Aku terdiam sejenak saat melihat apa yang ada di dalam tudung saji.
"Nggak usah malu-malu Bu Dokter, tapi adanya juga cuma ini lah!" Bu Tari mengambilkan piring dan sendok di rak piring yang letaknya agak jauh dari meja makan ini untukku.
"Ini lebih dari cukup kok, Buk!" kataku sopan.
Mataku berbinar-binar saat melihat sepincuk nasi bancakan yang tersimpan rapi di bawah tudung saji itu. Aku bagaikan menemukan harta karun, saat melihat seongok nasi putih yang bertabur berbagai macam sayuran hijau yang sudah dicampur aduk dengan sambal kelapa. Tak lupa di sampingnya telah bertahta telur rebus yang sudah dibelah menjadi dua bagian, itu menambah rasa lapar di perutku tak bisa ditawar lagi.
Nasi bancakan yang biasanya dibagikan oleh tetangga yang sedang memperingati neton kelahiran itu, mengingatkanku pada ibuku. Sewaktu masih sehat, ibuku rajin sekali mengadakan bancakan untuk memperingati neton kami sekeluarga.
Aku merasa pulang ke rumah lagi saat melihat sepincuk nasi itu, aku merasa benar-benar berada di rumahku yang dipenuhi dengan kehangatan ibuku.
Belom sempat aku meminta ijin pada Ibu Tari untuk memakan nasi dalam pincukan daun pisang itu, sebuah tangan telah menariknya lebih dulu dari pada aku.
Manik mataku segera membidik pelaku pencurian yang tengah beraksi di depanku itu.
"Apa?" tanyanya, dan pelaku yang telah kutangkap basah itu adalah Zidane.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, dia sudah menguleni nasi bancakan itu dengan tangan kosongnya hingga tercampur rata di depan mataku. Cara makan nasi bancakan Zidane sama dengan cara ibuku, meski itu menjijikan tapi rasanya sangat luar biasa enak.
"Kamu mau?" tanyanya.
Aku hanya bisa memasang wajah cemberut dan mengeleng kesal. Karena aku tak mungkin makan, makanan yang sudah diremat-remat oleh tangan orang lain.
Aku mencoba move on dari nasi bancakan yang sudah dimaling Zidane. Mau tak mau untuk menganjal perutku yang sudah perih melilit, aku makan nasi dengan lauk ikan yang dimasak kental dengan santan dan kunyit.
Rasanya tak mengecewakan, tapi aku masih saja kecewa karena nasi bancakan incaranku dicuri oleh Zidane.
.
.
.
.
"Jadi di sini dulu ada puskesmas tapi tutup?" tanyaku pada Ibu Tari.
Saat ini aku hanya berduaan saja dengan Ibu Tari di ruang tamunya, Ibu Nia masih di sini tapi dia tertidur pulas di dalam kamar. Sementara Zidane pergi entah kemana setelah mengisi perut datarnya dengan nasi bancakan yang sangat kuidam-idamkan tadi.
"Hampir semua penduduk di desa ini yang berusia produktif pergi ke kota atau keluar negri untuk bekerja,
"Jadi puskesmas sangatlah sepi, dan tak ada Dokter yang mau diperkerjakan di puskesmas desa ini!
"Masyarakat di sini masih percaya pada dukun dari pada Dokter, itulah sebabnya, para Dokter yang ditugaskan di sini pasti tidak kerasan!" jelas Ibu Tari.
"Sayang sekali ya, Bu! Padahal desa ini mulai ramai sekarang." ujarku.
"Dokter pernah kesini sebelumnya?" tanya Ibu Tari.
"Dulu waktu saya masih kecil ibuku sering mengajakku berlibur ke sini!" jawabku.
"Benarkah?!" Ibu Tari sangat bahagia, mungkin tempat ini memang jarang sekali didatangi oleh orang asing.
.
.
Aku memutuskan akan berjalan-jalan di sekitar tempat ini sampai sore, dulu ibu sering sekali mengajakku berkeliling saat berkunjung ke sini.
Aku berjalan-jalan di pasar ikan yang ternyata cukup ramai sekarang.
"Enam ratus ribu rupiah, nomor dua!
"Nomor empat, enam ratus lima puluh ribu rupiah!
"Ayooo ada yang mau lebih tinggi lagi?
"Ok pemenangnya nomor empat! Silahkan diambil ikannya!" suara itu berasal dari pengeras suara yang digunakan seseorang untuk aktifitas pelelangan ikan di pasar itu.
