Aku segera duduk di samping Ibu Nia, kuberi bantal tambahan di kepalanya agar dia nyaman.
"Dokter, sakit Dokkkkk!" pekik Ibu Nia.
Kusentuh dahi dan beberapa bagian tubuh wanita hamil yang sudah berbaring di depanku itu, tubuh berbadan dua itu sudah mengeluarkan keringat dingin yang cukup banyak.
Aku mencoba meraba perut buncitnya dan kucari dimana letak janinnya. Janinnya di kiri, aku segera mendekatkan telingaku di perut bagian kiri Ibu Nia dan perlahan-lahan aku bisa mendengar suara detak jantung kecil itu.
Dek
Dek
Dek
Dek
Dek
Semakin lama aku semakin bisa merasakan keadaan janin di dalam kandungan Ibu Nia, janin itu baik-baik saja. Detak jantung janin Ibu Nia masih sangat kuat, dan aku pun tersenyum senang.
"Janin anda baik-baik saja kok, Buk Nia!" kataku dengan nada senang, aku juga ingin menghiburnya.
"Saya akan memeriksa anda di bagian bawah dan mencoba menghentikan pendarahan sebentar lagi setelah Mas Wakil membawakan alat yang saya butuhkan.
"Agar anda rileks ikuti saya ya, Bu!" perintahku. "Coba ibu ambil nafas lalu buang perlahan-lahan!
"Lagi, Bu!" kataku.
"Ayook Nia, lakukan apa yang Mbak Dokter ini bilang!" kata Ibu pemilik rumah.
Nia mulai melakukan apa yang kusuruh, kami bertiga melakukan latihan pernafasan bersamaan. Sampai telingaku penuh dengan suara riuh yang mulai berdatangan.
Suara-suara itu mulai terdengar jelas sampai beberapa ibu-ibu desa itu dengan tanpa ijin masuk kedalam kamar yang sempit ini.
"Maaf ibu-ibu, tapi anda semua harus keluar!" kataku.
Wajah polos kusam yang tak dilindungi oleh tabir surya atau pun sapuan make up itu malah memasang tatapan yang mengintimindasi ke arahku.
Nyolot sekali mereka semua.
"Siapa kamu?" tanya seseorang wanita renta yang pasti tua. Wanita berambut sepenuhnya putih itu masih mengenakan kebaya dan jarik tapih khas perempuan jawa.
Penampilannya memang cukup mencolok karena kebaya dan tapihnya itu. Karena ibu-ibu dan mbah-mbah yang lain sudah mengenakan pakaian moderen meski tak rapi dan katrok.
"Saya Dokter Kandungan!" jawabku.
"Oh Bidan!" timpal ibu tua itu.
"Saya Dokter Nek, bukan Bidan!" tandasku.
"Sama saja!" katanya dengan nada meremehkan.
Wanita tua renta itu mengeser tempat duduk ku dan dia mulai mengelus perut Ibu Nia yang sudah mulai rileks. Tanpa aba-aba, tangan renta penuh keriput itu malah memijat perut buncit Ibu Nia dengan keras.
"Akkkkkkk, sakittttt!" tentu saja Ibu Nia berteriak keras.
"Maaf, siapa pun Nenek! Nenek harus keluar sekarang!" kataku tegas.
"Kamu nggak lihat saya sedang membenarkan posisi janin Ndok Nia?" kata ibu tua renta itu dengan bahasa jawa yang medok. Tapi kutulis pake bahasa indonesia aja ya biar gampang dan mudah dimengerti.
"Ibu Nia baru saja mendapat trauma benturan di perutnya, saya belum melakukan USG pada janinnya. Bisa saja pendarahannya di sebabkan sobeknya dinding rahim atau pecahnya ketuban.
"Jika anda memijat perut wanita hamil yang terluka sekasar itu, luka dalam yang awalnya kecil bisa melebar.
"Ketuban akan pecah sebelum kontraksi dan hal itu bisa menyebabkan kematian janin atau bahkan ibu yang sedang mengandung!" jelasku, semua mata songong itu kembali menatap ke arahku.
"Jadi Bidan belum lama saja sudah sombong! Sok ngajari saya!!!
"Saya itu sudah 40 tahun jadi dukun bayi, kalau posisi bayi tak dibenarkan, Nia akan susah melahirkan nanti!!!" bibir tua yang mengelambir karena keriput itu mulai mengumpat, tak usah kutulis lah yaaa umpatannya...menodai jariku saja.
"Saat saya memutuskan akan merawat Ibu Nia, maka saat itu saya sudah mempunyai tangung jawab atas nyawanya!
"Saya adalah seorang Dokter! Nyawa pasien saya adalah nyawa saya juga, itu adalah prinsip saya!" kataku.
Orang tua itu masih saja bergumam dengan umpatannya.
"Mbah Miyah!" panggil sebuah suara yang entah kenapa sudah akrab di telingaku.
Lelaki yang dipanggil Mas Wakil itu ternyata sudah ada di depan pintu kamar sempit ini. Dia berjalan ke arahku, melewati mbah-mbah dan ibu-ibu rempong yang jumlahnya bijian. Tangan kekarnya segera menyodorkan kantong kresek hitam padaku, tanpa memandangku.
"Kenapa kalian semua di sini?!" kata pemuda itu dengan nada yang sangat ramah.
"Bagaimana bisa Nia kecelakaan?" tanya seorang wanita tua lainnya.
"Kita bicara di luar, biar Mbak itu merawat Nia!" kata Mas Wakil itu.
"Tapi,...!"
"Ayang Miyah yang beautipul, mau kugendong?!" kata Mas Wakil dengan nada manja ke pada pacar.
Aku tak tahan untuk menahan tawa. Tapi tawa mengejekku tak didengar mereka semua, karena semua orang juga tertawa geli karena perkataan Mas Wakil pada Mbah Miyah itu.
Tangan renta itu memukul pelan dada bidang Mas Wakil, aku bisa melihat wajah tua nan songong Mbah Miyah tadi bisa berubah merona malu-malu juga ternyata.
"Nggak mau?" Mas Wakil masih saja terus mengoda Mbah Miyah Si Dukun Bayi 40 tahun yang sudah baper itu.
"Kamu itu sudah dewasa Zidane, jangan mengoda mbah terus!" kata Mbah Miyah wajah tua yang tadi sangat kubenci itu akhirnya tersenyum manis.
Jadi namanya Zidane, kenapa dia bisa dipanggil Mas Wakil. Wakil apa dia...
Dan anehnya semua orang keluar mengikuti kepergian Zidane, ternyata bukan hanya aku yang lemah pada ketampanan. Seluruh ibu-ibu dan mbah-mbah di sini pun sama.
Aku yang sudah mendapat ruang yang lapang, segera menangani pendarahan Ibu Nia.
"Kurasa tak terjadi luka yang parah, hanya guncangan yang menyebabkan pendarahan!" kataku.
"Rasanya juga sudah tak sesakit tadi kok, Bu Dokter!" ujar Nia, wajahnya yang pucat kini sudah kembali berseri karena cairan infus membantunya pulih.
"Kusarankan, jangan melakukan aktifitas yang berat dulu. Lagi pula kandungan anda sudah masuk di bulan ke delapan pasti juga susah untuk beraktifitas," nasehatku.
"Iya Bu Dokter!" jawabnya dengan bibir tersenyum.
Aku melepas sarung tangan lateks yang tadi kukenakan saat memeriksa jalan lahir Ibu Nia, aku harus memastikan tak terjadi pembukaan dini.
"Trimakasih ya Bu!" kata Nia dengan senyuman yang lega.
"Sama-sama, Ibu Nia! Sebaiknya anda pulang setelah air infus ini habis!" kataku.
"Dokter mau kemana?" tanya Ibu Nia.
"Perut saya lapar!" kataku lirih sambil tersenyum malu.
"Bude Tari!" teriak Ibu Nia.
Aku terbelalak kaget karena teriakan sekali tarikan itu cukup keras. Dia adalah wanita hamil yang baru saja mengalami pendarahan, meski tak parah. Tapi kenapa suaranya seperti petir di siang bolong.
"Iya Nia!" suara sahutan yang kudengar pun juga hampir memecahkan gendang telingaku.
Apa mereka sedang berada di tengah hutan, kenapa berteriak sekeras itu hanya untuk memanggil.
"Masak nggak, Ibu Dokter kelaperan ini!" kata Ibu Nia.
Wajahku pasti sudah mirip buah ceri sekarang saking merahnya. Betapa malunya diriku baru saja aku seperti dianggap seorang seorang pengemis yang meminta makan.
"Masak kok, gimana kalau kita makan sama-sama!" kata Bu Tari si pemilik rumah.
"Nggak usah repot-repot, Buk. Saya bisa makan di luar!" kataku.
"Tolong, Bu Dokter jangan di tolak!" kata Ibu Nia dengan wajah memelas.
"Baiklah!" aku pun pasrah.
____________BERSAMBUNG_________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Maria Kibtiyah
ceritanya mirip home town cha cha cha .. cmn dsni dr kandungan bukan dr gigi
2022-09-21
0
KOwKen
gua kok ngakak Ma suara detak janinnya..kek lg manggil adeknya..
2021-10-14
0
Mommy Anna
dukun beranak kebanyakan sok tahu dari pada tenaga kesehatan.. haha.. kenyataan ini mahh🤣🤣🤭
2021-10-07
0