Anak Genius - Beyond Recollection
Celina menatap bayi yang baru saja dilahirkannya seorang diri di sebuah rumah kosong. Bayi laki-laki yang masih berlumuran darah itu menangis sangat kencang menggema ke seluruh lorong rumah hingga menimbulkan suara yang menyeramkan.
Menatap bayi itu seperti menatap wajah laki-laki yang menyekapnya dalam sebuah Villa selama berhari-hari. Kebencian, hanya kebencian yang bisa dirasakannya pada makhluk kecil yang baru saja hadir di permukaan bumi ini.
Terlintas bayangan saat laki-laki itu mengejarnya di sebuah lorong kota yang telah sepi. Celina melarikan diri tetapi dia memilih jalan yang salah, berharap menembus jalan menuju keramaian tapi justru menemui jalan buntu.
Terlihat seringai laki-laki itu di sela-sela bias lampu jalan. Air mata mengalir dari pelupuk mata Celina. Rasa panik yang luar biasa, menghantui setiap pertanyaan yang muncul di benaknya. Mampukah dia menghindar, mampukah dia melawan. Celina semakin panik saat tubuhnya tersandar ke dinding tembok jalan yang buntu.
Melangkah pelan penuh percaya diri, laki-laki itu semakin mendekat padanya. Terdengar tawa sinis laki-laki itu merendahkan usaha Celina untuk melarikan diri.
"Aku tidak pernah gagal," ucap laki-laki itu sambil tertawa menyeramkan.
Hingga kini Celina masih ingat suara itu, kata-kata itu, dan kini tawa itu berganti dengan suara tangis seorang bayi. Tetapi bagi Celina tawa dan tangis itu terdengar sama-sama menyakitkan.
Celina menutup kedua telinganya sekuat tenaga. Gadis yang telah menjadi seorang ibu beberapa saat yang lalu itu terlihat sangat depresi. Kehamilan yang tak diinginkan itu telah memupus semua cita-citanya. Khayalan masa depannya, mimpi-mimpinya dan harapannya.
Tak ada sedikit pun keinginannya untuk melahirkan bayi itu. Namun, janin itu terlanjur bersarang dirahimnya. Gadis itu tak mampu melawan kenyataan. Semua itu hasil perbuatan laki-laki yang baru malam itu dilihatnya, laki-laki yang bahkan dia tidak tahu siapa namanya.
Di rumah kosong itu Celina berteriak, dia tidak ingin mendengar suara tangis bayi itu. Memilih berlari dari ruangan pengap, gelap dan lembab itu. Di teras rumah Celina berhenti, menoleh kembali ke dalam rumah.
"Aku harus tinggalkan dia. Aku tidak peduli. Aku akan meninggalkannya," ucap Celina berbicara pada dirinya sendiri.
Sembilan bulan gadis itu harus menanggung kehamilan seorang diri. Tanpa dukungan dari siapa pun. Celina harus merelakan semester kelima kuliahnya demi menghilang dari orang-orang yang mengenalnya.
Semua berawal dari ucapan perempuan jahat itu. Maura yang selalu memandang sinis padanya.
"Kata siapa di sini tidak ada perawan? Tuh, si gadis kampung itu, masih belum laku-laku," tunjuknya pada Celina yang sedang membawa nampan berisi gelas dan botol minuman.
Pengunjung yang diajak bicara langsung melirik pada Celina. "Cantik juga," ungkapnya melihat Celina yang meletakkan gelas-gelas itu di sebuah meja tamu club malam dan menuangkan minumannya.
"Huh, cantik apanya? Udik gitu," jawab gadis itu lagi.
"Maura, kamu iri padanya hah?" tanya tamu itu tersenyum sambil membelai rambut gadis itu.
Maura menyangkal, tak ada satu pun dari Celina yang membuatnya iri. Tubuhnya lebih indah dari badan kurus Celina. Wajahnya lebih cantik dibandingkan gadis pucat berwajah polos itu tanpa sentuhan makeup itu.
Kemampuan Maura untuk memikat laki-laki, tentu saja jauh di atas Celina. Dilihat dari sudut pandang mana pun, Maura lebih segala-galanya dibanding gadis culun itu. Namun, satu yang tak dimiliki Maura yaitu kehormatan.
