"Tadaima," (Aku pulang) Kirana berjalan gontai menuju sofa panjang berwarna hitam yang berada di ruang tamu dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
"Okaeri (selamat datang), bagaimana kuliahmu hari ini?" Jawab Daichi yang sedang sibuk berada di dapur menata makan malam di meja makan. Menu malam ini adalah nasi kari dan salad sayur. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, ia dan Kirana membuat jadwal siapa yang akan menyiapkan sarapan dan makan malam mengingat adiknya itu memprotes dirinya yang selalu makan di luar dan menganggapnya boros serta tidak sehat ditambah asisten rumah tangga di apartemen miliknya itu hanya memiliki otoritas bersih-bersih dan me-laundry pakaian kotor. Dengan sangat terpaksa ia mengikuti saran adiknya itu. Mungkin ada benarnya juga perkataan sang adik, ia harus membiasakan diri untuk memakan masakan rumahan. Ia bersyukur diberikan bakat alami untuk mempelajari sesuatu dengan mudah, termasuk dalam urusan masak-memasak.
Kirana memijit dahinya yang berkedut menahan kesal. Hari-harinya sebagai mahasiswi di Universitas Tokyo selalu berakhir buruk ketika ia harus berselisih dengan makhluk super arogan dan menyebalkan bernama Akio Fujiwara. Terutama hari ini, pada saat sesi latihan basket, Akio dengan sengaja melempari dirinya dengan bola bundar tersebut sehingga membuatnya naik pitam dan berakhir lagi dengan pertengkaran di antara mereka. Akibatnya sudah dapat dipastikan, ia mendapatkan hukuman harus membersihkan lapangan dan bola-bola basket bersama Akio selama satu bulan setiap kali selesai latihan. Yang benar saja? Kenapa hukumannya lama? Sumpah demi apapun, kenapa lelaki yang satu itu sering mencari gara-gara dengannya? Ia sudah instropeksi dirinya sendiri dan merasa tidak melakukan kesalahan fatal kepadanya.
"Kau kenapa imouto?" Daichi yang tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang diajukannya dan merasakan adanya perubahan dari adik satu-satunya itu segera menghampirinya. "Sakit?" Ia memeriksa dahi Kirana dengan tangan kanannya dan membandingkan dengan suhu tubuh miliknya. "Normal kok."
"Aku memang normal Niisan," Kirana menyingkirkan telapak tangan Daichi. "Aku hanya sedang kesal saja," Ia menutup kedua matanya dengan kedua lengan tangannya. Nada suara sang adik terdengar sangat putus asa.
"Kau mau menceritakannya kepadaku?" Daichi duduk berjongkok di pinggir sofa, ia tersenyum lembut dan mengusap rambut adiknya. "Siapa tahu aku bisa membantu."
Kirana bangkit dari posisi tidurnya menjadi posisi duduk sambil menyenderkan tubuhnya ke punggung sofa dan membiarkan kakaknya untuk duduk di sebelahnya. Wajahnya tampak terlihat kuyu dan kusut.
"Hari ini benar-benar yang terburuk!" Keluhnya sambil mengerucutkan bibirnya. "Laki-laki itu kembali mencari gara-gara kepadaku."
"Laki-laki yang mana?"
"Ya Tuhan," Kirana menepuk dahinya. "Jadi curhatanku ke Niisan dari kemarin-kemarin sama sekali tidak didengarkan? Niisan benar-benar keterlaluan!" Ia memukul-mukul kakaknya dengan bantal sofa yang berada tak jauh darinya.
"Hahahahaha, aku kan hanya bercanda," Daichi mencubit pipi Kirana yang menggembung karena menahan kesal. "Kamu bertengkar lagi dengan lelaki yang tak sudi kau sebut namanya itu?"
"Iya,"Kirana menandang langit-langit apartemen. "Aku tidak mengerti sama sekali dengan pemikiran anak itu?" Ia menghembuskan napasnya pelan dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Ada saja hal yang membuatku kesal dan marah kepadanya. Ia sering menggangguku dan membuatku yang biasanya bisa sabar mendadak lepas kendali. Hancur sudah semuanya, aku jadi merasa tidak pantas lagi menyandang nama Kirana."
Daichi hanya tertawa mendengar ucapan Kirana. Sejak dulu sampai sekarang ia mengenal adiknya itu, sosoknya adalah seorang yang sangat menghindari segala sesuatu yang berbau berlebihan terutama hal-hal negatif seperti perselisihan. Ia sangat menjunjung tinggi dan berusaha membuat dirinya sesuai dengan arti namanya tersebut. Melihatnya seperti ini tak pelak membuat dirinya tak tega untuk tidak ikut campur dalam urusan sang adik.
"Aku salah apa ya padanya sampai dia berbuat seperti itu? Apa hanya karena aku tidak seperti fangirls-nya yang lain sehingga ia terus-menerus menyiksaku? Apa karena aku tak mau mengakui kekalahan taruhan basket itu? Tapi kan memang tidak dapat disebut kekalahan karena pertandingan itu terhenti ketika Pak Pelatih tiba-tiba datang ke aula dan menghentikan kami," Ia tak tahu lagi harus berkata apa. Yang dapat ia lakukan hanyalah mengakhiri kalimatnya dengan umpatan. "Ukhhh, terkutuklah kau karena telah membuatku seperti ini!!!"
Irama nafas Kirana memburu seolah telah berhasil mengeluarkan sesuatu hal yang besar. Baru kali ini dalam hidupnya ia merasakan rasa kesal yang amat sangat atas hal yang tidak ia mengerti. Daichi mengernyitkan dahinya, tak menyangka akan keluar kata-kata kasar seperti itu dari mulut adiknya. Hatinya pun tergelitik untuk bertanya, "Kau tidak tahu sama sekali mengapa lelaki itu melakukan itu kepadamu?"
Kirana hanya menggelengkan kepalanya lemah karena menyadari ia telah bertindak tidak sopan dengan memaki.
"Justru karena aku tidak tahu tolong bantu aku untuk mengetahuinya Niisan, aku paling tidak suka mempunyai musuh, aku hanya ingin punya teman-teman yang menemaniku seperti pada saat aku berada di Indonesia," Kirana menarik-narik kaos hitam yang dikenakan kakaknya seolah memohon.
"Fiuh, sepertinya perutmu yang lapar telah membuat otakmu tak berpikir bahwa teman lelakimu itu melakukan hal itu semua dengan tujuan menarik perhatianmu," Daichi menepuk-nepuk kepala Kirana dengan lembut dan bangkit dari tempat duduknya menuju ke meja makan. Ia berusaha mengalihkan pikiran adiknya sejenak agar lebih tenang.
"Maksud Niisan apa? Aku sungguh tidak mengerti," Seperti sudah mengerti kode yang diberikan sang kakak, Kirana mengikuti Daichi menuju meja makan.
"Hari ini aku masak kari dan salad sayuran, kau tidak keberatan kan?" Daichi menempati tempat duduk di meja makan. "Maklum, pengalamanku dibidang masak-memasak kalah jauh darimu Kirana-chan. Hehehehe."
"Tidak apa-apa, Niisan sudah jauh lebih baik dibandingkan masakan pertama Niisan yang berjudul ayam bakar gosong!" Ujar Kirana dengan nada meledek. Dipandanginya hidangan untuk makan malam hari ini, sungguh menggoda batinnya. Kakaknya sungguh luar biasa, meskipun masakan yang dimasaknya sederhana, dari penampilannya sudah terlihat bahwa menu itu terlihat lezat untuk disantap membuatnya hampir meneteskan air liurnya.
"Hahahaha," Daichi tidak tahan untuk tidak tertawa mengingat pengalaman pertamanya memasak. Alhasil mereka berdua terpaksa memakan mie ramen instan yang dijual di minimarket dekat apartemen, lagi-lagi karena sikap ngirit yang ditunjukkan oleh adik cantiknya itu.
"Itadakimasu," (Selamat makan) Daichi dan Kirana dengan kompak menggabungkan kesepuluh jarinya mengucapkan selamat makan.
Daichi menghentikan suapan makannya sejenak ketika ia merasakan emosi kesal yang dialami Kirana telah mereda. Hal ini ditunjukkannya dengan begitu lahapnya sang adik menikmati makan malamnya. "Oh iya, melanjutkan pembicaraan yang tadi..."
"Hum?" Kirana hanya merespon seperlunya sambil terus mengunyah.
