Penemuan Jasad

Cerita ini hanya fiktif belaka. Tempat, karakter, dan semua yang terjadi dalam cerita hanya imajinasi penulis. Penulis tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun.

.

.

.

*Tujuh Hari Setelah Kejadian*

-Pagi Hari-

Pagi ini Mia harus ke rumah Ahra. Bukan karena ingin, sebenarnya karena terpaksa. Nyonya Tiara meminta bantuan padanya untuk mengambil bekal dari Mbok Sumi. Alasan kenapa bukannya Mbok Sumi yang mengantar, itu karena sore harinya Mbok Sumi harus ke kampung, katanya ayahnya sakit.

Mia tentu tak bisa menolak, meski hanya lewat pesan dari ponsel. Ia sudah menganggap Nyonya Tiara seperti ibunya sendiri dan keluarga Ahra seperti keluarganya sendiri.

Saat memasuki kawasan rumah Ahra, ia melihat banyak orang-orang yang berkumpul di samping rumah Ahra.

"Ya ampun, bagaimana bisa ini terjadi padanya. Aish, apa yang dipikirkan mereka."

"Padahal, mereka terlihat baik."

"Ternyata benar, kita tidak boleh menilai orang dari luarnya saja."

"Aku masih tak menyangka mereka membunuh anaknya sendiri."

"Itu aneh, padahal mereka terlihat baik-baik saja menurutku."

Memang ada apa? Kenapa mereka berkumpul di sana? Eh, polisi? ... dan mereka berdua ... Apa yang terjadi? tanya Mia penasaran dalam hati.

Mia langsung berjalan menghampiri ke arah kerumunan itu.

"Permisi, ada apa ya, bu? Kok ramai?" tanya Mia pada wanita di berdaster yang berdiri paling belakang dari kerumunan.

Wanita itu menoleh sebentar pada Mia, lalu menjawab dengan antusias. "Tahu kan kabar anak hilang lima hari yang lalu?"

"Iya," Mia hanya mengangguk.

'Memang ada kabar anak hilang sih, kalau tak salah saat di taman aku mendengar kabar itu,' batin Mia mengingat-ngingat.

"Jasadnya sudah ditemukan, ternyata yang membunuhnya mereka sendiri," jelas wanita itu

"Mereka?"

"Orangtuanya sendiri."

"Tapi kan ...." Mereka yang membuat laporan, lanjut Mia dalam hati.

"Sepertinya mereka membuat laporan palsu. Apanya yang hilang, jelas-jelas mereka yang membunuh," ujarnya seolah bisa membaca pikiran Mia.

Ini serius? Mereka membunuh anak mereka sendiri? Padahal kemarin aku baru saja bicara dengan Nyonya Nia, ibu kandung dari gadis itu.

"Memangnya ada bukti kalau mereka yang melakukannya?" tanya Mia penasaran, ia sedikit tak percaya kalau mereka yang membunuh anak mereka sendiri.

"Ada yang melaporkan mereka ke polisi," jelasnya.

"Siapa?" tanya Mia dengan mengerutkan dahi.

"Katanya dia melihat semua kejadian itu, termasuk kasus pembunuhan anak di taman itu. Dia juga mengatakan jika dia akan menjadi korban selanjutnya," ujarnya berbisik tepat di dekat telinga Mia. Dia bersikap sedang menggosip sekarang.

"Apa Anda tahu siapa yang melaporkan mereka?" tanya Mia penasaran.

"Tidak, aku tidak tahu," ujarnya sambil menggelengkan kepala.

"Aish, harusnya kau jangan ceritakan itu padanya," keluh wanita berkaos di sebelah wanita berdaster itu. Sepertinya ia sudah gatal ingin memprotes pada ibu-ibu di sebelahnya.

"Nak, sebaiknya kau pulang. Jangan memikirkan kejadian ini, kau masih remaja, tak baik untukmu," lanjutnya menasihati.

Mia hanya tersenyum kaku. "Ah, iya baik. Aku permisi," pamit Mia pada mereka berdua lalu beranjak pergi.

"Lain kali jangan bicarakan hal mengerikan seperti ini pada anak-anak," protes wanita itu lagi.

"Tapi kan dia bertanya padaku," ucapnya membela diri.

"Bilang saja tidak tahu." Wanita berkaos itu tetap tidak setuju jika Mia harus mendengar berita mengerikan seperti itu.

Haaah, apa benar mereka yang membunuh anak mereka sendiri? Tapi, mereka kelihatan baik. Terlebih membunuh anak perempuan di taman itu. Kejadiannya hampir berdekatan sih. Eh, lalu bagaimana dengan anjing mereka? Apa semua ini ada hubungannya?

Tanpa sadar Mia sudah masuk ke rumah Ahra. Mbok Sumi yang melihat Mia berjalan sambil melamun, langsung menghampiri untuk menyapanya.

"Non Mia? Sudah datang?"

Mia tersentak dari lamunannya dan langsung tersenyum menanggapi saat pandangannya melihat siapa yang menyapanya.

"Iya, mbok."

"Maaf ya Non, repotin. Soalnya mbok harus pergi nanti sore," ringis mbok Sumi merasa tak enak.

"Iya mbok, nggak apa," ucap Mia.

Mbok Sumi langsung tersenyum lega saat mendengar jawaban Ahra. "Tolong anterin ke Nyonya Tiara ya," pintanya memohon.

"Iya, mbok."

"Makasih ya, Non."

Haaah, itu berarti aku akan bertemu Ahra lagi. Entah kenapa sekarang aku selalu merasa tak nyaman di dekatnya, tidak seperti dulu. Seolah dia bukan Ahra. Gelang itu, apa akan berhasil? Mmm, melihat di antara dua kaki kah?

