"Nggak jadi di warteg?" tanya Zidane padaku.
Aku mengajaknya ke sebuah restoran dengan menu bakar-bakaran yang asri. Dengan suasana pedesaan pingir pantai yang indah. Kalian bisa membayangkan makan dengan memandang laut yang begitu indah.
Rasanya seperti di surga. Makan makanan yang enak, dengan pemandangan yang indah serta di temani oleh malaikat tampan. Hidupku benar-benar sempurna detik ini, yappp detik ini saja.
Karena yang di depanku ini bukan-lah malaikat, dia Zidane atau Mas Wakil. Dia adalah manusia biasa, meski banyak hal yang dia bisa lakukan tapi tetap saja manusia pasti punya kelemahan.
"Apa maksutmu?" tanyaku kesal.
Bagaimana aku tak merasa kesal, dia membuka kemejanya di depanku tanpa permisi atau ijin. Meski tubuh kekarnya masih ditutupi oleh kaus tipis tanpa lengan. Bukankah melepas baju di depan wanita, dan keberadaan kami yang bukan di dalam ruangan tertutup, adalah hal yang tak sopan.
"Nggak ada maksut apa-apa! Kalau kamu gerah kamu juga bisa lepas kemejamu!" ujar Zidane.
"Untung aku masih waras." kataku.
"Pertahankan kewarasanmu." desahnya.
"Pasti!" jawabku.
Dia mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling gazebo yang kami pilih untuk makan sore berdua.
"Kelihatannya makanan di sini mahal!" kata Zidane lirih. Tubuhnya juga mencondong mendekatiku.
"Aku yang traktir!" kataku.
"Trimakasih!" katanya tanpa basa-basi.
"Kenapa jika aku di dekatmu, aku mudah merasa kesal?" tanyaku.
Kami pun didatangi oleh satu pelayan sambil membawa satu buku resep.
"Kau merasa begitu, berarti kita sama." ujar Zidane.
"Kalian kesini mau makan apa ngobrol?" tanya si pelayan dengan nada seperti Guru Matematika yang sedang marah
"Makan-lah! Galak banget Nyonya Jepri hari ini!" kata Zidane pada pelayan itu.
"Mbak ini....estttttt,
"Yang sering datang dengan seorang teman!" pelayan yang dipanggil Zidane Nyonya Jepri itu sangat ramah padaku, aku pun membalas keramahan Nyonya Jepri dengan senyuman manis.
"Teman? Siapa???" Zidane ingin tau.
"Gisna! Siapa lagi?" jawabku nyolot.
"Ohhhh!" ujarnya menanggapi perkataanku.
"Bawakan kami makanan yang enak-enak saja." perintah Zidane pada Nyonya Jepri.
"Ok, biar kupilihkan menunya ya!" kata Nyonya Jepri dia pun segera meninggalkan kami.
"Akhhhhhh, apa kau punya lisensi Dokter Kandungan juga?" tanyaku.
Aku sangat penasaran, di kelas tadi Zidane sama sekali tak kagok atau latah dalam berbicara organ-organ dalam bahasa Kedokteran.
"Tidak!" katanya santai.
Dia malah merebahkan tubuhnya di balik meja, sehingga aku harus memajukan tubuhku ke atas meja untuk melihat wajahnya. Aku masih ingin berbincang dengannya.
"Lalu kenapa kau lancar sekali menyebutkan bagian organ-organ tadi?" tanyaku bingung.
"Kita belajar itu sejak SD, siapa yang tak hafal." ejek Zidane.
"Hanya kau, tak ada orang yang hafal pelajaran sekolah setelah lulus!" desahku kesal. Saking kesalnya kulempar tas tangan ku ke perutnya yang datar.
"Akkkkkkk, sakit oyyyyy!" pekiknya.
Tentu saja isinya benda-benda yang cukup berat. Dia pun sampai meringkuk menahan sakit diperutnya. Setelah itu dia bangun dan membuka tas yang tadi kulempar.
"Kenapa kau membukanya!" kataku.
"Berat sekali, kamu bawa batu di dalam tas mewah ini?" tanya Zidane.
Aku memang mengenakan tas bermerk Dior hari ini.
"Kembalikan!" ancamku.
"Astaga, kau membawa payung. Ini musim kemarau!" ujar Zidane.
Zidane mengeluarkan semua isi di dalam tasku ke atas meja.
"Siapa tau, aku tak bisa kehujanan. Jika terkena sedikit air hujan saja, aku bisa demam." jawabku.
"Powerbank sampai 2, ini apa!" Zidane mengacungkan sebuah benda ke udara.
"Pembalut!" kataku.
"Kecil sekali, kupikir k.o.n.d.o.m." ujar Zidane.
Kini kepalanya tergetok oleh gagang payung lipat yang dia taruh di atas meja. Seketika tangannya mengelus kepalanya yang baru saja ku getok.
"Apa kamu Thor, atau jangan-jangan kamu Hulk???" desis Zidane.
.
.
"Nah kan hujan!" kataku pada Zidane. "Untung aku selalu membawa kamu!" kupeluk dan kuciumi payung lipatku.
"Sesayang itu kau pada payung itu?" tanya Zidane.
"emmmmm, dia sudah menemaniku cukup lama!" kataku.
Zidane hanya tertawa mengejekku, kami sudah selesai makan dan hendak pulang. Posisi kami sudah berada di pelataran lestoran yang berhadapan langsung dengan bibir pantai.
Zidane merebut payung itu dariku, kupikir dia mau membuka payungnya. Tapi dia malah berlari di tengah hujan, melarikan payungku yang masih belum dibukanya.
"Zidane kamu gila!" pekikiku. Terpaksa aku berlari mengikutinya di tengah hujan.
Tapi dasar Zidane benar-benar pria tampan yang tidak waras, dia malah berlari ke arah pantai dan bermain air di sana.
Deru ombak laut dan air hujan telah menyamarkan teriakanku, seberapa keras aku berteriak lelaki tampan itu pasti tak bisa mendengarku. Dia terus berlari mengindari aku yang ingin merebut payungku.
Apa aku perlu payung itu lagi, tubuhku sudah basah kuyup. Aku harus bersiap sakit besok.
Langit yang tadi menghitam kini berangsur cerah kembali tapi air keberuntungan ini masih jatuh dengan derasnya.
Jadi aku memutuskan untuk bersenang-senang sejenak dengannya. Senyuman kami merekah di sepanjang hujan itu. Kami berdua yang berlari bebas, melompat di pingir pantai.
Saling mendorong ke arah tengah dan bergulat seperti anak kecil yang bermain. Sejenak kami lupa kalau kami sudah dewasa dan tak pantas melakukan ini. Tapi ini menyenangkan, aku benar-benar merasa sangat senang saat ini.
Aku merasa kembali ke masa, dimana ibuku masih hidup. Di masa ibuku sering mengajakku ke pantai ini untuk bermain air bertiga dengan ayahku.
Zidane bagiku kau seperti ibuku, yang suka bermain denganku.
Ingatan apa ini???
Kenapa aku merasa pernah mengatakan hal itu pada Zidane. Tapi kapan aku mengatakan kata-kata itu???
Tubuhku langsung membeku melihat ke arah Zidane yang masih bermain air pantai di tengah hujan.
"Bagaimana kalau rumah, kau terlihat seperti rumahku.
"Rumah yang bisa ku kunjungi kapan saja. Rumah yang akan menyambutku kapan saja. Rumah yang selalu ada untukku.
"Kau terlihat seperi itu bagiku!"
Aku mengatakan itu, saat aku mabuk di rumahnya. Aku tak hanya menari dan menyanyi, bergelantungan. Tapi aku....
"Kenapa kau begitu sangat manis?"
Aku memegang pipinya saat itu.
Manik mataku tertuju pada Zidane yang berjalan ke arahku dia membuka payung lipatku dan menempatkan benda lebar yang cekung itu di atas kepala kami.
"Ayo kita pulang!" katanya.
Malam itu aku mencium bibir Zidane. Bukan hanya sebuah kecupan tapi aku...
Aku tak kuat mengatakannya pada kalian, rasa maluku sudah sampai ginjal saat ini. Apa aku penjahat s.e.x, kenapa kelakuanku saat mabuk separah itu.
"Ayo!" dia mengambilkan tasku dan memberikannya padaku.
Tapi aku tak bisa semobil lagi dengan dia, aku tak bisa lagi berada di dekat dia. Setelah aku menciumnya seperti itu, aku bukan maniak.
"Apa kau bisa pulang sendiri, aku baru ingat aku punya urusan di tempat lain!" kataku.
Langkahku segera meninggalkannya, ini pertama kalinya setelah 10 tahun aku berjalan di bawah hujan dengan suasana hati yang kacau balau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Elah..
uda menang besar, mana ada nyesel..
2021-09-22
0