Hingga kini Celina masih menjaga kehormatannya. Iri? Ya, Maura iri untuk yang satu itu. Celina masih bisa pertahankan sesuatu yang berharga tapi tak terlihat itu. Hingga saat ini, hingga detik ini.
Maura menatap sinis gadis yang masih sibuk hilir mudik membawakan minuman itu. Pekerjaan yang dulu pernah dilakukannya. Bahkan Maura-lah yang membawa Celina bekerja di tempat itu.
Maura dan Celina, terhantuk kepala mereka saat sibuk memunguti sampah di lapangan luas universitas. Semakin banyak sampah yang dikumpulkan semakin sedikit tugas yang mereka dapatkan. Begitu pengumuman dari panitia orientasi pengenalan kampus waktu itu.
Semua mahasiswa baru langsung berlarian memunguti sampah-sampah yang bertebaran hasil dari meriahnya acara pembukaan penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan kemarin siang. Maura dan Celina reflek memegang kening mereka, lalu tertawa bersama. Mereka tak menyangka sekarang mereka begitu bernafsu mengumpulkan sampah-sampah.
"Waktu di SMA dulu, aku paling anti memunguti sampah," ucap Maura pada Celina.
Mereka duduk di sebuah lesehan kayu di bawah pohon rindang sambil selonjorkan kaki. Bersama-sama mereka beristirahat sejenak. Mendengar itu Celina hanya tertawa kecil.
Gadis mungil itu memandang Maura yang menikmati udara segar di bawah pohon rindang itu. Angin sepoi-sepoi meniup helaian rambut gadis modis dihadapannya. Celina terpana mengagumi kecantikan Maura.
"Sebenarnya aku tidak ingin menginjakkan kakiku di kampus ini. Aku ingin menjadi seorang model. Aku ingin terkenal. Ingin memiliki rumah di lingkungan yang hanya di huni oleh selebriti-selebriti. Aku ingin bepergian ke luar negeri. Aku ingin berlibur ke pulau-pulau yang eksotis. Villa-villa indah semua kubeli," ucap Maura begitu semangat berkhayal.
Celina tersenyum-senyum membayangkan impian Maura. "Lalu kenapa akhirnya masuk universitas ini?" tanya Celina polos.
"Orang tuaku yang menginginkan aku untuk kuliah. Mereka ingin aku mendapatkan pekerjaan kantoran di perusahaan. Berangkat pagi pulang sore. Bagi mereka itu adalah pekerjaan yang paling aman untuk kehidupan seorang gadis," jelas Maura, semangatnya langsung hilang menceritakan keinginan orang tuanya.
Celina menunduk, kehidupan sederhana itulah yang justru diinginkannya. Berangkat pagi, pulang sore, lalu bersantai di rumah yang sederhana, sambil menonton info terkini dan berita-berita. Celina yang dibesarkan di sebuah panti asuhan harus belajar dengan giat demi kehidupannya yang lebih baik. Gadis itu merasa prihatin dengan kehidupan panti yang semakin lama semakin sulit.
Para donatur sudah mulai jarang membantu mereka sementara masih banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan dana untuk pendidikan dan biaya hidup yang semakin lama semakin mahal.
Mereka yang cukup dewasa bahkan harus berpuasa demi menghemat persediaan bahan makanan. Ditambah lagi jaman sekarang ini semakin sedikit minat orang yang mau mengadopsi anak, dikarenakan biaya hidup yang semakin tinggi.
Orang-orang yang berkecukupan juga lebih tertarik memperbanyak hartanya daripada berbagi dengan cara mengadopsi atau menjadikan mereka anak asuhnya.
Celina bercita-cita memiliki kehidupan yang lebih baik demi bisa membantu anak-anak panti asuhan. Karena itu Celina sangat rajin belajar hingga selalu mendapat rangking pertama di setiap semesternya.
Dan sekarang Celina mendapat beasiswa dari Universitas itu, mulai dari pendaftaran hingga di wisuda nanti. Sebuah keberuntungan baginya, pengajuan beasiswanya mendapat respon yang baik dari Universitas. Dengan ragu-ragu Celina menunjukkan surat pernyataan diterima dengan beasiswa penuh itu pada bu Tina. Gadis itu tak ingin meninggalkan ibu panti dan adik-adik yang sangat disayanginya.
Mendengar keberhasilan Celina, Bu Tina menangis terharu. Gadis yang dibesarkannya sejak ditemukan di sebuah rumah kosong itu. Sekarang telah menjadi seorang mahasiswi tanpa membebaninya. Mendengar tangis bu Tina, Celina mengurungkan niatnya menerima beasiswa itu.
"Tidak! Kamu harus mengambil kesempatan itu. Tak pernah ibu melihat ada anak yang seberuntung kamu. Kamu tidak boleh lemah, tinggalkan kami. Biarkan kami, jangan korbankan masa depanmu demi kami, lupakan kami," ucap bu Tina memberi dukungan pada Celina.
Terasa berat berkata seperti itu, tapi Bu Tina harus kuat. Dengan air mata yang mengalir ibu itu terus menyatakan dukungannya meski berat membayangkan berpisah dengan Celina. Bu Tina merasa gadis itu berat hati menerima beasiswa karena tak tega meninggalkannya dan adik-adiknya di panti asuhan.
"Nggak ... Nggak bu, saya nggak mau melupakan ibu. Saya nggak mau melupakan adik-adik semua," ucap Celina menangis tersedu-sedu dalam pelukan Bu Tina. Satu-satunya orang yang dianggap ibunya.
"Baiklah ... baiklah kalau begitu ingatlah kami. Gapailah cita-citamu. Ingatlah kami yang selalu mendukung dan mendoakanmu. Jika kamu berhasil bantulah adik-adikmu," ucap itu akhirnya keluar dari mulut Bu Tina sambil memeluk erat Celina.
Gadis yang selama ini menjadi tumpuan kasih sayangnya. Tempat mencurahkan isi hatinya. Putri angkat yang menjadi temannya dalam menjalani kehidupan berat setelah kematian suaminya.
Celina menghapus air matanya, terkenang dukungan Bu Tina yang mengantarnya sampai di Universitas itu. Bu Tina memberi sedikit uang untuk bekal hidup Celina untuk sementara. Sedikit uang yang digunakan gadis itu untuk membayar sewa asrama milik universitas.
Biaya sewa asrama jauh lebih murah dibandingkan menyewa kamar kost. Itu dipilihnya demi menghemat uang pemberian Bu Tina tetapi bekal uang itu semakin lama semakin menipis karena juga digunakan gadis itu untuk kebutuhan sehari-harinya sebelum mendapatkan penghasilan sendiri.
Celina harus mulai mencari pekerjaan yang mau menerima karyawan yang bekerja sambil kuliah. Gadis itu sudah mencoba melamar kerja di berbagai tempat. Sebagai SPG, pelayan atau kasir minimarket tetapi tak satu pun yang mau memberi toleransi yang sesuai dengan jadwal kuliah gadis itu.
Satu-satunya jalan adalah mencari pekerjaan yang dikerjakan di malam hari. Entah kenapa gadis itu justru bercerita pada Maura. Maura pun mengajak Celina bekerja ditempatnya mencari tambahan penghasilan.
Untuk menunjang penampilannya, Maura tak cukup hanya mengandalkan kiriman dari orang tua. Itulah sebabnya gadis itu bekerja di club malam itu dengan harapan mendapat gaji bulanan sekaligus tips dari para pelanggan club.
Celina pun diterima bekerja dan mulai bekerja di club itu. Sejak awal gadis itu sudah menekankan dirinya hanya ingin menjadi seorang pelayan di situ. Namun, godaan dari tamu club sering datang mengganggunya.
Celina selalu bertahan dengan prinsipnya. Tidak akan menjadi wanita penghibur. Gadis itu hanya perlu sedikit penghasilan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan untuk mengisi perutnya. Barang-barang mewah. Baju-baju bermerk atau kosmetik mahal sama sekali tidak membuatnya tergiur.
Wanita-wanita penghibur di club malam itu awalnya sama seperti Celina. Mereka hanya bekerja sebagai pelayan biasa. Namun, karena godaan dunia akhirnya terjerumus menjadi wanita penghibur.
Berbagai alasan akhirnya mereka berpindah profesi. Karena terdesak kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tergoda kekasih atau seperti Maura, terjebak pencari bakat palsu. Gadis itu menyerahkan mahkota kehormatannya demi ambisi menjadi seorang model. Hingga akhirnya tertipu dan sekarang beralih profesi menjadi wanita penghibur di club malam itu.
