POV AUTHOR
Viena menghentikan taxi dan langsung menaikinya. Dia terus berdoa dalam hati agar Theres baik baik saja. Yang dipikirannya hanya hendak bertemu dengan ibunya. Taxi terus melaju sampai ke rumah sakit.
Viena terus menyusuri lobby rumah sakit dan lantai tiga rumah sakit menuju ruang icu. Ayahnya sudah memberi kabar, kalau ibunya masih dalam perawatan icu. Viena menemukan ayahnya yang terus menatap kaca ruang icu. Ada juga tante Anne, adik dari ayah Viena. Mereka berdua terlihat sangat khawatir.
"Bagaimana keadaan mom, dad?" Viena tiba dengan napasnya tertatih lelah.
"Viena, apa kabarmu nak?" Peluk ayahnya belum memberitahu keadaan sang ibu. Pria tua itu sangat merindukan putri kecilnya itu. Pasalnya setelah satu tahun ini Viena tidak pernah pulang karna sibuk mengembangkan usahanya di kota Legacy.
"Aku sangat merindukanmu, dad, bagaimana mommy?" Jawab Viena membuat mata ayahnya berkaca kaca.
"Ibumu pingsan tadi pagi, setelah kami membawanya ke rumah sakit, dia sesak napas, jantungnya tidak stabil, jadi dia dibawa ke ruang icu. Dia terus memanggil namamu. Viena.." jelas Johanes (nama ayah Viena).
"Kenapa dad?" Tanya Viena lirih. Viena merasa ada yang tidak beres.
"Tumor otak mom sudah menyebar hampir ke seluruh kepalanya dan menyebar ke area jantung, dad tidak yakin dia akan sembuh," lirih Johanes dan seketika itu tante Anne yang mendengarnya menangis. Dokter mengatakan dengan jelas kondisi Theres kepada mereka Johanes dan Anne sebelum Viena tiba. Viena langsung tersungkur ke lantai.
"Sebentar lagi, Egnor akan tiba, kita harus siap memberitahunya," sambung Johanes menitikan air mata. Dia lalu membantu Viena berdiri dan duduk di kursi tunggu depan ruang icu. Pikiran Viena kacau. Dia menghampiri kaca transparan ruang icu. Dia ingin memeluk ibunya itu. Viena menitikan air mata. Dia mengingat terakhir dia meninggalkan ayah dan ibunya, ibunya selalu memberkatinya, selalu mengelus puncak kepalanya. Sekarang, ibunya sedang tidak berdaya melawan maut.
Sesaat ponselnya bergetar tanda ada pesan.
-LEXA-
kapan kau kembali, miss? Nomor hotelmu 319, kau baik baik saja kan?
Viena mengusap tangisnya membaca pesan dari Lexa. Viena mengingat masih ada pekerjaannya besok.
"Dad, kapan kakak tiba?" Tanya Viena lirih.
"Dia sudah terbang dari Oriental sekitar dua jam lalu, mungkin nanti malam atau besok subuh dia sudah tiba." Jawab ayahnya.
"Aku mau ke hotel dulu, dad, kalau ibu sudah bangun, tolong sambungkan panggilan video, dan besok siang aku datang lagi," jelas Viena masih menatap ibunya.
"Selesaikan pekerjaanmu dulu nak, semua akan baik baik saja," Johanes menenangkan Viena. Viena memeluk ayahnya dan tante Anne ijin pulang. Viena keluar dari rumah sakit dengan kepala tertunduk bersedih. Apa yang dia lakukan jika kehilangan ibunya? Dia masih belum terima, tapi juga tidak bisa membiarkan beliau tersiksa seperti ini. Kepalanya mulai sakit memikirkan semuanya.
Sesampainya di hotel, Viena menemukan sosok pria yang sangat ia kenal sedang menonton tv.
"Mengapa kau disini? Keluar, aku tidak mau melihatmu!" Bentak Viena kesal. Dion tidak berkata kata. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk Viena. Seketika Viena menangis jengkar. Dia juga memeluk Dion erat.
"Menangislah, aku disini," Dion mengelus ngelus pundak Viena.
"Terimakasih dadamu, Dion, tapi sudah cukup, aku sudah tidak sedih lagi. Tidurlah ke kamarmu, besok pagi kita mulai shooting," Viena menarik tubuhnya dari dada Dion.
"Tidak bisakah aku tidur bersamamu?" Tanya Dion memegang dagu Viena.
"Putuskan pacarmu maka kau bisa tidur bersamaku!" Viena menatap Dion tajam. Viena sudah muak dengan kelembutan yang Dion berikan. Dion terkejut mendengar perkataan Viena.
"Tidak bisa kan? Maka dari itu keluarlah, aku mau sendiri karna itulah yang seharusnya sekarang besok lusa dan selamanya, pergi!" kali ini Viena benar benar mendorong Dion. Dion bungkam seribu bahasa. Viena langsung mengarahkan Dion ke pintu keluar. Dion terdiam di balik pintu. Dion menitikan air mata. Dia seperti seorang pecundang. Padahal dulu, dia sudah berjanji kalau Viena pelabuhan terakhirnya dan akan menikahinya.
Leon melihatnya ketika hendak melewati kamar Viena. Leon menghampiri bosnya itu.
"Kau mencintainya bos, tapi juga tidak mau menyakiti Pevi, sabarlah, semua pasti ada jalannya," Leon mulai mengarahkan bosnya ke kamarnya. Leon tidak mau bosnya melakukan hal yang macam macam jika dia sendiri di kamarnya. Leon sudah sangat mengenal Dion.
Di dalam kamar Viena, Viena menangis sesenggukan. Viena sangat ketakutan. Sesaat Egnor menghubunginya.
Viena : halo kak
Egnor : tenang saja semua akan baik baik saja
Viena : bagaimana bisa, penyakit mom sudah parah
Egnor : tenanglah. Aku akan menyambungkan panggilan video
Panggilan video tersambung. Akhirnya Viena melihat wajah ibunya. Ibunya begitu pucat tapi tetap berusaha tersenyum. Banyak selang yang menghiasi wajahnya dan masker oksigen di mulutnya.
Viena : mom, aku merindukanmu, aku mau kau sehat (menangis sesenggukan)
Theres : tenanglah, aku baik baik saja (terbata bata)
Viena : istirahatlah mom, besok aku akan menemuimu (masih menangis)
Theres : bekerjalah dengan benar, Tuhan memberkatimu (terbata bata) (tersenyum)
Viena menutup panggilan. Dia menghapus air matanya. Ada ketenangan sedikit ketika melihat wajah ibunya tersenyum padanya. Entah mengapa dia merasa, senyum itu adalah senyuman ibunya yang paling indah. Malam ini, yang dilakukan Viena hanya doa yang terus dia panjatkan untuk ibunya sampai matanya terpejam menyambut esok pagi.
........
Next part 14
Apakah Theres akan meninggal?
Karna jiwa dan raga Viena akan diuji
Plis like dan komen 😊 terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 301 Episodes
Comments
ro so
ya meninggal dan Viena kesana ditemani revo
2022-04-12
1
Ciripah Mei
jadikan viena wanita yg kuat dan tegas Thor jngn ky Dio yg plinplan
2021-05-29
0
Fitri Raflesia
jd keinget mm q yg 7thn di rawat di ruangan ICU. sampai ajal menjemputnya. alfatihah buat media orang tua q ☹️☹️
2020-09-21
4