Dan kalian tak akan menyangka siapa yang memimpin pelelangan itu, orang yang berkoar-koar di mikrofon itu. Orang itu adalah Zidane, dia sudah berganti baju dengan seragam panitia lelang tentu saja.
Aku hanya mengeleng-gelengkan kepalaku tak percaya, baru pagi tadi aku melihat Zidane memandu wisata para turis dan menjadi petugas palang merah siaga waktu menolong Ibu Nia. Dan sekarang dia sudah sibuk dengan pelelangan ikan.
Siapa sebenarnya Zidane itu, apa perkerjaan aslinya???
.
.
Aku melanjutkan langkah kakiku ke arah bukit terjal yang berada di belakang pasar, bukit yang dihiasi oleh arca-arca peninggalan sejarah. Aku hanya duduk diam di atas bukit itu, aku menikmati semua yang pernah kunikmati bersama ibuku dahulu. Dan tiba-tiba aku ingin menelfon ayahku.
Dengan setengah ragu aku mencari nomor ayah di dalam kontak ponselku. Aku menghela nafas panjang agar aku tak gugup saat bicara dengannya.
Sudah lama aku tak datang untuk menemuinya, dengan alasan sibuk bekerja. Tapi saat aku tak sibuk aku malah memilih datang ke kampung indah ini dari pada ke rumah ayahku. Jika ayah tau aku pergi ke sini saat begini, dia pasti sangat kecewa padaku.
"Hallo Ayah!" sapaku.
"Ada apa, Nes? Tak biasanya kamu menghubungi ayah di jam segini!" ujar ayahku, ternyata sifat telitinya memang belum luntur padahal usianya sudah tak muda lagi.
"Hanya mau dengar kabar Ayah, Ayah sehat?" tanyaku.
"Yaaa sehat!"
"Ibu juga sehat?"
"Ibumu sehat kok, Nak! Kamu nggak perlu khawatir, berkerjalah dengan tenang!" kata ayahku.
"Baik Yah! Titip salam ya buat ibu!" kataku.
"Iya, nanti aku sampaikan!"
Kututup panggilan teleponku dan mataku kembali menikmati suasana siang yang menjelang sore ini di atas bukit ini.
.
.
Bolehkan aku bahagia, aku ingin hidup bahagia mulai hari ini.
.
.
Jarum jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 5 sore aku segera turun dari bukit dan menuju pasar lagi. Para pedagang yang didominasi oleh para sepuh dan ibu-ibu itu mulai menutup kios-kios mereka.
Setelah melewati pasar yang riuh aku menemukan sebuah kafe yang terlihat asik. Karena aku merasa kandung kemihku penuh aku memutuskan untuk mampir ke dalam kafe itu sekalian numpang kencing.
Sewaktu aku masuk kedalam kafe itu, aku tak melihat dengan jelas interior atau apa pun karena aku sudah kebelet.
"Mas pesen ice americano satu ya!" kataku pada salah seorang pria yang duduk di meja kasir cafe itu.
"Ok, siap Mbak!" katanya dengan nada sopan tapi bersahabat.
"Ada toilet, Mas?" tanyaku.
"Ohhhh di sana, Mbak!" pria itu mengarahkanku ke arah papan bertuliskan lafas toilet di sebelah kiri dari tempat berdiriku saat ini.
Setelah membuang semua yang tertampung di sistem pembuangan tubuhku, aku pun duduk di salah satu meja yang kosong di cafe itu.
Cafe ini lumayang rame dan sangat astetik karena interiornya yang bergaya jawa vintage tapi tak terlihat kuno atau membosankan.
"Ice americano!"
Segelas tinggi kopi hitam bercampur batu es itu sudah mendarat di depanku, tapi suara khas itu kenapa kembali kudengar.
"Ya, ampun!" pekikiku, saat melihat wajah pelayan yang menghidangkan pesananku.
"Selamat menikmati!" katanya ramah.
Benar dia pelayan itu adalah Zidane, apa dia pernah ke Jepang dan berguru pada Naruto Uzumaki. Kenapa dia bisa ada di mana pun, sepanjang mataku memandang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Maria Kibtiyah
mirip bgt ma drakor htcc... sin min ah sama kim seon ho
2022-09-21
0
Sri Astuti
hahaha ga ada capeknya tu Zidane
2021-10-06
0
first love lin yanjun💕
dia pake kagebunshin no jutsu makanya bayangannya ada dimana2
2021-09-30
0