Kuperiksa ibu yang pingsan itu dengan segela macam alat tes, dari tes tekanan sampai gula darahnya. Meski aku bukan Dokter umum tapi aku bisa melakukan ini, aku juga biasa melakukan tes itu pada pasienku yang merupakan ibu hamil.
"Keadaannya setabil, mungkin ibu ini hanya pingsan karena kelelahan! Suruh Shana pasang infus Gis!" pintaku pada Gisna.
Shana adalah salah satu perawat di klinikku.
"Shana lagi ngurus ibu Wati yang pendarahan, gue mau USG Ibu Wahyu tadi. Kamu yang pasang yapppp!" Gisna langsung ngeloyor pergi dan aku langsung terpaku.
Tapi tiba-tiba hidungku mencium bau sapiteng yang amat menyengat, aku segera mengkibas-kibaskan telapak tanganku di depan wajahku.
"Itu bau laut, aku baru saja kembali dari tengah laut!" kata Zidane tanpa merasa bersalah.
Aku hanya diam saja, aku berusaha sebisaku agar aku tak kontak mata dengan Zidane meski dia mengoceh panjang lebar.
"Jika kau terus di sini ibu ini akan mati karena bau tubuhmu!" kataku akhirnya.
"Nanti aku ke sini lagi!" kata Zidane.
"Nggak usah!" ujarku.
Dia memandangku dengan pandangan mautnya, tapi aku segera memalingkan wajahku. Segera ku urus masalah infus di depanku, agar Zidane cepat pergi dari klinikku.
"Aku tak perlu ijin darimu!" ujar Zidane, sambil melangkah keluar.
Aku terdiam sejenak untuk mengatur nafasku, karena entah kenapa setiap aku dekat dengan dia. Aku merasakan rasa aneh di dalam diriku.
.
.
Saat berjalan keluar dari klinik Nesa pun, Zidane sepertinya mempunyai perasaan gundah yang sama dengan Nesa. Wajah Zidane yang biasanya penuh dengan kebahagiaan itu entah kenapa tiba-tiba berubah kusut.
"Mas Wakil!" sapa seorang pesepeda motor, berperawakan kurus rambutnya panjang pada Zidane.
"Dari mama Lan?" tanya Zidane yang ternyata kenal dengan orang itu.
"Dari salon! Situ mau pulang?" nada kemayu yang khas itu menunjukkan bahwa si pemilik suara adalah banci, bencong, ngondek dan masih banyak lagi julukan untuk kaum tanpa tulang belakang itu.
"Anter gue ke rumah Mbrongggg!" goda Zidane.
"Kok Mbrongggg, nama eyke sekarang Lallana! L A L L A N A. Lallana Maharani si cantik manjalita!" oceh banci itu.
"Mau kamu ganti namamu itu ampe 10 kali pun! Nama bapak kamu tetep Jambrong!" ujar Zidane yang sudah nagkring di jok belakang motor metik Lallana.
"Cepet antar aku balik!" perintah Zidane.
"Pegangan nanti jatuh!" kata Lallana.
Tanpa rasa malu apa risih Zidane segera melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Lallana.
"Kurus banget kamu Lan!" ucap Zidane di atas motor.
"Rempong ahhhh, nggak denger kuping eyke!" teriak Lallana.
"Jelek amat nasip temen ku ini, udah di takdirkan jadi banci sejak lahir. Sekarang jadi budek juga!" celoteh Zidane lirih.
Zidane dan Denny si Banci Lallana ini sebenarnya satu angkatan dengan Zidane semenjak SD sampai SMU. Mereka berteman sejak kecil karena itu-lah Zidane tak sama sekali tak jijik dengan Denny yang saat ini mengelola usaha salon kecantikan di pasar.
Rumah Zidane memang tak terlalu jauh dari pasar hanya butuh waktu lima menit dari pasar jika naik motor dengan kecepatan sedang.
"Bau banget sihhhh tubuhmu Zidane, kagak tahan eyke!" kata Lallana yang baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah Zidane.
Banci itu duduk di dipan di bawah pohon mangga yang sedang mulai berbunga.
"Aku mandi dulu yaaaa, tunggu di sini! Jangan ngondek!" kata Zidane.
"Akhhhhhh kamu, cepat mandi sana!" usir Lallana.
.
.
Rabu
"Bu Dokter Nesa pesen ayam goreng satu utuh, padahal sudah tutup!" kata Nunu, pria pemilik cafe di mana Zidane sering berkerja.
"Biar aku buatkan!" kata Zidane.
