amnesia kau juga berubah menjadi cantik seperti ini."
"Yare-yare," (Ampun deh) Kirana menghela napasnya menanggapi reaksi kakaknya yang terlalu berlebihan. Tapi tak apa-apa, ia juga sangat merindukan pelukan kakaknya yang hangat. Ia pun membalas pelukan hangat kakaknya. Bau yang ia rindukan, bau seperti Papa dan Mama.
"Ayo kita menuju parkiran," Daichi menarik koper besar milik Kirana dan menggandeng lengan kanan Kirana. Ia memperhatikan orang-orang di sekelilingnya menatap kagum kepada kakak lelakinya. Dipandanginya sang kakak, ia tak memungkiri kakaknya itu adalah sosok pemuda yang tampan dan berkharisma. Ia ingat, selama menunggu di ruang tunggu keberangkatan pesawat tadi, ia menghabiskan waktunya dengan mencari informasi mengenai keluarganya melalui media internet untuk melatih ingatannya yang masih agak buram.
"Daichi-nii,” Panggil Kirana pelan.
"Apa?" Daichi menoleh kearah adiknya.
"Apakah Daichi-nii tidak merasakan orang-orang di sekeliling kita memperhatikan Daichi-nii?"
"Hal itu sudah biasa, senyum dan cuek saja. Anggap mereka tidak ada," Ujar Daichi sambil tersenyum.
Sontak Kirana tersadar akan sesuatu. Ia pun menepuk dahinya. Bukankah keluarga Matsumoto adalah salah satu keluarga kalangan atas yang berpengaruh besar pada perekonomian Jepang? Dan kakak yang sedang menggandeng tangannya ini adalah sosok yang sedang menjadi trendsetter sebagai pewaris dari Matsumoto Global Group, perusahaan yang sampai saat ini masih dikelola oleh sang Papa. Tampan, cerdas, berkelas, dan kaya raya, pantas saja ia menjadi pusat perhatian. Perasaan kagum dan bangga muncul dari hati Kirana terhadap kakaknya ini. Meskipun ia tahu kakaknya memikul tanggung jawab yang berat, ia sama sekali tidak menunjukkannya. Tak ada iri sedikitpun dalam hatinya, ia justru bersyukur terlahir sebagai perempuan di keluarga Matsumoto yang membuatnya lebih bebas menentukan pilihan untuk masa depannya. Dan ia telah memiliki pilihan itu.
"Kita naik ini?!" Kirana berteriak kencang dengan lengkingan nada tidak suka. Dihadapannya telah terparkir sempurna sebuah mobil mewah Lamborghini Reventon Roadster berwarna merah. Ia memang tidak terlalu suka dengan konsep mobil-mobil mewah yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan otomotif kelas dunia, namun ia tidak buta informasi mengenai jenis-jenis mobil lambang prestise para miliarder itu, khususnya mobil yang satu ini. Mobil produksi Lamborghini yang merupakan produsen mobil-mobil mewah, telah menciptakan sebuah seni pada tipe Reventon Roadster ini. Fitur-fitur nomor wahid dengan mesin V12 berkapasitas 6,5 liter yang menghasilkan kekuatan 650 tenaga kuda dan mampu melaju dengan kecepatan tertinggi hingga 355 km/jam serta dalam hitungan 3,4 detik mampu melesat dengan kecepatan 96,5 km/jam ditambah produksinya yang hanya berjumlah 21 unit membuatnya memiliki nilai jual tinggi sebesar USD 2,2 juta menjadikannya incaran dan favorit kaum kelas atas, salah satunya adalah kakaknya ini. Ia sadar sepenuhnya bahwa keluarganya merupakan bagian dari komunitas tersebut. Tapi ini terlalu berlebihan!
"Iya, memangnya kenapa?" Daichi bertanya dengan nada bingung atas reaksi Kirana.
"Aku tidak mau!" Ujar Kirana pendek. "Lebih baik aku naik taksi atau bis bandara atau JR saja!" Ia segera mengambil koper dorong besar miliknya dari tangan Daichi.
"Eh? Memangnya salah apa mobil ini hingga kau tidak mau menaikinya?" Tanyanya polos sambil mencegah adiknya pergi meninggalkannya.
"Aku benci segala sesuatu yang terlalu mewah dan pemborosan!"
"Ta..tapi Kirana," Daichi mendadak bingung dengan penolakan yang baru saja dilakukan oleh sang adik. Hanya karena mobil yang ia gunakan? Memangnya ada yang salah dengan mobil kesayangannya itu? Ia sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu.