Meski sekarang berbeda aliran mereka masih tetap berteman. Mereka tetap menjadi mahasiswa di universitas yang sama. Namun, berbeda kelas dan berbeda jurusan.
"Kamu yakin dia masih perawan?" tanya tamu yang sedang ditemani Maura.
"Pastilah, Celina itu temanku, di sini atau di kampus, aku tidak pernah melihatnya dekat dengan pria mana pun," jawab Maura sambil bersandar di bahu laki-laki itu.
"Berapa harga untuk keperawanannya?" tanya sang tamu.
"Serius tertarik? " tanya Maura kaget hingga bangkit dari sandarannya.
"Ya, kalau memang benar. Aku bisa kasih harga yang tinggi," ucap tamu itu meyakinkan.
Mendengar itu Maura pun mulai merayu Celina. Gadis itu berharap bisa mendapat tips dari tamu itu jika berhasil membujuk Celina. Tapi yang lebih penting bagi Maura, gadis itu ingin Celina sama sepertinya, terjerumus dalam dunia malam.
Celina kontan menolak karena sejak awal dia sudah memastikan tidak akan mau menjadi wanita penghibur. Maura kesal, gadis itu mencari-cari cara agar Celina terjebak dalam situasi yang memaksanya menerima tawaran itu. Malam itu, entah apa yang merasukinya, Maura langkah ke tengah club dan berteriak lantang.
"Celina, si gadis perawan itu ingin harga tertinggi. Bagi siapa yang sanggup membayar paling tinggi dialah yang bisa mendapatkan keperawanannya," jerit Maura dengan suara keras lalu tertawa di tengah hingar-bingar suara musik dan suara tawa pengunjung club malam besar itu.
Gadis itu sengaja berkata keras agar banyak laki-laki yang bisa mendengarnya. Dan hasilnya sejak saat itu selalu datang laki-laki yang menawar Celina. Mulai dari tiga juta, lima juta hingga belasan bahkan puluhan juta.
Celina yang tidak tahu siapa penyebar berita itu merasa panik, takut dan bingung. Setiap malam selalu ada yang mulai kurang ajar padanya. Gosip bahwa dia melelang keperawanannya telah tersebar dan banyak tamu yang ingin mencoba menawarnya.
"Apa yang harus saya lakukan Pak? Kenapa ada rumor seperti ini, siapa yang menyebarkannya?" tanya Celina, air mata gadis itu mengalir dengan tubuh yang gemetar.
Pak John hanya tertunduk. Dia sendiri tidak tahu entah siapa yang menyebar isu itu. Pikiran pak John bercampur aduk. Kasihan pada gadis itu tetapi juga senang karena gosip itu membuat jumlah tamu club semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pak John hanya bisa menguatkan hati Celina agar bisa bertahan bekerja di tempat yang menjadi tanggung jawabnya itu. Laki-laki paruh baya itu mendapat ucapan selamat dan penghargaan dari bos pemilik club saat berkunjung dan mendapati club itu semakin ramai didatangi.
"Bersabarlah Celina, nanti gosip itu akan mereda sendiri," ucapnya setengah hati.
"Tolong bantu saya Pak. Saya tidak ingin diganggu mereka," ucap Celina memohon.
"Ya, ya tentu saja, jika aku melihat mereka mengganggu, pasti aku akan membantumu," ucap Pak John yang tentu hanya setengah tulus.
Karena jika gadis itu dibantu atau disembunyikan, para tamu akan lari dan jika tamu mendapatkan gadis itu sudah tidak perawan lagi, tentu tidak ada lagi yang jadi penarik tamu untuk datang ke club itu. Pak John memilih berdiri di tengah. Membantu sekedarnya saat Celina terdesak atau membiarkan para laki-laki itu melakukan tawar menawar sendiri dengan Celina.
Malam ini, Celina berlari panik setelah meletakkan minuman yang dipesan. Seorang tamu berlaku kurang ajar padanya. Melemparkan beberapa ikat uang ratusan ribu di depan gadis itu lalu berusaha meraihnya.
Celina berlari menghindar tetapi kakinya tersandung. Seorang laki-laki menyambut tubuh gadis itu. Tanpa sadar, Celina menatap wajah tampan dihadapannya. Laki-laki itu masih saja memegangi tubuh Celina yang bersandar padanya.
"Dia orangnya Tuan," bisik seorang laki-laki di belakang tuan muda itu.
