Malam merayap pelahan, Albar dan Balqis telah masuk ke kamar masing-masing, begitu juga dengan Aki.
Lampur ruangan dalam rumah sudah dipadamkan sejak satu jam yang lalu.
Sepi, hening, hanya suara detak jarum jam dinding dan sesekali suara tokek saja yang terdengar.
Balqis di kamarnya masih melanjutkan belajarnya, duduk di depan meja sambil membaca buku dan sesekali mencatat yang dianggapnya penting.
Di atas meja belajar terdapat laptop yang sudah dua bulan ini tak lagi bisa Balqis gunakan. Laptop itu jatuh saat Balqis pulang dari sekolah dan sepedanya terserempet mobil yang ugal-ugalan.
Balqis jatuh bersama sepedanya, dan tas berisi laptopnya terlepas jatuh ke jalanan.
Entah apa yang kemudian membuat laptopnya jadi tak bisa digunakan lagi, sudah berusaha diservis, tapi hasilnya tetap tak bisa digunakan seperti sebelumnya.
Balqis menghela nafas.
Matanya menatap kalender meja bergambar BTS. Sudah beberapa pekan ia belum sempat mampir ke bank untuk menabung.
Biasanya setiap hari Senin Balqis sepulang sekolah akan menyempatkan diri mampir ke Bank untuk menyimpan lebihan uang jajannya dan hasil jualan sempolannya.
Tentu, uang itu adalah tabungannya yang kelak akan ia gunakan untuk menambah uang mendaftar kuliah agar tidak merepotkan Aki.
Meskipun...
"Kamu itu sekolah saja Qis yang fokus, nanti kuliah juga tinggal kuliah saja di mana kamu maunya, soal biaya sudah disiapkan orangtuamu sebelum meninggal, jadi tidak usah khawatir kalau soal biaya sekolah dan kuliah."
Yah begitulah kata Aki pada Balqis saat pertama kali Balqis membuat sempolan untuk alasan menambah uang jajan dan untuk menabung karena ia ingin kuliah.
Balqis menghela nafas lagi.
Yah, mungkin Balqis bisa saja begitu mendengar kata-kata Aki itu jadi tak perlu cemas soal biaya lagi.
Tapi, Balqis nyatanya tak bisa seperti itu. Ia tak bisa ingin hanya mengandalkan uang peninggalan orangtua, lalu dengan begitu Balqis bisa hidup santai dan manja saja.
Ah tidak! Balqis jelas tidak bisa seperti itu, ia tetap ingin ada sumbangsih untuk dirinya sendiri dalam usahanya menggapai cita-citanya.
**--------**
Sementara itu Albar di kamarnya sendiri tampak duduk selonjor di atas kasur lantai di mana ia biasa tidur.
Kasur lantai yang bisa dilipat menjadi sofa itu berwarna biru dongker dengan garis kotak-kotak. Albar tengah sibuk bicara dengan Flo di telfon.
"Apa kau tidak ada kegiatan lain selalu menelfonku?"
Tanya Flo di seberang sana.
Albar mendesis.
"Lalu aku harus nelfon siapa? Masa Najwa Shihab."
Kesal Albar.
Flo tertawa.
"Apa? Sekarang apa lagi?"
Albar menyandarkan tubuhnya dengan malas, lalu mulai bicara pada Flo.
"Flo, apa kau pernah punya cita-cita?"
Tanya Albar.
"Ya pernahlah."
Sahut Flo.
"Apa cita-citamu?"
Tanya Albar.
"Ngg saat masih kecil aku punya cita-cita jadi Gaban."
Kata Flo.
Haish... Albar mendesis.
"Dodol, bukan yang seperti itu!"
Kesal Albar.
"Ooh... Yah aku tahu, aku dulu punya cita-cita ingin nonton konser Bigbang dan bisa foto dengan GD, dan itu sudah kesampaian.'
Kata Flo.
Albar menepuk jidatnya.
"Bukan Flo, bukan itu, yang lebih menyangkut masa depan, yang berhubungan dengan kehidupan kita."
Kata Albar.
"Aaah kamu ini sebetulnya bahas apa sih, aku mah enggak ngerti. Nanya cita-citaku apa dijawab malah bukan bukan bae."
Flo jadi ngomel.
"Ya habisnya kamu cita-cita kok begitu, yang serius lho."
"Lha itu serius."
"Maksudnya cita-cita pengin jadi apa gitu, dokter, pelaut, astronot, pilot atau apalah."
Kata Albar.
Flo tertawa guling-guling.
"Heh kampret! Aku serius."
Albar emosi.
"Sumpah, kamu salah makan apa otaknya jadi bener."
Kata Flo di sela tawanya yang membuat Albar ingin menaboknya jika saja dekat.
"Udahlah, ngomong sama kamu mending ngomong sama semak-semak."
Kata Albar sewot.
Flo tambah ngakak.
Albar menyudahi telfonnya.
Diletakkannya hp nya di atas lantai kayu kamar lotengnya, lalu menggelosor malas rebahan di atas kasur dengan kedua tangan terlipat sebagai bantal.
Mata dengan dua bola mata hitam pekatnya menatap langit-langit, memikirkan obrolannya bersama Balqis.
Usiany dengan Balqis terpaut tujuh tahun, tapi sepertinya anak itu sudah jauh lebih baik dalam memahami arti hidup.
Ia bahkan seperti sudah tahu ke mana ia harus membawa langkahnya di masa yang akan datang.
Albar juga mengingat kegiatannya bersama Aki seharian ini.
Terutama saat ia ikut ke mushola, bertemu dengan beberapa warga desa yang begitu ramah-ramah dan hangat.
Mereka tak mengenal Albar sebagai artis, mereka bersikap baik pada Albar karena ia tamu dan saudara Aki.
Padahal jika dilihat kehidupan Aki biasa-biasa saja dan bahkan sederhana saja, tapi nyatanya Aki begitu dihormati.
Albar jadi berpikir, sebetulnya manusia hidup yang membuatnya berharga itu apa?
Jika ketenaran dibilang berharga, nyatanya Albar sepertinya tidak diperlakukan sebaik orang-orang desa pada Aki.
Albar hanya dielu-elukan, hanya digilai, hanya dipuja-puja sesaat, namun begitu ada satu saja cela ia nyatanya langsung dihempas dan seolah tak bernilai lagi.
Lalu, jika soal uang.
Nyatanya Albar dengan semua uang yang begitu banyak tak pernah memiliki teman dekat yang benar-benar dekat seperti Balqis dan ketiga temannya, di mana mereka bisa menikmati kebersamaan meskipun hanya sekedar melakukan kegiatan sehari-hari.
Apalagi jika soal jabatan dan lain-lain, ah Albar tahu betul bagaimana kesepiannya hidup Maminya dan tantenya si Maminya Flo.
Mereka mungkin sesekali terlihat berkumpul dengan banyak sosialita kelas atas, tapi nyatanya mereka hanya sibuk bersaing dengan apa yang mereka miliki.
Tak ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, yang melihat kita sebagai manusia, bukan pemilik benda.
Albar menghela nafas.
Apa mungkin ada yang salah dengan hidupnya? Atau cara pandangnya akan hidupnya lah yang salah selama ini?
Albar ingat lagi kalimat Balqis tentang alasannya ingin jadi Guru.
"Karena aku ingin hidup bermanfaat bagi orang lain. Dan sejatinya di dunia ini yang paling bermanfaat adalah ilmu."
Albar tersenyum mengingat kalimat itu.
Yah, Balqis bukan membicarakan soal kesuksesan, bukan membicarakan pencapaian dunia dalam bentuk materi.
Namun lebih dari itu.
Manfaat. Manfaat untuk orang lain. Hidup bermanfaat untuk orang lain.
Albar meraih hp nya lagi, ia berguling mengganti posisi menjadi tengkurap.
Ia membuka memo, lalu menulis satu kalimat.
"Hidup bermanfaat untuk orang lain. Di dunia yang paling bermanfaat adalah ilmu."
Albar menatap tulisannya di memo.
Lalu kemudian ia tiba-tiba ingin mengunggahnya di story media sosialnya.
Klik...
Albar cengar cengir sendiri, merasa jika ini kali pertama story nya bermutu.
Setelah mengunggah tulisannya itu, Albar kembali rebahan di atas kasur.
Ia ingin tidur dengan lelap malam ini, sambil mulai memikirkan sebuah cita-cita.
**----------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Masniah
mungkin😜
2022-02-14
1
Masniah
berarti ketenaran itu bukan ukuran utk menghargai seseorang
2022-02-14
1
Masniah
iya apa ya🤔
2022-02-14
1