Zidane tampak bingung dengan apa yang dilakukan oleh Nesa saat ini.
"Apa dia sudah ingat?" tanya Zidane pada rintik hujan yang masih setia jatuh kebumi yang telah asri ini.
Pria itu tampak hanya terdiam dan menahan semua gejolak di dalam dadanya.
Di bawah payung saat hujan turun, dia meninggalkan diriku dengan beberapa rasa takut yang menyelimutiku. Zidane Sebastian.
Hari masih terang saat langkah kaki itu memasuki pekarangan rumahnya, Zidane mencoba tersenyum sebisa mungkin. Yaaaa senyumnya masih tetap merekah di wajah tampannya, tapi senyuman itu tak seindah dan semanis biasanya.
Mandi adalah hal penting setelah kehujanan, setelah selesai mandi pria berbadan tegap itu beraktifitas di dapur. Dia harus menghangatkan dirinya dengan secangkir wedang jahe hangat.
"Apa Nesa sudah pulang?" tanya Zidane pada ceret yang duduk nyaman di atas kompor yang menyala.
Lelaki itu keluar dari dapurnya dan menuju ruang tamu dimana dia meletakkan tas ranselnya. Dia mencari ponselnya dan berjalan kembali ke dalam rumahnya.
Kau harus mandi setelah kehujanan.
Zidane mengetik kalimat itu di kolom kirim pesannya. Tapi dia mengapusnya kembali.
"Tentu saja dia akan mandi!" kata Zidane, dia pun meletakkan poselnya di meja bacanya.
Tapi saat dia meletakkan ponselnya pandangannya tertuju pada sebuah buku di rak. Tangan kanannya segera mengambilnya, halamannya dia buka dengan cepat. Sampai sebuah foto muncul di sela-sela halaman buku itu.
Sebuah foto seorang gadis yang duduk bersanding dengan seorang pria, senyum keduanya begitu merekah indah.
Manik mata Zidane memerah, kesedihan sepertinya sedang menyelimuti dirinya saat ini. Foto itu seperti menyimpan memori yang dalam bagi pria yang terlihat selalu ceria itu.
.
.
"Daaaaeeeebakkkkkk! Kamu nyium Zidane saat mabuk di rumahnya?" tanya Gisna pada Nesa.
"Iya," Nesa terlihat begitu lemas saat ini, wajahnya pun dia tekuk karena kusut.
"Nesa, kamu tak bisa dipercaya!" kata Gisna.
"Tutup mulutmu," Nesa masih terlihat lemas.
Tiba-tiba rasa ciuman yang sempat kulupakan itu kembali terasa di kulit bibirku. Bayangan itu terus datang dan menghantam dadaku hingga ingin rasanya aku bunuh diri.
Kenapa aku bisa melakukan ciuman sepanas itu, itu ciuman pertamaku. Aku harus menghindari mahluk bernama Zidane itu, karena saat aku di dekatnya aku pasti akan hilang kendali atas diriku. Aku tak boleh melakukan kesalahan ini lagi, aku benar-benar harus menjauhinya seumur hidupku.
.
.
"Paket!" teriak Zidane di depan pintu rumah Nesa, lelaki itu terus menelisik suara yang dapat dia dengar.
"Oyyyyyy Dokter Nesa, paket!" Zidane masih saja berteriak kencang.
Jegrekkkkkkkk
"Mas Wakil juga ngantar paket?" tanya Gisna yang baru saja keluar dari dalam rumah.
"Ini paket untuk Dokter Nesa!" kata Zidane.
"Biar aku saja yang terima," kata Gisna.
"Ohhhh ok!" kata Zidane dengan agak kecewa.
Padahal Zidane ingin melihat wajah Nesa pagi ini, apa wanita keras kepala itu baik-baik saja setelah kehujanan. Tapi mau tak mau Zidane menyerahkan paket itu pada Gisna.
"Dokter Nesa baik-baik saja?" tanya Zidane. "Apa dia sedang sakit?" tanya Zidane lagi, dia terlihat sangat khawatir.
"Tidak, dia baik-baik saja. Hanya saja saat ini mentalnya sedang terganggu," ujar Gisna agak kesal.
Bagaimana tidak kesal, dia masih enak-enak bermimpi indah. Malah dia dibangunkan oleh Nesa hanya untuk menerima paket. Ini hari minggu dia ingin tidur seharian karena kekasihnya yang di kota sedang punya jadwal terbang.
"Begitu yaaaa," Zidane terdiam sejenak. "Kalau begitu aku pergi!" kata Zidane lagi.