"Apakah Daichi-nii tidak tahu bahwa masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan? Mereka bahkan sampai harus tidur di pinggiran jalan karena tidak memiliki tempat tinggal. Sedangkan aku dan Daichi-nii hidup dalam berkecukupan bahkan berlebihan. Tak bisakah kita hidup lebih sederhana? Lebih baik uang lebih kita itu digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan."
Daichi tak berkutik mendengar setiap kalimat yang diucapkan Kirana. Mimpi apa ia semalam mendadak diceramahi oleh adik satu-satunya itu? Ia mengakui bahwa ucapannya itu benar dan ia pun selalu diajarkan untuk hidup sederhana oleh kedua orang tuanya. Namun tidak dengan mobil miliknya yang satu ini. Ia telah berjuang setengah mati memeras otaknya demi kelangsungan bisnis keluarganya untuk membeli mobil ini. Satu-satunya hal yang sangat ia inginkan untuk dimiliki. "Aku akan mendengarkan semua keluhanmu dan menjawabnya nanti, tapi sekarang kumohon untuk menurut dan masuklah ke dalam mobil," Daichi menggenggam pundak kecil Kirana dengan kedua tangannya dan berusaha untuk menenangkan atau lebih tepatnya meyakinkan adiknya dengan perkataan bijak senjata andalannya. "Aku tidak mau dicap sebagai kakak yang tidak becus mengurusi adiknya yang sedang sakit dengan membiarkannya naik taksi atau naik bis atau lebih parah lagi naik JR," Ia memasang tatapan memohon kepada Kirana sambil membuka pintu untuk adiknya. "Tokyo sudah banyak berubah setelah sekian lama kau pergi Kirana."
"Hah, baiklah," Kirana menghela napas karena merasa tak mampu membalas ucapan kakaknya. Ia memang lemah dengan tatapan mata memelas yang dimiliki Daichi. Dengan langkah berat ia memasuki bangku sebelah pengemudi dari mobil mewah tersebut. Ia benci mengakuinya, untuk ukuran selera, sang kakak memiliki selera yang bagus. Daichi yang melihatnya hanya tertawa dalam hati dan segera menyalakan mesin mobilnya, memasukan gigi otomatis dan menginjakkan pedal gasnya untuk segera meninggalkan bandara menuju apartemennya.
Tak lama setelah Kirana dan Daichi pergi dari bandara, sesosok lelaki dengan ekspresi kelelahan namun tak melunturkan ketampanannya berjalan menuju point meeting yang telah disepakati oleh penjemputnya di ruang tunggu kedatangan penumpang dari luar negeri. Ia menoleh ke sekelilingnya, namun tak satupun penjemputnya datang menghampiri. Dilihatnya jam tangan yang dikenakannya, seharusnya penjemputnya sudah lebih dahulu datang menunggunya. Beginilah repotnya jika ia harus berpergian menggunakan pesawat komersil, ia tidak dapat seenaknya pulang dengan kendaraan pribadinya dan harus dijemput. Ia harus mengikuti perintah kakeknya yang memintanya untuk membiasakan diri dengan kesederhanaan. Untung saja masih diberikan Business Class bukan Economy Class. Dasar kakek tua sialan! Sudah tua saja masih saja otoriter!
"Akio-sama, mohon maaf atas keterlambatannya," Dua orang berpakaian resmi dengan stelan berjas serba hitam menghampiri sosok pemuda yang sedari tadi berdiri di ruang tunggu.
"Hn." Jawabnya pendek. Sorot mata tajamnya nampak mencari gadis cantik yang tadi duduk di sebelahnya ketika di dalam pesawat dan telah meninggalkannya terlebih dahulu. Ia berdecak kesal ketika tak menemukan sosok itu. Yang lebih mengesalkan adalah mengapa ia bisa tidak berkutik duduk bersebelahan dengan gadis itu seolah kemampuannya dalam menaklukkan perempuan nol besar. Kazuto sialan! Awas saja jika sumpahmu itu terjadi, kau akan kubakar hidup-hidup! Ia merutuk dirinya sendiri, mengapa ia jadi penasaran dengan gadis bernama Kirana itu? Cih, Sungguh bukan dirinya sama sekali. Lupakan saja gadis itu! Toh ia tak akan mungkin bertemu dengannya lagi.
"Akio-sama," Panggil salah satu lelaki berjas hitam tersebut untuk keduanya sambil membukakan pintu belakang dari mobil Mercy hitam yang terpampang di hadapannya.
Tanpa banyak bicara, Akio memilih masuk ke dalam mobil tersebut dan menjatuhkan tubuhnya yang masih kelelahan akibat jet lag yang ia alami selama kurang lebih delapan jam perjalanan dari Jakarta ke Tokyo.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments