Aku memandangi layar ponselku tanpa henti, gerakan naik dan turun jemariku di layar datar itu seolah bisa membantuku merubah jalan hidupku. Aku hanya punya 1 harapan saat ini, aku ingin Dokter Kenma meminta maaf padaku dan memohon agar aku kembali ke Rumah Sakit.
Harapan memang tak pernah sesuai dengan kenyataan. Orang arogan yang mata duitan seperti Dokter Kenma tak akan pernah melakukan itu meski lehernya dikalungi oleh sebilah pisau. Dan bodohnya aku masih duduk di sini menanti hal yang tak mungkin menjadi itu.
Rasa penyesalan sudah menumpuk di dalam hatiku, meski aku tau bagaimana cara memperbaikinya tapi aku tetap diam.
Entah aku tak ingin memperbaikinya.
Atau.
Aku takut menghadapinya.
Meski aku ingin lari, aku harus lari kemana. Jika aku ingin tetap tinggal, apa yang ingin kupertahankan. Aku bingung, dan aku baru sadar jika aku tak punya siapa pun. Tepatnya aku tak ingin punya siapa pun.
.
.
Kluntiangggggg
Ponselku akhirnya berbunyi.
Secepat kilat kusahut benda berwarna glod rose yang tipis itu.
Manik mataku melebar, aku baru ingat kalau ini adalah bulan Januari. 18 Januari, adalah hari ulang tahun mendiang ibu kandungku.
Ponselku berbunyi bukan karena pesan, tapi karena penanda waktu untuk ulang tahun mendiang ibuku.
Aku segera berdiri. Langkah kakiku berhenti di depan rak di ruang TV rumah ku. Aku membuka salah satu laci yang paling bawah dan kuambil album foto bersampul coklat tua yang usang.
Aku membawanya ke sofa, ku buka lembar demi lembar tebal itu. Album ini adalah album foto ibuku, aku dan ayahku. Foto-foto yang ada di dalam buku album ini diambil saat kami berlibur ke sebuah daerah pesisir yang cantik.
Itu adalah hari terakhir aku bersama ibuku, setelah dari tempat yang cantik itu ibuku tak bisa bangun lagi dari ranjang Rumah Sakit. Ibuku meninggal satu bulan setelah hari bahagia itu.
Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
.
.
.
.
Aku berkendara dengan mobil BMW ku sendirian untuk sampai ke Pantai Ngobaran. Pantainya sama sekali tak berubah hanya semakin ramai dengan pengunjung.
Karena aku berangkat siang kemarin aku sampai di pantai ini pagi menjelang siang. Setelah 15 jam aku menyetir sendirian akhirnya aku sampai juga di tempat indah ini.
Aku merasakan bau anginnya masih sama seperti dulu, terumbu karang yang indah dapat kulihat dari pingir pantai ini karena airnya yang jernih kebiruan yang indah.
Kulepas heels coklat yang kupakai lalu kutenteng sepatu merek Chanel itu di tangan kanan ku, aku ingin merasakan sensasi berjalan di atas pasir seperti ketika aku masih kecil dulu.
Ada beberapa wisatawan asing yang melakukan aktifitas snorkeling didampingi oleh salah pemandu wisata mereka. Semua orang yang ada di tempat ini terlihat sangat ceria dengan senyum lebar yang menghiasi wajah mereka.
Seandainya setiap hari aku bisa melihat ini.
Aku juga tak bisa berhenti tersenyum saat ini, tiba-tiba saja hatiku merasakan perasaan damai yang tiada habisnya. Aku benar-benar ingin berada di sini untuk waktu yang lama.
Kenapa aku tak punya tempat untuk pulang, ayahku menikah lagi setelah kematian ibuku dan aku tak ingin menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga mereka. Anak perempuan dari pihak lelaki adalah penguasa setelah ibunya meninggal, hal itu selalu menjadi pertengkaran di antara ayah dan ibu tiriku.
Sebab itu setelah lulus SMA aku memutuskan tinggal sendiri dan memilih kampus yang jauh dari tempat tinggal ayah, aku tak mau menggangu kebahagia mereka.
Karena semua orang berhak bahagia.
Tampaknya, kecuali aku.
"Nona!!!
"Hayyyy cewek berbaju kuning!" teriak suara maskulin dari arah belakang ku.