"Terserah kalau kamu mau antar ke sana!" kata Nunu.
"Ok, akan ku antar!" kata Zidane dengan semangat 45.
Nunu adalah teman sekelas Zidane juga, Nunu dan istrinya awalnya selalu merantau ke Luar Negri untuk mencari nafkah. Tapi karena dorongan Zidane, sudah hampir setahun ini kedua suami istri itu menjalankan bisnis cafe itu dibantu oleh Zidane.
.
.
Tok Tok Tok Tok Tok
"Ayam Nunu!" teriak Zidnae. "Bu Dokter!!! Ayam Nunuuuuu!".
"Uyyyyyy Ayam Nunu!" kata Zidane, mulutnya tak mau berhenti memanggil Nesa dan tangannya terus mengetuk pintu rumah Dokter lajang itu.
Jegrekkkkkk
Lagi-lagi yang keluar adalah Gisna, hal itu sebenarnya membuat Zidane kecewa tapi dia tutupi dengan senyuman.
.
.
Kamis
Suasana sore hari yang indah menjadi teman Zidane duduk di depan klinik Nesa dia menikmati pemandangan laut dan langit sore itu dengan sedikit gusar.
Terlihat kedua kakinya yang di posisi jigang itu dia gerak-gerakkan tak beraturan. Zidane segera berdiri saat dua gadis yang dia kenal itu keluar dari dalam banguan dua lantai itu.
Nesa yang merasa ada bau-bau yang di dia kenal segera mencari asal bau khas itu. Si pemilik bau itu sudah menyengir di depan matanya.
"Gis, bahan makanan kita-kan pada habis! Kita belanja sekalian yaaaa!" Nesa segera menarik rekan kerjanya itu ke arah pasar yang saat ini pasti sudah sepi.
Sebenarnya Zidane bisa saja mengikuti Nesa, tapi dia mengurungkan niatnya itu. Zidane memutuskan untuk memberi waktu pada Nesa, gadis kota itu kenapa masih kaget dengan hal sederhana semacam itu.
.
.
Perasaan yang tak dapat kutolak, atau kukendalikan. Perasaan seorang pria terhadap wanita, atau hanya sekedar teman.
Harus kupastikan, aku tak ingin dirundung penyesalan lagi dalam hidup ku. Zidane Sebastian.
.
.
.
.
"Sampai kapan kamu mau menghindari Zidane terus?" tanya Gisna padaku.
Kami baru saja melangkahkan kaki kedalam rumah, tapi sahabatku itu langsung membahas hal sensitif itu.
"Selamanya!" kataku kesal.
"Kelihatannya Mas Wakil tak bisa pisah dari kamu!" kata Gisna.
"Karena itu, aku takut," kataku.
"Kamu takut Mas Wakil cinta sama kamu?" tanya Gisna.
"Iya!" kataku.
Kami akhirnya duduk dan bicara masalah ini diruang tamu.
"Apa kau tau gosip apa yang beredar di desa akhir-akhir ini?!" tanya Gisna dia mulai bercerita dengan nada pengunjingnya yang khas.
"Apa?" tanyaku, aku juga penasaran apa yang terjadi di desa.
"Dokter Nesa itu tak pantas untuk Mas Wakil!" kata Gisna dengan nada mengejek ke arahku.
"Apaaaaa!!! Aku tak pantas untuk Zidane??? Bisa-bisanya.
"Bukannya harusnya Zidane yang tak pantas untukku!!!" kataku geram.
"Apa kau tau jika Mas Wakil itu lulusan terbaik jurusan teknik UI!" kata Gisna.
"UI??? Lulusan terbaik?!
"Sebentar. Kampus UI, bukan salah satu kampus yang ada di Jakarta? Tapi kampus UI???" aku terbelalak kaget.
"Betul!" kata Gisna.
"Jika memang dia lulusan UI kenapa hidupnya sekarang begitu," gumamku.
"Itu adalah sebuah misteri, Mas Wakil menghilang selama dua tahun setelah lulus kuliah!" kata Gisna.
"Kemana dia?" tanyaku penasaran.
"Tak ada yang tau, ada yang bilang dia menjadi mata-mata Negara. Ada yang bilang dia memberantas kejahatan gengster di Ibu Kota.
"Banyak kabar yang beredar, tapi warga Desa tak ada yang tau persis kemana perginya Mas Wakil selama dua tahun itu," jelas Gisna.
Semua orang punya rahasia, begitu juga dengan aku.
Rahasia apa yang coba disembunyikan oleh Zidane???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Gua tau ...
Zidane utu ultramen🤣
2021-09-25
0