Setelah keluar dari halaman Nesa Zidane bergumam kesal. "Apa menciumku, bisa merusak mental orang itu?".
.
.
Hari Senin.
Setelah dari pelelangan ikan, Zidane pergi ke lestoran mie ayam milik Pak Santoso di dekat pasar. Dia makan dengan lahapnya.
Warung mie ayam yang hanya beratap tepal biru ini memang tampak sederhana, tapi rasanya dijamin nagih.
"Sus, ini antar ke klinik Bu Dokter!" suruh Pak Santoso pada anak gadisnya.
"Capek Pak, udah berapa kali aku ngantar!" kata Susi dengan nada ingin menangis.
"Kamu disuruh orang tua!" Pak Santoso mulai naik pitam.
"Biar aku aja Pak!" ucap Zidane. "Lagian aku juga mau kesana, ada urusan sedikit!" Zidane jelas berbohong pada Pak Santoso.
"Bener Dan? Nggak papa ini?" tanya Pak Santoso.
"Enggak papa!" Zidane menyahut dengan santai.
Zidane segera berjalan menyusuri ruko-ruko di pinggir pasar itu dan dia segera masuk ke dalam klinik milik Nesa.
"Mie ayam Pak Santoso!" kata Zidane saat masuk.
Ruangan depan itu saat ini hanya ada Nesa dan Gisna yang sedang menyusun kertas-kertas.
"Aku harus ke toilet Gis!" kata Nesa.
Wanita berjas Dokter itu segera pergi dari ruangan itu, Gisna hanya bisa tersenyum kecut ke arah Zidane.
Kelakuan Nesa yang aneh membuat Zidane tersenyum kesal, rasanya dia seperti dihina. Apa berciuman denganya terasa seburuk itu, tapi mungkin Nesa hanya malu. Tapi kenapa Nesa terus menghindarinya dengan sangat jelas begini.
"Kok yang ngantar Mas Wakil, kemana Susi?" tanya Gisna ramah.
Dia langsung berdiri dan menerima kantung kresek yang disodorkan oleh Zidane.
"Susi sibuk tiktokan!" jawab Zidane.
"Trimakasih ya Mas Wakil!" sekali lagi Gisna mengucap dengan sopan sambil memberikan uang untuk membayar mie ayam yang sudah ditangannya.
.
.
Hari Selasa.
Pagi menjelang siang, Zidane turun dari kapal yang baru saja berlabuh, dia melepas sepatu butsnya dan mengenakan sendal jepit hitam kesayangannya.
Dia mencium ke arah bahunya, dan dia memejamkan matanya karena bau tubuhnya sangat menyengat sekali saat ini.
"Akhhhhh sedap sekali," gumamnya sambil menyeryitkan hidungnya.
"Hari ini siang banget?" tanya Pak Kades yang sudah siap dengan pakaian lelang.
"Bapak nggak tau ada badai semalam, kapal kami hampir terbalik!" kata Zidane.
"Badai dimusim Kemarau, mimpi
kamu ya Dan? Pulanglah, biar aku sendiri yang ngurus pelelangan!" suruh Pak Kades.
"Yakin?" tanya Zidane dengan nada jenaka.
"Udah balik sana! Tidur yang nyenyak, jangan mimpi sambil jalan lagi!" kata Pak Kades.
"Siap Pak, perintah saya laksanakan!" kini Zidane memberi hormat dengan nada serius bak seorang petugas Polisi pada atasannya.
"Udah balik sono!" Pak Kades yang sudah kesal dengan tingkah Zidane pun mengambil satu ikan di dalam bak di dekatnya dan hendak dia lempar ke arah Zidane yang sudah berlari kencang.
Saat berlari Zidane melihat seorang ibu dengan tubuh gempal berjalan terhuyun, lalu ambruk begitu saja di pinggir jalan pelabuhan itu.
Tak butuh waktu lama Zidane sudah membopong tubuh seberat 70 kg itu ke klinik Nesa.
"Kenapa dia?" tanya Nesa yang baru saja keluar dari dalam ruangan periksanya.
"Dia pingsan di pinggir jalan!" kata Zidane.
"Cepat bawa ibu ini ke ruang rawat!" perintah Nesa.
Zidane dan Gisna segera melarikan ibu yang pingsan itu ke arah ruangan rawat.
"Maaf ibu-ibu, bapak-bapak saya harus memeriksa ibu yang pingsan itu dulu!" kata Nesa pada para pasiennya yang sudah menunggu.
"Enggak papa Dok, silahkan!" kata para pasien Nesa yang ternyata baik hati semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments