Karakter, tempat, waktu, kejadian, dan semua yang terjadi dalam cerita hanya fiktif belaka dan merupakan imajinasi penulis.
Jangan meniru adegan dalam cerita.
.
.
.
Dia berbeda ....
Kata-kata itu terus terngiang di pikiran Nyonya Tika. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dari Ahra, teman putrinya itu.
Setelah sampai di area ruang jenazah, dia melihat Nyonya Tiara duduk di kursi luar ruangan sambil menunduk dalam. Nyonya Tika segera menghampirinya. "Nyonya ...." serunya.
Nyonya Tiara mengangkat kepalanya dan menoleh ke sumber suara. Matanya sembab, karena terlalu lama menangis. Wajahnya kusut.
"Turut berduka cita," ucapnya berempati lalu duduk di kursi sebelah.
"Terima kasih," ucap Nyonya Tiara parau sambil mencoba tersenyum lalu kembali menunduk.
Mereka diam dalam keheningan. Nyonya Tiara tenggelam dalam lamunannya, ia menyesal dan merasa bersalah pada Tuan Dika. Terakhir kali mereka bercengkrama saat kejadian di ruang inap Ahra dan itupun tidak baik untuk diingat.
Nyonya Tika hanya bisa diam membisu, ia tidak tahu bagaimana caranya menghibur orang. Menghibur? Tidak akan mungkin di situasi begini kan.
Seorang perawat menghampiri mereka berdua, lalu menunduk sopan saat Nyonya Tika tak sengajamenoleh ke arahnya. "Nyonya ... maaf, silakan untuk mengurus pernyataan kematian dulu."
Nyonya Tiara menoleh, "Baiklah, tunggu sebentar!"
"Nyonya, saya permisi dulu," pamitnya lalu bangkit berdiri dan langsung mengikuti langkah perawat itu dari belakang.
"Ahra ...." Nyonya Tika menoleh ke samping. Ia berfikir Ahra ada di sebelahnya, tapi tak ada siapapun di sana. "Ke mana dia?"
Pantas saja tadi Nyonya Tiara tidak membahas tentang Ahra, ternyata dia tak ada di sini, batin Nyonya Tika.
Sebaiknya aku beri tahu Mia. Bagaimanapun dia harua tahu tentang Tuan Dika. Meski Nyonya Tika merasa ragu untuk melakukan hal itu, tapi dia terus saja meyakinkan diri bahwa Mia harus segera tahu. Nyonya Tika langsung bergegas pergi kembali ke ruangan Mia.
---
Ahra berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit. Ia tak perlu lagi berpura-pura di depan semua orang kalau dia sakit. Bahkan selang infus yang awalnya menancap di punggung tangannya ia lepas dengan paksa. Ia terus berjalan sampai di depan pintu lift lantai 1.
"Ahra, kenapa kau ada di sini?" tanya perawat itu khawatir. Terlebih saat ia melihat tak ada selang infus yang terpasang.
Saat ia menoleh ternyata itu salah seorang perawat yang merawatnya di rumah sakit ini.
Ahra kembali memandang ke arah depan. "Aku ingin kembali ke ruanganku," jawabnya singkat.
"Bukankah kau baru saja dipindahkan?"
"Ada yang ingin aku ambil di sana."
"Barangmu ketinggalan?"
Ahra menatap tajam perawat itu. "Bukan urusanmu!" sinisnya lalu masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka.
Perawat itu kaget mendengar ucapan Ahra, ia hanya bisa diam tanpa bisa membalas apapun. Bahkan sampai Ahra hilang dari pandangannya pun ia hanya memandang ke arah gadis itu. Ia mencoba tersenyum, "Dasar menyebalkan!" Perawat itu langsung pergi dari sana dengan perasaan sebal.
---
Ahra tiba di ruangannya, dan seperti yang ia duga banyak polisi di sana. Ia mencoba bersikap biasa.
"Maaf Nona, kamu tidak boleh melewati batas ini," ucap polisi itu memperingati.
"Aku ... hanya ingin mengambil barangku," jelas Ahra sambil berusaha masuk.
"Maaf, tapi--"
-BRUK!-
Polisi itu terpental ke belakang sampai menabrak polisi yang lain.
"Kau--"
"JANGAN MENGHALANGIKU!"
Mereka yang ada di sana terkejut mendengar suara Ahra. Itu karena suaranya lebih mirip wanita dewasa dibandingkan anak remaja. Di sana sekitar ada 6 orang polisi.
Tiba-tiba saja telinga mereka berdengung nyeri. Mereka langsung menutup telinga kuat-kuat berharap bunyi nyaring yang terdengar oleh mereka teratasi. Namun ....
"AAARGH!" Telinga mereka bersamaan keluar darah. Lalu tak lama tak sadarkan diri.
Ahra tersenyum sinis, "Itulah akibatnya jika berani menghalangi ku." Ahra dengan santai nya melewati garis polisi dan masuk ke ruangannya.
Ia segera mencari-cari barang yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Ia mencari di setiap sudut, dekat nakas, kolong ranjang, balik pintu, dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan.
Setelah lama ia mencari, akhirnya barang itu ia temukan. Ia tersenyum lega, lalu memakai benda itu di jarinya. Ia ingat betul, waktu itu tak sengaja barang ini terlepas dari jari pria itu. Pria yang ia cintai dan juga yang ia bunuh. Barang itu, cincin pernikahan Tuan Dika dan Nyonya Tiara.
"Ini bagus ...." puji nya pada diri sendiri sambil melihat ke arah ibu jarinya. "Setidaknya aku memiliki barangmu."
---
Ahra memutuskan untuk ke ruangan Mia, ia dengar gadis itu selamat. Ia jadi kesal mendengar fakta itu. Ia segera masuk ke ruangan Mia, ruang inap itu sama dengannya, berfasilitas lengkap dan nyaman. Ia berjalan mendekati Mia yang sepertinya sedang tertidur.
Ia pandangi wajah itu. "Kira-kira ... bagaimana jika aku menghabisimu sekarang." Ahra lalu tersenyum saat pikiran itu muncul di kepalanya. Ia lalu duduk di kursi samping ranjang Mia.
"Paman ...."
Ahra bisa mendengar jelas gumaman Mia. Tak lama, Mia terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah, dan keringat dingin seketika membasahi pelipis Mia. Ia mencoba mengatur napas dengan menarik napas dalam-dalam. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya.
Ahra terdiam memperhatikan Mia. Ia memandangnya dengan tatapan kosong. Lalu Mia tiba-tiba saja melihat ke arahnya dan pandangan mereka bertemu. Itu membuat Ahra tersenyum.
"Kau!" Mia tampak terkejut.
"Hai, bagaimana kabarmu?"
"Bagaimana kau--"
Ahra merasa tertantang dengan ekspresi Mia yang terkejut begitu. "Apa kau penasaran apa yang terjadi pada mamahmu?"
"Kau! Jangan berani-berani nya menyakiti mamahku!"
Mia berusaha untuk bangkit, namun tubuhnya terasa sangat berat dan kaku.
"Kau tahu, aku bisa membunuhmu hanya dengan jariku. Mau bukti?"
Ahra mengarahkan jari telunjuknya pada Mia, lalu menggerakannya ke bawah seolah ia sedang menekan sesuatu.
Tak lama, Ahra merasa dadanya sakit. Ia kesulitan bernafas dan kepalanya mulai pusing. "Ka--kau--"
"Sekarang kau tahu kan, kalian itu tidak ada apa-apanya."
Ahra tersenyum remeh pada Mia. Ia melihat dengan tenang Mia yang tersiksa. Tubuh Mia benar-benar tak bisa digerakan.
Nyonya Tika yang baru saja kembali, langsung terkejut saat melihat Mia seperti kesakitan. "Mia!"
Ahra yang merasa terkejut langsung menarik jarinya lalu berdiri spontan.
"Ah ...."
Seketika efek yang dirasakan Mia tadi langsung hilang, termasuk tubuhnya yang kini sudah bisa digerakkan.
"Ahra, apa yang kau lakukan? Kenapa kau bisa setenang itu melihat Mia kesakitan seperti tadi!" Nyonya Tika merasa kesal pada sikapnya pada Ahra tadi.
"Aku ...."
Nyonya Tika menatap Ahra dengan tajam. Ia hampir saja memaki Ahra.
-Uhuk! Uhuk!-
Mendengar Mia terbatuk, Nyonya Tika mengalihkan pandangannya pada Mia.
"Minggir!" Nyonya Tika menarik Ahra menjauh dari samping ranjang Mia.
"Mia, kau baik-baik saja?"
Sambil terbatuk, Mia menggangguk mengiyakan.
"Mamahmu mencarimu, Ahra. Dan lagi, kenapa kamu berkeliaran? Bukan kah kamu sedang sakit?" ucap Nyonya Tika sinis.
Ahra pergi dari sana dengan perasaan kesal. "Dasar pengganggu!" Ia pastikan, nanti tak akan ada pengganggu lagi.
.
.
.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa tinggalkan jejak
Rate, like, comen, vote, and tap love
Sampai jumpa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Yuli
ceritanya diulang ulang... membosankan
2021-02-13
1
M Rizkan
padahal ceritanya lumayan tapi selalu terjadi pengulangan
2020-09-25
0
ahraini
kenapa ceritanya di ulang2 per bab?
2020-07-24
0