"Biasa saja," balasnya sambil memandangi wajah Celina.
"Berapa tawaran tertinggi?" tanya tuan muda itu lagi.
"Sudah mencapai lima puluh lima," balas laki-laki di belakang itu. Celina memandang kedua orang itu bergantian.
Kurang ajar, apa mereka bicarakan aku? Semua orang di sini sama saja, bisik hati Celina. Gadis itu segera melepaskan diri dari pelukan laki-laki itu.
"Bagaimana kalau 90 juta untuk gadis seperti ini? Apa begitu sulit mendapatkan gadis perawan di zaman sekarang ini, David?" tanya laki-laki yang terlihat seperti tuan muda itu.
"Tentu tidak tuan, masih banyak di luar sana tapi cukup sulit didapat di lingkungan seperti ini," jawab David.
"Tidak ... tidak ... aku tidak untuk dijual. Harga diriku tidak untuk dijual. Aku berhenti. Aku bukan pelayan di sini lagi," ucap Celina menggeleng panik berkata di depan kedua laki-laki itu.
Celina sudah mengambil keputusan. Gadis itu tidak ingin bekerja di situ lagi. Dia tidak ingin berada di situ lebih lama lagi. Meskipun kelaparan gadis itu membulatkan tekad untuk keluar dari pekerjaan itu. Celina pun erlari melewati kedua laki-laki itu untuk menemui pak John.
"Saya nggak sanggup lagi pak. Saya ingin berhenti, maafkan saya, Pak" ucap Celina lalu masuk ke ruang ganti dan mengganti seragamnya dengan pakaiannya sendiri.
Pak John hanya tertunduk. Laki-laki itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Tekad Celina sudah bulat ingin keluar. Laki-laki paruh baya itu pasrah melepas Celina.
"Celina ... ini gajimu, meski belum cukup sebulan ini tapi aku membayarnya penuh," ucap pak John sambil menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
Laki-laki itu berpikir tak masalah memberi gaji sebulan penuh pada Celina karena gadis itu sudah cukup banyak memberi pemasukan bagi club itu dan pak John berterima kasih meski tak diucapkannya. Celina menerima uang itu dan berterima kasih lalu beranjak pergi.
Tergesa-gesa gadis itu keluar dari club malam itu. Dengan tubuh yang masih gemetar, Celina berlalu dari tempat itu. Mengabaikan suara teriakan yang terdengar ramai dari para pengunjung laki-laki yang memanggilnya.
Celina pun berjalan di jalanan yang sepi. Biasanya gadis itu dan pelayan lainnya akan diantar pulang oleh karyawan club. Namun, kali ini gadis itu harus berjalan seorang diri. Rasa tak biasa membuat Celina mempercepat jalannya. Gadis itu merasa takut dengan suasana jalanan yang sepi itu. Berkali-kali melirik ke arah jam tangannya.
Sudah lewat tengah malam, bagaimana aku mencapai asrama?
Celina melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada lagi angkutan umum di jam-jam itu, yang ada cuma seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Entah kenapa gadis itu merasakan firasat buruk.
Celina mempercepat langkahnya. Laki-laki itu juga mempercepat langkahnya. Gadis itu mulai panik kemudian berlari. Sesekali menoleh ke belakang, melihat laki-laki itu yang ternyata juga ikut berlari.
Sudah pasti. Sekarang gadis itu sudah yakin laki-laki itu mengejarnya. Celina panik mencari jalan tembus menuju jalanan ramai tapi dirinya justru terhenti di jalanan yang buntu.
Gadis itu panik. Laki-laki itu dikenalinya sebagai tuan muda di club malam tadi. Sekarang laki-laki itu sedang berjalan ke arahnya. Tak ada jalan lain, meski gemetar Celina harus mencoba menerobos laki-laki itu dan berlari ke arah lain.
Tapi apa mau di kata, bukannya berhasil melewati laki-laki itu, Celina justru tertangkap dan dibanting ke arah dinding. Gadis itu merasakan kepalanya terbentur. Pandangannya kabur. Gadis itu pun jatuh tersungkur.
...☘️☘️☘️ ~ Bersambung ~ ☘️☘️☘️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Wirda Lubis
celin bodoh menjerit minta tolong
2023-10-10
0
Sering Halu
❤
2023-09-16
0
Bang Wind
❤
2023-09-14
0