"Maksudku," Daichi menopangkan wajahnya ke tangan kanannya. Ia tersenyum jahil menunjukkan deretan giginya yang rapi. Polos sekali adiknya ini, "Teman lelakimu itu sepertinya menyukaimu Kirana-chan!"
"Uhuk-uhuk!" Kirana yang sedang menikmati nasi kare buatan kakaknya mendadak tersedak mendengar kalimat terakhir yang meluncur mulus dari sang kakak. Ia segera mengambil gelas berisi air mineral yang telah disediakan di meja makan dan meneguknya hingga tandas sebelum kembali menatap kearah kakaknya. "Eeeekkkhhhh???!!!!!"
"Hatsyiii!!" Seorang pemuda menggambil beberapa lembar tisunya yang berada tepat disebelah kirinya. "Sial, kenapa mendadak bersin sih?!" Protesnya pada dirinya. Tak lama kemudian ia kembali kepada pekerjaan yang ada dihadapannya, sebuah laptop canggih yang menggambarkan beberapa grafik dan angka-angka serta tumpukan dokumen setinggi setengah meter yang berada di sebelah kanannya.
BRAK!
Terdengar suara pintu ruangan yang terbuka. Sebuah langkah cepat terhentak di lantai ruangan itu.
"Akiooo!!!"
Akio yang mendengar namanya disebut hanya memutar sepasang mata tajamnya dan melepaskan kesepuluh jarinya dari laptop. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung kursi kebesarannya yang ada di ruang kantor tempat tinggal pribadinya. Sebuah kondominium berkonsep penthouse yang terletak di distrik Minami-Azabu, Minato-ku, Tokyo dengan luas 412 m² dan berada di lantai sepuluh dari salah satu properti apartemen mewah milik Fujiwara Corporation.
Apartemen yang mendapat julukan 'The Private House' karena memiliki furnitur langka dan beragam aksesori dari seluruh dunia serta kemewahannya. Hampir seluruh material bangunannya, seperti batu dan lantai maupun pintu kayu diimpor langsung dari Italia. Dekorasi interiornya menggunakan karya-karya seniman Jepang yang terkenal. Bentuk interiornya terinsprasi budaya lokal Jepang, namun tetap mengedepankan kemodernan. Tempat tinggalnya ini terdiri dari tiga kamar tidur, tiga kamar mandi full service dengan Jacuzzi, walk-in wardrobe, rak besar yang menampung ratusan pakaian dan sepatu miliknya, ruang kerja, ruang keluarga lengkap dengan segala perabotannya, ruang makan bak restoran bintang lima dengan dapur yang dirancang terbuka yang memungkinkan tamu yang dilayani dapat melihat langsung aksi koki pribadinya memasak hidangan, ruang bilyar beserta permainan game favorit Akio lainnya serta teras bergaya paris yang menghadap ke taman Arisugawa membuat siapapun iri atas properti milik Akio tersebut.
"Jangan berisik Kazuto! Kepalaku sudah cukup sakit mengerjakan pekerjaan di depanku ini." Dipijatnya sisi kiri dan sisi kanan kepalanya dengan kedua jari tangannya. Sejak ia beranjak masuk SMA, ia memilih tinggal sendiri berdekatan dengan kantor pusat Fujiwara Interprise, perusahaan yang dipimpinnya jauh dari mansion keluarganya yang terletak di pinggiran kota Tokyo membuatnya lebih mudah mengakses pekerjaan dan menjalani kehidupan pribadinya yang bebas. Ia pun memberikan akses kunci pribadinya hanya kepada Kazuto sahabatnya, pelayan pribadi dan koki pribadinya.
"Kudengar kau bertengkar lagi dengan Kirana ya bahkan kalian berdua sampai dihukum oleh Pak Pelatih?" Kedua mata Kazuto menatap lekat kearah Akio. Ia memandang Akio dengan tatapan penasaran. "Ah, sayang sekali aku harus menemani Ayahku untuk menghadiri rapat penting dengan para anggota parlemen, kalau tidak kan aku bisa melihat bagaimana Pak Pelatih menghukummu." Ia menyengir dan menggoda sahabatnya yang saat ini berwajah sangat serius.
