Aisah baru tiba di rumah, ia seorang anak yang kalem dan soleha, dan pembawaannya yang ramah.
Ia jadi kebanggaan keluarga, berbeda jauh dari kakaknya yang berpenampilan urakan, gaya bahasanya yang ceplos-ceplos.
Ia menutup kekurangan mponya, baik adiknya Risky, ia anak yang baik dan siswa yang berprestasi di sekolah.
Kedua anak ini tidak ada yang mengikuti sedikitpun sifat Rara.
Karena itulah Soimah ibu Rara selalu membanding-bandingkan Rara dengan kedua adiknya.
Tidak enak memang kalau dibanding-bandingkan dengan saudara sendiri, karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Kemana lagi sih ni anak bikin pusing aje," ucap Bu Imah dan sesekali menoleh keluar.
“Tidur aja Mak kalau capek, biar Aisah aja nanti yang urus Calvin," ujar wanita berhijab itu dengan lembut.
“ Maak, nungguin mpok lu ne, kagak balek-balek daah ... ude jam segini.
Bang! sono cariin tuh anak lu, ini uda malam kagak balik-balik," pinta mak Soimah pada suaminya yang duduk di teras rumah, ditemani se teko kecil kopi hitam pekat, pakai sarung kotak- kotak sudah ciri khas dari Babe nya Rara.
Pak Agus tipe lelaki yang tidak banyak bicara, tetapi perhatiannya pada anak-anaknya sangat luar biasa.
Apalagi sama cucunya Calvin , ia sangat sayang pada bocah tampan berkulit putih itu. Calvin jadi teman main babeh nya, selain burung peliharaannya.
Pak Agus pencinta burung, tidak heran di rumahnya banyak burung yang ia pelihara, dari yang mahal sampai yang murah.
Pak Agus lebih senang di hadiah in burung, daripada barang mahal
Jika ada yang datang orang bertamu ke rumah mereka. K bicara soal politik ia tidak open. Tetapi jika sudah bicara tentang burung Pak Agus langsung semangat. Bisa-bisa dijadiin jadi menantu kalau sudah membahas tentang burung.
Kalau misalkan ada dua orang yang datang untuk melamar ke rumah Pak Agus, yang satu datang bawa mobil mewah, dan satu lagi datang bawa burung.
Pak agus akan melirik burungnya dulu. Maksudnya orang yang bawa burung, itu semua karena terlalu cinta pada hewan berbulu, bersuara indah tersebut.
“Baaang ...! Sono cariin Rara dulu," teriak Mak Ima lagi dari dalam rumah.
“Bu, dia sudah dewasa, sudah tau kapan pulang, ngapain dicariin."
“Iya mak, biar saja," ucap Risky membela Mpok nya.
“Iyeee! Mak tau, tapi ini sudah jam berapa ....?" Mak Soimah berdecak pinggang menatap anak dan suaminya bergantian.
.
“Baru jam delapan lewat lima menit Mak," jawab Aisah ikut juga membela mpok nya.
"Sudahlah mak, biar Aisah aja yang urus Calvin"
Ia membawa bocah tampan itu ke kamarnya untuk ia jaga. Tidak repot mengurus, karena anaknya juga penurut dan tidak banyak tingkah.
Waktu malam sudah menunjukkan jam sembilan malam, akhirnya Rara pulang juga, itu artinya ia haru mempersiapkan diri untuk mendengar ocehan dari Emaknya.
Benar saja, Mak Ima sudah berdecak pinggang di depan televisi menyambut kedatangan Rara,
“Assalamualaikum!” Rara memberi salam
“Wa'alaikumsalam,” sahut babe nya yang lagi duduk di teras.
"Lu, emang iye ... kelayapan mulu kerjaannya."
Mak Ima langsung bernyanyi menyambutnya Rara.
Tapi seperti biasa, Rara akan menganggapnya angin berlalu.
Ia menghampiri Putranya menggendongnya kembali dari kamar Aisah
“Gue malu Ra, Lu jadi omongan satu RT, sakit hati gue!"
Mak Ima menunjuk dadanya dan menarik-narik daster biru bermotif burung yang ia pakai.
“Iiih ... Mak nih, anak baru nyampe rumah ditanya dulu, udah makan apa belum? kalau belum makan, makan dulu, gitu mak, bukanya langsung ngomel-ngomel tidak jelas seperti itu,"
ujar Rara dengan gaya tempo nada suaranya nya dibuat lambat , Jadi kesannya ia yang memberi petuah untuk Mak Imah, Ia jadi sok tua jadinya.
“Sumpah dah, disambar gledek .... Ogah gua nanya kayak ke gituan ame Lu, sepat mulut gue," ujar Mak Imah
“Ih, ngomong begitu ama anak sendiri. Kualat lo Mak," kata Rara kesal meninggalkan maknya yang masih mengoceh.
Mendengar hal itu Pak Agus yang tadinya duduk di luar ikut masuk.
Ia memberi nasehat pada istrinya.
“Ibu, kenapa ngomong kayak begituan sama anak? Ibu juga kudu ngomong yang benar , biar anak juga ngomong annya jadi ikut benar. jika Ibu mengomelinya tiap hari Ia tidak akan menghargai mu," kata pak Agus menasehati istrinya.
"Panas hati gue Bang lihat kelakuan anak Lu itu."
“Sabar Bu, sabar, ingat apa yang dialami Rara dulu, apa yang membuat Rara seperti ini.
Ibu tidak kasihan apa?"
“Tau ini Mak” Aisah ikut memarahi Emak Imah.
“Biarkan mpok begitu dulu Mak Ia tidak melakukan hal yang buat malu' kan?”
Aisah, ikut menasehati.
“Iya ne Mak ...." Risky ikut memberi pembelaan.
“Kita tidak boleh seperti ini Bang, kita harus mencari Jodoh buat dia"
“Mak kenapa sih selalu itu yang diomongin setiap ada kesempatan," kata Aisah, mendengus kesal.
"Jangan Mak, biarkan dia cari jodoh sendiri." Risky tidak setuju.
“Orang kayak begitu kagak laku, siapa yang mau sama orang amburadul dan pengangguran kayak mpok kalian," ujar wanita paruh baya itu lagi.
Tidak ada dari keluarga mereka yang membenci Rara, kecuali wanita yang menyebut dirinya itu ibu, tetapi selalu menyalahkan dan selalu melihat semua yang dilakukan Rara salah.
“Pokoknya tidak iyee, apapun yang bilang kalian, pokoknya emak kudu cari jodoh buat ntuh orang."
"Terserah ibulah," kata Pak Agus merasa kesal, melihat kelakuan istrinya yang selalu memaksakan kehendaknya pada Rara.
Bu Soimah lama –lama gerah juga mendengar omongan tetangganya yang selalu menggosipkan anaknya, menyebut Rara jadi beban keluraganya, hal biasa di gang sempit ke arah rumah mereka, para ibu-ibu bergosip ria setiap sore.
Tidak tahan dengan omongan tetangga, Bu Ima akhirnya mencarikan jodoh untuk anak sulungnya, tanpa diskusi dulu dengan keluarganya.
Bahkan engkong Rara marah besar pada anaknya, yang menerima lamaran seorang duda beranak satu, yang baru hitungan bulan bercerai dengan istrinya. Padahal pekerjaannya hanya pedagang sayur di pasar.
“Apa ibu sudah gila?" tanya pak Agus pada istrinya.
“Mak, laki-laki itu baru cerai ama istrinya," ujar Riski adek laki-laki Rara yang menentang pernikahan itu.
“Lu gila emang dah, dia orang gak benar malah lu jodohin ame anak lu" ujar engkong Rara.
“Gue, pusing Beh, dia jadi bahan omongan semua orang karena gak kawin-kawin."
“Eh Imah, Babe bisa cariin yang lebih baik lagi buat Rara. Jadi batalin itu lamarannya, samperin sono kerumahnye!" pintah Engkong Rara
“Gue, kagak mau nunda lagi Beh, ini uda kesekian Babeh menunda-nunda pernikahan untuk Rara"
Bu Soimah menolak membatalkan pernikahan Rara.
“Bukannya tidak ingin dia menikah Bu, tapi karena belum tepat” kata Pak agus.
“Gue, tidak mau anak itu jadi beban selamanya. Kalau sudah tua nanti biar ada yang urus, dia," kata Bu soimah, ia tetap pada pendiriannya.
Padahal Rara mendengar semua dari pintu, ingin rasa ia berontak dan melawan emaknya, tetapi Rara menahan diri walau ada rasa sesak di dadanya.
Orang tua yang seharusnya menjaga dan mengerti dirinya, malah menganggapnya beban keluarga.
“Baiklah, gue menyetujuinya," ujar Rara
Mendengar Rara, Ibunya akhirnya diam. Wajah Rara terlihat tenang dan bersikap biasa. Tetapi mereka semua paham, kalau Rara tidak pernah menunjukkan kesedihan pada orang lain, terlebih pada kelurganya.
“Ra, Engkong kagak setuju, Lu bisa tolak sekarang, kita kerumahnya."
Kagak usah Kong, biarin ajelah, biar Mak senang."
Bersambung ....
Tolong Bantu like dan vote Kakak
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 270 Episodes
Comments
N Wage
ada apa yg melatari sikap urakan rara?
2024-06-14
0
rjvjr
semangat pagi thor..
2022-08-08
0
um 7098355
gla tuh mak imah kyak,a dah kbkaran 😁😁😁😁
2022-01-14
0