Mia melamun sepanjang jalan. Perkataan wanita tua di toko buku itu mempengaruhi kepalanya. Memang sih, setelah sekian lama untuk pertama kalinya ia merasa asing dengan sahabatnya itu.

Ahra, apapun yang terjadi aku akan tahu siapa sebenarnya kamu, dengan atau tanpa gelang ini, batin Mia yakin akan tekadnya.

-Siang Hari-

Gadis itu menatap kosong ke depan. Ia mengingat kembali kejadian kemarin. Kenapa ia bisa terluka hanya dengan menyentuh gelang itu. Pasti gelang itu memiliki sesuatu.

Wajahnya memerah menahan kesal, tangannya mengepal, kuku jari yang tak ia potong menciptakan bekas di telapak tangannya.

'Gadis itu,' geramnya dalam hati.

"Ahra, kau baik-baik saja?" tanya seseorang dari arah samping, tak jauh darinya. Ahra menoleh ke arah suara.

'Dia datang,' serunya dalam hati senang.

Tuan Dika berjalan cepat menghampiri Ahra yang duduk bersandar di kasur. Wajahnya tampak terlihat khawatir.

"Kau datang?" tanya Ahra sambil menatap Tuan Dika dengan mata berbinar. Ia hampir menangis karena terlalu senang.

"Iya, tentu saja ayah datang." Ia mengusap lembut rambut Ahra penuh kasih sayang sambil tersenyum hangat.

"Aku senang," ujarnya sambil tersenyum lebar. Lalu ia meraih tangan Tuan Dika yang masih mengusap rambutnya.

"Kau baik-baik saja kan?" tanya Tuan Dika sekali lagi memastikan.

"Tak perlu khawatir, aku jauh lebih baik sekarang." Ahra memejamkan matanya.

"Syukurlah." Tuan Dika tersenyum lega. "Di mana mamahmu? Apa dia sedang di kamar mandi?"

Ahra langsung membuka kedua matanya, dan melepas genggamannya dari tangan Tuan Dika. Wajah Ahra tiba-tiba berubah kala Tuan Dika menanyakan Nyonya Tiara.

"Bisakah kau jangan menanyakannya," lirih Ahra.

"Hm? Apa maksudmu?" Tuan Dika tak mengerti dengan ucapan Ahra. Ia menatap bingung gadis di hadapannya. "Ayah pergi mencari mamahmu dulu," pamitnya beranjak pergi.

"Jangan, jangan pergi," lirih Ahra memohon. Ia langsung menggenggam kuat tangan Tuan Dika.

"Kau kenapa Ahra? Kau baik-baik saja?"

"Aku ... sangat merindukanmu. Jangan pergi."

"Ayah juga sangat merindukanmu." Tuan Dika melepaskan genggaman Ahra. "Tapi, ayah harus mencari mamahmu, ada yang ingin ayah bicarakan," ujar Tuan Dika mencoba menjelaskan.

"Haruskah kau menemui wanita itu?"

"Apa maksudmu Ahra?" Tuan Dika semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan putrinya.

"Ahra! Ahra! Ahra! Kenapa semua orang terus menyebut namanya!" teriaknya kesal sambil memukul-mukul kasur.

"Ahra, kau--"

"Aku bukan Ahra! Kau puas?" jelasnya sambil menatap Tuan Dika emosi.

"Lihat baik-baik, aku bukan Ahra. Jadi, jangan menyebut namanya lagi, sebut namaku. Namaku--" Ahra mencengkram kuat lengan kemeja Tuan Dika.

"Jangan bercanda!" sentaknya sambil melepas paksa cengkraman Ahra. "Kamu sudah keterlaluan Ahra!"

"Aku bilang, aku bukan Ahra!"

"Terserah apa katamu, ayah pamit dulu. Lebih baik kamu istirahat saja." Ia memutuskan beranjak pergi mencari istrinya.

"Jika kau pergi, aku akan membunuhnya," ancam Ahra yang berhasil membuat Tuan Dika menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Ahra. "Apa maksudmu?"

"Aku akan membunuh Ahra-mu," lanjutnya.

"Ahra, ini sama sekali tidak lucu." Tuan Dika menghela napas lelah, ia tak habis pikir kenapa putrinya melakukan itu.

"Sudah kukatakan aku bukan Ahra!" Ahra kembali berteriak. Ia mencabut suntikan selang di punggung tangannya.

"Apa yang kau lakukan, Ahra!"

Tuan Dika langsung berlari menghampiri Ahra. Ahra tak peduli dengan tatapan khawatir Tuan Dika kini, ia berjalan menghampiri Tuan Dika yang sedang berjalan ke arahnya.

"Lihat, lihat dengan matamu," pinta Ahra sambil menggenggam kuat kedua tangan Tuan Dika.

Tuan Dika menatap Ahra bingung. Ia tak mengerti apa maksud putrinya. Tapi, ia menuruti perkataan Ahra, menatap gadis itu tepat di kedua matanya.

Tak ada apapun yang terjadi, namun saat ia tenggelam dalam tatapan kedua mata Ahra, tak lama wajah Ahra berubah. Wajah yang lembut berubah menjadi tua penuh keriput. Matanya, hidungnya, semuanya berubah.

"Ha! Ka--kau siapa?" tanya Tuan Dika terbata. Ia langsung melepas paksa genggaman Ahra di kedua tangannya.

.

.

.

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa tinggalkan jejak

Rate, like, coment, vote, and tap love

Sampai jumpa!

Terpopuler

Comments

Rika Rostika

Rika Rostika

serem ngebunuh trus

2021-01-15

0

Hitam dan Putih

Hitam dan Putih

lanjut thor

2020-08-06

0

¥¥ Devdan ¥¥

¥¥ Devdan ¥¥

👍👍👍👍👍👍

2020-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!