Aku merasa sedang ditipu oleh Zidane, karena aku sekarang ini sedang duduk di depan pemilik dua bangunan yang akan kusewa untuk klinik dan tempat tinggalku.
Aku sekarang berada di kediaman Ibu Tari, pemilik rumah yang pernah menjadi setting kita saat menolong Ibu Nia yang pendarahan karena kecelakaan.
"Jadi dua bangunan itu milik Ibu?" tanyaku, aku tak langsung nyolot meski sudah merasa ditipu.
Ibu Tari hanya mengangguk dengan wajahnya yang keibuan dan ramah itu.
Yang membuatku tak mau percaya dengan kondisi yang kuhadapi kini adalah
Apa mereka bodoh???
Aku ini dokter!!!
Mereka mau menipu seorang dokter?!
Mereka pikir mereka siapa?
Aku yakin kalian juga akan merasa ditipu dan dikerjain oleh pria tampan dan ibu-ibu rumah tangga ini, jika kalian ada di tempatku saat ini. Perasaanku yang tadinya sudah membaik kini kembali berubah suram kembali.
Sepertinya aku sudah salah datang kemari untuk mencari perlindungan, karena belum apa-apa aku sudah mau ditipu oleh penduduk di sini.
"Bagunan dua lantai di dekat pantai itu awalnya ingin dibuat Ibu Tari untuk membuka lestoran. Tapi saat Ibu Kepala Warga ini tau Dokter mau membuka klinik di sini, dia langsung mau menyewakannya padamu!" jelas Zidane.
"Ibu Kepala Desa?" tanyaku kaget.
"Bisa dibilang begitu, karena daerah pesisir kami ini sangat jauh dari pusat kota makanya diabaikan dan kami warga desa mencoba membangun desa pesisir ini kembali!
"Dan semua warga setuju saya menjadi ketua dan Zidane sebagai wakil persatuan kami!" jelas Ibu Tari.
"Ohhhhhh." kataku kagum, ternyata mereka mempunyai tujuan yang mulia sekali.
"Gimana, jadi mau nyewa nggak. Aku harus berkerja di cafe!" kata Zidane dengan nada songong.
"Ok!" kataku.
Karena aku tak mungkin meraih tangannya jadi aku menginjak kakinya di bawah meja untuk memberi tanda agar semua dokumen diurus saat ini juga.
"Apa kamu punya hobi menyiksa pria-pria tampan?" tanya Zidane, kakinya pasti sakit karena injakanku cukup keras.
"Bisa dibilang begitu!" kataku dengan senyumanku yang paling manis.
.
.
.
.
Setelah mengurus semua dokumen sewa menyewa dan pembayaran aku mengikuti Zidane ke arah cafe tempat dia berkerja dengan berjalan kaki.
"Kau yakin bisa membereskan masalah renovasi?" tanyaku, sebenarnya aku tak mau percaya pada Zidane lagi tapi lisensi-lisensi yang dia punya membuatku berpikir lain.
Jika aku memanggil tukang renovasi dari kota pasti akan menambah biyaya.
"Akan ku buat sesuai keinginanmu!" katanya santai.
"Kau yakin bisa melakukannya?" tanyaku masih tak percaya.
"Kamu nggak percaya?" tanyanya, dia berhenti di depanku secara mendadak.
"Ok aku serahkan padamu masalah renovasi, tapi apa kau benar-benar seorang barista juga?" tanyaku dengan tatapan yang menyelidik.
"Kau pernah minum kopi buatanku."
"Pianis, gitaris?" tanyaku dengan ekspresi yang penuh antusias.
"Itu hanya lisensi mengajar." jawabnya.
"Apa kau bukan manusia?" tanyaku.
Mata indahnya langsung menatap tajam ke arahku, dan hal itu sukses membuatku membeku. Wajahnya yang tampan maskulin itu seakan menyemburkan es abadi untuk menahan semua pergerakan tubuh dan otakku.
"Apa aku seperti malaikat?" tanyanya dengan senyuman yang manis. Seketika itu detak jantungku berhenti berdetak, dan paru-paruku seakan berhenti berkerja memompa oksigen.
"Lebih mirip, vampire sih menurutku!" kataku.
Dia tersenyum lagi, dan dia segera menatap matahari yang bertengger tepat di atas kepala kami.
"Aku manusia!" katanya dia masih tersenyum dengan manisnya.
"Lalu bagaimana kau mendapat semua lisensi itu?" tanyaku.
"Tentu saja aku berusaha untuk mendapatkannya!" jawabnya.
.
.
Hari itu aku kembali lagi ke Jakarta dengan perasaan yang berbeda, aku mendapatkan nomor telepon Zidane jadi untuk urusan renovasi aku tinggal menghubunginya via telepon.
Di Jakarta aku mulai menjual semua aset yang ku punya, aku harus benar-benar harus fokus menjadi Dokter di tempat terpencil itu. Tiba-tiba jiwa Patriot ku muncul, aku ingin mendedikasikan hidup dan keahlianku untuk desa terpencil itu.
Ternyata Zidane hanya butuh waktu seminggu untuk menyelesaikan renovasi di kedua tempat yang ku sewa. Gambar-gambar hasil kerjanya juga terlihat bagus dan tak mengecewakan di mataku.
Urusan Gisna dengan keluarganya di Bandung juga sudah selesai, dengan penuh semangat dan harapan kami pun pergi ke desa pesisir itu.
Semoga hidup baru yang kupilih ini, akan membuatku ke dalam lingkaran kebahagian yang sebenarnya.
.
.
.
.
Hidup adalah tentang pilihan, tapi pilihan hidup itu juga adalah sebuah takdir.
Ada orang yang jalannya sangat mulus di awal hidupnya, sehingga orang itu bisa berlari dengan kencang. Tapi di ujung jalan hidupnya hanya ada jurang yang menyambutnya.
Ada juga orang yang terus berjalan meski jalan yang dia lewati sangat terjal dan berbatu.
Ada juga orang yang berjalan lurus tanpa berbelok, dan ada yang hanya berbelok tak pernah lurus.
Tak ada yang bisa menebak jalan hidup seseorang, jadi aku memutuskan untuk menjalani jalan hidupku dengan sebaik mungkin.
Aku akan melewati rintangan apa pun yang akan menyambutku, karena aku adalah Vanesa Intan yang tak akan takut akan apa pun lagi.
.
.
Kami sampai di rumah yang ku sewa setelah tengah malam, jadi aku dan Gisna memutuskan langsung mendaratkan tubuh capek kami ke atas pulau kapuk.
Rumah yang ku sewa ini hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi, aku memang memilih hunian yang tak luas agar aku tak kesusahan saat membersihkannya. Karena aku tau Gisna adalah manusia paling malas jika disuruh bersih-bersih.
Barang-barang besar memang sudah datang kemarin dan aku meminta bantuan Zidane untuk menata beberapa sebelum kami tiba di rumah ini. Kelihatannya aku tak perlu khawatir dengan hasil pekerjaan Zidane, semua sesuai ekspetasi dan dia memasang tarif yang murah.
Zidane benar-benar sosok pria yang bisa kuandalkan di tempat terpencil ini, bagaimana jika tak ada orang seperti dia. Hidupku mungkin akan semakin berantakan.
.
.
Pagi sudah menjelang Gisna sudah berada di teras rumah ini dengan wajah yang penuh dengan kekaguman.
"Ini surga Nesss!" pekik Gisna dengan nada yang sangat bahagia.
"Bagaimana."
"Aku seperti tinggal di Bali!" gadis sunda bermata hitam legam itu tampak sangat bahagia tinggal di sini.
Aku sudah menebaknya, Gisna pasti akan suka dengan tempat ini. Tapi satu-satunya yang membuatku merasa bahagia di sini adalah...
Zidane???
Aku pasti sudah gila.
"Bagaimana, apa kalian suka tinggal di sini?"
Baru saja wajah itu merasuk dipikiranku kini malah nongol di depan muka ku.
"Kau pasti yang namanya Zidane, gebetannya Nesa?!" kata Gisna, seketika aku langsung menempeleng kepala Gisna sampai gadis sunda itu hampir tersungkur.
"Kampret, bicara apa sih kamu Gisna?" kataku kesal, meski baru saja ku tempeleng. Aku masih berbaik hati menarik pergelangan tangan Gisna, agar wajahnya itu tak mencium tanah pekarangan rumah baru kami.
Ekspresi wajah Zidane yang memandangku penuh makna membuatku juga salah tingkah.
Jangan bilang dia percaya dengan ocehan Gisna tadi. Tamatlah riwayatku.
"Jika kau butuh bantuanku, telpon saja nomer ponselku" katanya, sepertinya dia tau kalau saat ini aku ada di posisi yang kurang nyaman untuk ngobrol banyak dengannya. Jadi dia pamit pergi.
"Kamu mau mati Gis?" tanyaku tanpa melihat wajahnya.
"Nggak Nesa!
"Ngomong-ngomong seleramu memang bagus, lihat wajah dan postur tubuhnya....Itu sempurna sekali!" kata Gisna dengan nada lebay, aku segera melirik tajam ke arah matanya untuk menyuruhnya diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
gua bukan pemalas..
2021-09-12
0
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
Terus itu si Zidane mau ngapain ke situ kalo cuma mau nanya betah apa kaga, sama ngasih tau suruh hubungi nomornya doang 🙄
2021-09-11
1