Aku segera berputar karena saat ini aku mengenakan baju berwarna kuning.
Stop, apa dia manusia...
Kenapa dia seperti seseorang yang berasal dari planet lain.
"Ini sepatumu kan?" tanyanya, pandanganku segera beralih dari wajah tampan itu ke arah tangan kirinya.
"Iya....
"Akhhhhhhhhhh
"Aku meninggalkannya! Trimakasih!" segera kuambil sepasang sepatu itu dari tangan pemuda itu.
Dia memutar tubuhnya tanpa menyahut perkataanku, dia pergi meninggalkan gadis cantik yang bertalenta sepertiku seorang diri di tengah pantai indah ini.
Aku hanya bisa tersenyum kosong, dan tak percaya dengan situasi ini sampai aku mendengar suara burung gagak sebagai background suara.
Kakkkkk kyakkkkk kakkkkk kakkkk
Seorang Vanesa Intan dicuekin cowok.
.
.
Hari menjelang siang, dan aku lapar. Aku pergi dari area Pantai Ngobaran menuju di mana aku memarkirkan kendaraan mewahku.
Saat aku hendak menyebrang jalan menuju parkiran, aku melihat beberapa orang bergerombol merubung sesuatu.
Mataku kembali terpaku saat aku melihat wajah manis itu lagi, wajah lelaki yang sangat baik hati tadi. Pria yang telah mengembalikan sepatu bermerekku, entah dia tak tau kalau sepatu ini mahal atau karena dia memang orang yang baik. Entahlah, aku hanya yakin kalau dia baik karena wajahnya itu.
Lagi-lagi aku menilai orang dari wajahnya.
Wajah pria muda itu tampak cemas, dia sedang membopong seorang wanita yang terlihat hamil. Aku juga bisa melihat noda darah di baju wanita hamil itu.
Insting Dokterku pun membuat tubuhku berjalan mendekati arah pria itu membawa ibu hamil itu.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Minggir, kamu nggak tau kondisi ya?!" bentaknya.
"Saya adalah Dokter Kandungan, kelihatannya ibu ini mengalami benturan di area perutnya sehingga mengalami pendarahan!" diagnosaku. "Kita bawa ke Rumah Sakit terdekat saja!" lanjutku.
Karena melihat ibu muda itu tampak kesakitan sekali.
"Mas Wakil! Bawa saya ke tempat Mbah Miyah saja!" kata ibu muda itu dengan nada lemas.
"Siapa Mbah Miyah?" tanyaku.
"Dukun bayi di daerah sini.
"Kita butuh waktu tiga jam untuk ke Ruamah Sakit!" jelas lelaki yang di panggil Mas Wakil oleh ibu muda itu.
"Bawa ibu ini ketempat yang nyaman!" perintahku.
Mas Wakil yang tampan itu pun segera menuruti apa yang kuperintahkan.
Aku mengambil note book dari dalam tasku, sambil berjalan setengah berlari aku menulis beberapa alat medis dan obat-obatan yang mungkin bisa kugunakan untuk menolong ibu muda itu.
Mas Wakil membawa ibu hamil itu kesebuah rumah warga.
"Yaaaa ampun Nia....Kenapa dia!" pekik ibu pemilik rumah itu.
Apa ibu ini keluarganya, aku sama sekali tak tau. Mungkin iya. Karena tanggapannya yang sangat ramah, dan segera membukakan korden kamar tidurnya agar Mas Wakil bisa menidurkan Ibu Nia dengan nyaman.
"Tolong pergi ke Apotik dan beli apa yang kutulis di kertas ini!" perintahku pada Mas Wakil.
Aku segera masuk ke dalam kamar bilik yang sempit itu dan segera ku periksa denyut nada Ibu Nia dengan cara manual, karena aku tak membawa stetoskop.
Denyut nadi Ibu Nia masih normal, tapi darah dari dalam kandungannya masih saja mengalir.
"Bagaimana ini, Nia...." Ibu pemilik rumah mulai merintih sedih.
____________BERSAMBUNG___________
Jangan lupa Vote, Komen dan Like ya teman-teman❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Aini
kluntiiiaaanggg suara hp mu mengalihkan duniaku 🤣
2021-11-13
0
KOwKen
brojol nih brojol
2021-10-14
0
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Wakil??
Keabisan nama hapah, Sri??
2021-08-31
1