"Diamlah Kazuto!" Akio bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju sofa putih susu yang diletakkan tak jauh dari meja kerjanya. Ia mengambil remote televisi yang ada diatas meja yang terletak didepannya. Dipilihnya channel berisi berita. Kazuto pun akhirnya memilih bergabung bersamanya. Suasana hening tercipta ketika kedua sahabat itu memperhatikan berita terkait perekonomian negaranya. Ia sungguh kesal dengan sahabatnya ini yang tak mau membantunya untuk mencari tahu siapa sebenarnya Kirana Kiseki. Kekesalannya semakin menjadi-jadi ketika ia terlibat adu argumentasi dengan Kirana yang memicu ketegangan di klub basket. Apakah mungkin ini ada hubungannya dengan ia yang sudah lama tidak melakukan seks? Jika dipikir-pikir waktunya habis tersita untuk berdebat dengan seorang gadis yang keras kepala itu.
"Ne, Akio," Kazuto memulai pembicaraan memecah keheningan.
"Hn,"
"Aku mau bertanya, tapi kau jangan marah ya?"
"Bertanya tentang apa?"
"Apakah kau menyukai anak baru itu?"
"...," Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Akio. Ia memilih diam tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Kazuto dan matanya tetap fokus kearah layar televisi. Pertanyaan yang menurutnya aneh. Suka? Apa itu suka? Ia sungguh tidak mengerti pertanyaan yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Tidak pernah ada kata suka dalam kamusnya. Baginya wanita yang selalu menghangatkan ranjangnya hanyalah pelampiasan dari ego kesepiannya.
"Kalau diam berarti jawabannya 'IYA' kan? Akhirnya, sahabatku ini normal juga bisa menyukai satu wanita!" Kazuto dengan seenaknya mengambil kesimpulan sambil melirik kearah Akio yang telah memasang ekspresi kesal sambil mendelik kearah Kazuto. "Tapi Akio, apa kau tidak terlalu berlebihan bersikap seperti itu kepada Kirana? Dia bisa sakit hati lho dengan sikapmu kepadanya."
"Dia masih berhutang padaku," Jawab Akio dingin dan seenaknya. "Tadi kau bilang apa? Suka? Apa kau sudah gila? Sudah berapa lama kau mengenalku bodoh?!"
"Hah, susah deh urusannya kalau menghadapi orang yang hidupnya 100% dengan logika!" Kazuto mendengus kesal mendengar ucapan Akio yang cukup kasar. Ia memijit dahinya menahan emosi. Ingin rasanya ia memukul kepala Akio dengan sangat keras supaya ia sadar atas apa yang telah ia lakukan dan menghilangkan sifat keras kepala dan keangkuhannya. "Jangan karena doktrin-doktrin dari kakekmu yang telah melekat kuat kepada dirimu membuatmu jadi sosok yang selalu melarikan diri dan memberontak seperti ini. Bahkan penampilanmu lebih tua dari usiamu yang sebenarnya Akio."
"Kau tidak akan mengerti jika berada diposisiku Kazuto," Desis Akio pelan.
"Justru karena aku...," Kazuto tak sanggup melanjutkan kata-katanya melihat ekspresi dingin dan tegang yang ditunjukkan oleh Akio. Ia memilih diam dan membiarkan Akio bangkit dan berjalan menuju balkon apartemennya.
Akio sibuk dengan pikirannya sendiri. Meskipun ia sadar bahwa saat ini sudah mulai memasuki musim dingin di Jepang namun ia tak memperdulikannya. Sepertinya ia membutuhkan pasokan udara yang cukup besar untuk mendinginkan otaknya yang mendadak panas melebihi ketika ia harus berkutat dengan dokumen-dokumen pekerjaan miliknya. Ia benci harus diingatkan akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin keluarga Fujiwara disaat usianya yang sekarang ini masih 21 tahun. Usia dimana seharusnya ia menikmati hari-harinya dengan kebebasan dan keceriaan seperti yang dimiliki oleh Kazuto. Kenapa ia tidak bisa seperti Kazuto? Bukankah beban yang ditanggung anak itu hampir sama dengannya? Ia kembali menatap langit malam yang sedikit berawan. Betapa ia ingin menyadarkan kakeknya alasan mengapa ia menjadi pembangkang dan sering mematahkan hati wanita hanyalah karena ia ingin diberikan kebebasan yang sama seperti halnya Kazuto.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments