Celina menatap bayi yang baru saja dilahirkannya seorang diri di sebuah rumah kosong. Bayi laki-laki yang masih berlumuran darah itu menangis sangat kencang menggema ke seluruh lorong rumah hingga menimbulkan suara yang menyeramkan.
Menatap bayi itu seperti menatap wajah laki-laki yang menyekapnya dalam sebuah Villa selama berhari-hari. Kebencian, hanya kebencian yang bisa dirasakannya pada makhluk kecil yang baru saja hadir di permukaan bumi ini.
Terlintas bayangan saat laki-laki itu mengejarnya di sebuah lorong kota yang telah sepi. Celina melarikan diri tetapi dia memilih jalan yang salah, berharap menembus jalan menuju keramaian tapi justru menemui jalan buntu.
Terlihat seringai laki-laki itu di sela-sela bias lampu jalan. Air mata mengalir dari pelupuk mata Celina. Rasa panik yang luar biasa, menghantui setiap pertanyaan yang muncul di benaknya. Mampukah dia menghindar, mampukah dia melawan. Celina semakin panik saat tubuhnya tersandar ke dinding tembok jalan yang buntu.
Melangkah pelan penuh percaya diri, laki-laki itu semakin mendekat padanya. Terdengar tawa sinis laki-laki itu merendahkan usaha Celina untuk melarikan diri.
"Aku tidak pernah gagal," ucap laki-laki itu sambil tertawa menyeramkan.
Hingga kini Celina masih ingat suara itu, kata-kata itu, dan kini tawa itu berganti dengan suara tangis seorang bayi. Tetapi bagi Celina tawa dan tangis itu terdengar sama-sama menyakitkan.
Celina menutup kedua telinganya sekuat tenaga. Gadis yang telah menjadi seorang ibu beberapa saat yang lalu itu terlihat sangat depresi. Kehamilan yang tak diinginkan itu telah memupus semua cita-citanya. Khayalan masa depannya, mimpi-mimpinya dan harapannya.
Tak ada sedikit pun keinginannya untuk melahirkan bayi itu. Namun, janin itu terlanjur bersarang dirahimnya. Gadis itu tak mampu melawan kenyataan. Semua itu hasil perbuatan laki-laki yang baru malam itu dilihatnya, laki-laki yang bahkan dia tidak tahu siapa namanya.
Di rumah kosong itu Celina berteriak, dia tidak ingin mendengar suara tangis bayi itu. Memilih berlari dari ruangan pengap, gelap dan lembab itu. Di teras rumah Celina berhenti, menoleh kembali ke dalam rumah.
"Aku harus tinggalkan dia. Aku tidak peduli. Aku akan meninggalkannya," ucap Celina berbicara pada dirinya sendiri.
Sembilan bulan gadis itu harus menanggung kehamilan seorang diri. Tanpa dukungan dari siapa pun. Celina harus merelakan semester kelima kuliahnya demi menghilang dari orang-orang yang mengenalnya.
Semua berawal dari ucapan perempuan jahat itu. Maura yang selalu memandang sinis padanya.
"Kata siapa di sini tidak ada perawan? Tuh, si gadis kampung itu, masih belum laku-laku," tunjuknya pada Celina yang sedang membawa nampan berisi gelas dan botol minuman.
Pengunjung yang diajak bicara langsung melirik pada Celina. "Cantik juga," ungkapnya melihat Celina yang meletakkan gelas-gelas itu di sebuah meja tamu club malam dan menuangkan minumannya.
"Huh, cantik apanya? Udik gitu," jawab gadis itu lagi.
"Maura, kamu iri padanya hah?" tanya tamu itu tersenyum sambil membelai rambut gadis itu.
Maura menyangkal, tak ada satu pun dari Celina yang membuatnya iri. Tubuhnya lebih indah dari badan kurus Celina. Wajahnya lebih cantik dibandingkan gadis pucat berwajah polos itu tanpa sentuhan makeup itu.
Kemampuan Maura untuk memikat laki-laki, tentu saja jauh di atas Celina. Dilihat dari sudut pandang mana pun, Maura lebih segala-galanya dibanding gadis culun itu. Namun, satu yang tak dimiliki Maura yaitu kehormatan.
Hingga kini Celina masih menjaga kehormatannya. Iri? Ya, Maura iri untuk yang satu itu. Celina masih bisa pertahankan sesuatu yang berharga tapi tak terlihat itu. Hingga saat ini, hingga detik ini.
Maura menatap sinis gadis yang masih sibuk hilir mudik membawakan minuman itu. Pekerjaan yang dulu pernah dilakukannya. Bahkan Maura-lah yang membawa Celina bekerja di tempat itu.
Maura dan Celina, terhantuk kepala mereka saat sibuk memunguti sampah di lapangan luas universitas. Semakin banyak sampah yang dikumpulkan semakin sedikit tugas yang mereka dapatkan. Begitu pengumuman dari panitia orientasi pengenalan kampus waktu itu.
Semua mahasiswa baru langsung berlarian memunguti sampah-sampah yang bertebaran hasil dari meriahnya acara pembukaan penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan kemarin siang. Maura dan Celina reflek memegang kening mereka, lalu tertawa bersama. Mereka tak menyangka sekarang mereka begitu bernafsu mengumpulkan sampah-sampah.
"Waktu di SMA dulu, aku paling anti memunguti sampah," ucap Maura pada Celina.
Mereka duduk di sebuah lesehan kayu di bawah pohon rindang sambil selonjorkan kaki. Bersama-sama mereka beristirahat sejenak. Mendengar itu Celina hanya tertawa kecil.
Gadis mungil itu memandang Maura yang menikmati udara segar di bawah pohon rindang itu. Angin sepoi-sepoi meniup helaian rambut gadis modis dihadapannya. Celina terpana mengagumi kecantikan Maura.
"Sebenarnya aku tidak ingin menginjakkan kakiku di kampus ini. Aku ingin menjadi seorang model. Aku ingin terkenal. Ingin memiliki rumah di lingkungan yang hanya di huni oleh selebriti-selebriti. Aku ingin bepergian ke luar negeri. Aku ingin berlibur ke pulau-pulau yang eksotis. Villa-villa indah semua kubeli," ucap Maura begitu semangat berkhayal.
Celina tersenyum-senyum membayangkan impian Maura. "Lalu kenapa akhirnya masuk universitas ini?" tanya Celina polos.
"Orang tuaku yang menginginkan aku untuk kuliah. Mereka ingin aku mendapatkan pekerjaan kantoran di perusahaan. Berangkat pagi pulang sore. Bagi mereka itu adalah pekerjaan yang paling aman untuk kehidupan seorang gadis," jelas Maura, semangatnya langsung hilang menceritakan keinginan orang tuanya.
Celina menunduk, kehidupan sederhana itulah yang justru diinginkannya. Berangkat pagi, pulang sore, lalu bersantai di rumah yang sederhana, sambil menonton info terkini dan berita-berita. Celina yang dibesarkan di sebuah panti asuhan harus belajar dengan giat demi kehidupannya yang lebih baik. Gadis itu merasa prihatin dengan kehidupan panti yang semakin lama semakin sulit.
Para donatur sudah mulai jarang membantu mereka sementara masih banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan dana untuk pendidikan dan biaya hidup yang semakin lama semakin mahal.
Mereka yang cukup dewasa bahkan harus berpuasa demi menghemat persediaan bahan makanan. Ditambah lagi jaman sekarang ini semakin sedikit minat orang yang mau mengadopsi anak, dikarenakan biaya hidup yang semakin tinggi.
Orang-orang yang berkecukupan juga lebih tertarik memperbanyak hartanya daripada berbagi dengan cara mengadopsi atau menjadikan mereka anak asuhnya.
Celina bercita-cita memiliki kehidupan yang lebih baik demi bisa membantu anak-anak panti asuhan. Karena itu Celina sangat rajin belajar hingga selalu mendapat rangking pertama di setiap semesternya.
Dan sekarang Celina mendapat beasiswa dari Universitas itu, mulai dari pendaftaran hingga di wisuda nanti. Sebuah keberuntungan baginya, pengajuan beasiswanya mendapat respon yang baik dari Universitas. Dengan ragu-ragu Celina menunjukkan surat pernyataan diterima dengan beasiswa penuh itu pada bu Tina. Gadis itu tak ingin meninggalkan ibu panti dan adik-adik yang sangat disayanginya.
Mendengar keberhasilan Celina, Bu Tina menangis terharu. Gadis yang dibesarkannya sejak ditemukan di sebuah rumah kosong itu. Sekarang telah menjadi seorang mahasiswi tanpa membebaninya. Mendengar tangis bu Tina, Celina mengurungkan niatnya menerima beasiswa itu.
"Tidak! Kamu harus mengambil kesempatan itu. Tak pernah ibu melihat ada anak yang seberuntung kamu. Kamu tidak boleh lemah, tinggalkan kami. Biarkan kami, jangan korbankan masa depanmu demi kami, lupakan kami," ucap bu Tina memberi dukungan pada Celina.
Terasa berat berkata seperti itu, tapi Bu Tina harus kuat. Dengan air mata yang mengalir ibu itu terus menyatakan dukungannya meski berat membayangkan berpisah dengan Celina. Bu Tina merasa gadis itu berat hati menerima beasiswa karena tak tega meninggalkannya dan adik-adiknya di panti asuhan.
"Nggak ... Nggak bu, saya nggak mau melupakan ibu. Saya nggak mau melupakan adik-adik semua," ucap Celina menangis tersedu-sedu dalam pelukan Bu Tina. Satu-satunya orang yang dianggap ibunya.
"Baiklah ... baiklah kalau begitu ingatlah kami. Gapailah cita-citamu. Ingatlah kami yang selalu mendukung dan mendoakanmu. Jika kamu berhasil bantulah adik-adikmu," ucap itu akhirnya keluar dari mulut Bu Tina sambil memeluk erat Celina.
Gadis yang selama ini menjadi tumpuan kasih sayangnya. Tempat mencurahkan isi hatinya. Putri angkat yang menjadi temannya dalam menjalani kehidupan berat setelah kematian suaminya.
Celina menghapus air matanya, terkenang dukungan Bu Tina yang mengantarnya sampai di Universitas itu. Bu Tina memberi sedikit uang untuk bekal hidup Celina untuk sementara. Sedikit uang yang digunakan gadis itu untuk membayar sewa asrama milik universitas.
Biaya sewa asrama jauh lebih murah dibandingkan menyewa kamar kost. Itu dipilihnya demi menghemat uang pemberian Bu Tina tetapi bekal uang itu semakin lama semakin menipis karena juga digunakan gadis itu untuk kebutuhan sehari-harinya sebelum mendapatkan penghasilan sendiri.
Celina harus mulai mencari pekerjaan yang mau menerima karyawan yang bekerja sambil kuliah. Gadis itu sudah mencoba melamar kerja di berbagai tempat. Sebagai SPG, pelayan atau kasir minimarket tetapi tak satu pun yang mau memberi toleransi yang sesuai dengan jadwal kuliah gadis itu.
Satu-satunya jalan adalah mencari pekerjaan yang dikerjakan di malam hari. Entah kenapa gadis itu justru bercerita pada Maura. Maura pun mengajak Celina bekerja ditempatnya mencari tambahan penghasilan.
Untuk menunjang penampilannya, Maura tak cukup hanya mengandalkan kiriman dari orang tua. Itulah sebabnya gadis itu bekerja di club malam itu dengan harapan mendapat gaji bulanan sekaligus tips dari para pelanggan club.
Celina pun diterima bekerja dan mulai bekerja di club itu. Sejak awal gadis itu sudah menekankan dirinya hanya ingin menjadi seorang pelayan di situ. Namun, godaan dari tamu club sering datang mengganggunya.
Celina selalu bertahan dengan prinsipnya. Tidak akan menjadi wanita penghibur. Gadis itu hanya perlu sedikit penghasilan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan untuk mengisi perutnya. Barang-barang mewah. Baju-baju bermerk atau kosmetik mahal sama sekali tidak membuatnya tergiur.
Wanita-wanita penghibur di club malam itu awalnya sama seperti Celina. Mereka hanya bekerja sebagai pelayan biasa. Namun, karena godaan dunia akhirnya terjerumus menjadi wanita penghibur.
Berbagai alasan akhirnya mereka berpindah profesi. Karena terdesak kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tergoda kekasih atau seperti Maura, terjebak pencari bakat palsu. Gadis itu menyerahkan mahkota kehormatannya demi ambisi menjadi seorang model. Hingga akhirnya tertipu dan sekarang beralih profesi menjadi wanita penghibur di club malam itu.
Meski sekarang berbeda aliran mereka masih tetap berteman. Mereka tetap menjadi mahasiswa di universitas yang sama. Namun, berbeda kelas dan berbeda jurusan.
"Kamu yakin dia masih perawan?" tanya tamu yang sedang ditemani Maura.
"Pastilah, Celina itu temanku, di sini atau di kampus, aku tidak pernah melihatnya dekat dengan pria mana pun," jawab Maura sambil bersandar di bahu laki-laki itu.
"Berapa harga untuk keperawanannya?" tanya sang tamu.
"Serius tertarik? " tanya Maura kaget hingga bangkit dari sandarannya.
"Ya, kalau memang benar. Aku bisa kasih harga yang tinggi," ucap tamu itu meyakinkan.
Mendengar itu Maura pun mulai merayu Celina. Gadis itu berharap bisa mendapat tips dari tamu itu jika berhasil membujuk Celina. Tapi yang lebih penting bagi Maura, gadis itu ingin Celina sama sepertinya, terjerumus dalam dunia malam.
Celina kontan menolak karena sejak awal dia sudah memastikan tidak akan mau menjadi wanita penghibur. Maura kesal, gadis itu mencari-cari cara agar Celina terjebak dalam situasi yang memaksanya menerima tawaran itu. Malam itu, entah apa yang merasukinya, Maura langkah ke tengah club dan berteriak lantang.
"Celina, si gadis perawan itu ingin harga tertinggi. Bagi siapa yang sanggup membayar paling tinggi dialah yang bisa mendapatkan keperawanannya," jerit Maura dengan suara keras lalu tertawa di tengah hingar-bingar suara musik dan suara tawa pengunjung club malam besar itu.
Gadis itu sengaja berkata keras agar banyak laki-laki yang bisa mendengarnya. Dan hasilnya sejak saat itu selalu datang laki-laki yang menawar Celina. Mulai dari tiga juta, lima juta hingga belasan bahkan puluhan juta.
Celina yang tidak tahu siapa penyebar berita itu merasa panik, takut dan bingung. Setiap malam selalu ada yang mulai kurang ajar padanya. Gosip bahwa dia melelang keperawanannya telah tersebar dan banyak tamu yang ingin mencoba menawarnya.
"Apa yang harus saya lakukan Pak? Kenapa ada rumor seperti ini, siapa yang menyebarkannya?" tanya Celina, air mata gadis itu mengalir dengan tubuh yang gemetar.
Pak John hanya tertunduk. Dia sendiri tidak tahu entah siapa yang menyebar isu itu. Pikiran pak John bercampur aduk. Kasihan pada gadis itu tetapi juga senang karena gosip itu membuat jumlah tamu club semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pak John hanya bisa menguatkan hati Celina agar bisa bertahan bekerja di tempat yang menjadi tanggung jawabnya itu. Laki-laki paruh baya itu mendapat ucapan selamat dan penghargaan dari bos pemilik club saat berkunjung dan mendapati club itu semakin ramai didatangi.
"Bersabarlah Celina, nanti gosip itu akan mereda sendiri," ucapnya setengah hati.
"Tolong bantu saya Pak. Saya tidak ingin diganggu mereka," ucap Celina memohon.
"Ya, ya tentu saja, jika aku melihat mereka mengganggu, pasti aku akan membantumu," ucap Pak John yang tentu hanya setengah tulus.
Karena jika gadis itu dibantu atau disembunyikan, para tamu akan lari dan jika tamu mendapatkan gadis itu sudah tidak perawan lagi, tentu tidak ada lagi yang jadi penarik tamu untuk datang ke club itu. Pak John memilih berdiri di tengah. Membantu sekedarnya saat Celina terdesak atau membiarkan para laki-laki itu melakukan tawar menawar sendiri dengan Celina.
Malam ini, Celina berlari panik setelah meletakkan minuman yang dipesan. Seorang tamu berlaku kurang ajar padanya. Melemparkan beberapa ikat uang ratusan ribu di depan gadis itu lalu berusaha meraihnya.
Celina berlari menghindar tetapi kakinya tersandung. Seorang laki-laki menyambut tubuh gadis itu. Tanpa sadar, Celina menatap wajah tampan dihadapannya. Laki-laki itu masih saja memegangi tubuh Celina yang bersandar padanya.
"Dia orangnya Tuan," bisik seorang laki-laki di belakang tuan muda itu.
"Biasa saja," balasnya sambil memandangi wajah Celina.
"Berapa tawaran tertinggi?" tanya tuan muda itu lagi.
"Sudah mencapai lima puluh lima," balas laki-laki di belakang itu. Celina memandang kedua orang itu bergantian.
Kurang ajar, apa mereka bicarakan aku? Semua orang di sini sama saja, bisik hati Celina. Gadis itu segera melepaskan diri dari pelukan laki-laki itu.
"Bagaimana kalau 90 juta untuk gadis seperti ini? Apa begitu sulit mendapatkan gadis perawan di zaman sekarang ini, David?" tanya laki-laki yang terlihat seperti tuan muda itu.
"Tentu tidak tuan, masih banyak di luar sana tapi cukup sulit didapat di lingkungan seperti ini," jawab David.
"Tidak ... tidak ... aku tidak untuk dijual. Harga diriku tidak untuk dijual. Aku berhenti. Aku bukan pelayan di sini lagi," ucap Celina menggeleng panik berkata di depan kedua laki-laki itu.
Celina sudah mengambil keputusan. Gadis itu tidak ingin bekerja di situ lagi. Dia tidak ingin berada di situ lebih lama lagi. Meskipun kelaparan gadis itu membulatkan tekad untuk keluar dari pekerjaan itu. Celina pun erlari melewati kedua laki-laki itu untuk menemui pak John.
"Saya nggak sanggup lagi pak. Saya ingin berhenti, maafkan saya, Pak" ucap Celina lalu masuk ke ruang ganti dan mengganti seragamnya dengan pakaiannya sendiri.
Pak John hanya tertunduk. Laki-laki itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Tekad Celina sudah bulat ingin keluar. Laki-laki paruh baya itu pasrah melepas Celina.
"Celina ... ini gajimu, meski belum cukup sebulan ini tapi aku membayarnya penuh," ucap pak John sambil menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
Laki-laki itu berpikir tak masalah memberi gaji sebulan penuh pada Celina karena gadis itu sudah cukup banyak memberi pemasukan bagi club itu dan pak John berterima kasih meski tak diucapkannya. Celina menerima uang itu dan berterima kasih lalu beranjak pergi.
Tergesa-gesa gadis itu keluar dari club malam itu. Dengan tubuh yang masih gemetar, Celina berlalu dari tempat itu. Mengabaikan suara teriakan yang terdengar ramai dari para pengunjung laki-laki yang memanggilnya.
Celina pun berjalan di jalanan yang sepi. Biasanya gadis itu dan pelayan lainnya akan diantar pulang oleh karyawan club. Namun, kali ini gadis itu harus berjalan seorang diri. Rasa tak biasa membuat Celina mempercepat jalannya. Gadis itu merasa takut dengan suasana jalanan yang sepi itu. Berkali-kali melirik ke arah jam tangannya.
Sudah lewat tengah malam, bagaimana aku mencapai asrama?
Celina melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada lagi angkutan umum di jam-jam itu, yang ada cuma seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Entah kenapa gadis itu merasakan firasat buruk.
Celina mempercepat langkahnya. Laki-laki itu juga mempercepat langkahnya. Gadis itu mulai panik kemudian berlari. Sesekali menoleh ke belakang, melihat laki-laki itu yang ternyata juga ikut berlari.
Sudah pasti. Sekarang gadis itu sudah yakin laki-laki itu mengejarnya. Celina panik mencari jalan tembus menuju jalanan ramai tapi dirinya justru terhenti di jalanan yang buntu.
Gadis itu panik. Laki-laki itu dikenalinya sebagai tuan muda di club malam tadi. Sekarang laki-laki itu sedang berjalan ke arahnya. Tak ada jalan lain, meski gemetar Celina harus mencoba menerobos laki-laki itu dan berlari ke arah lain.
Tapi apa mau di kata, bukannya berhasil melewati laki-laki itu, Celina justru tertangkap dan dibanting ke arah dinding. Gadis itu merasakan kepalanya terbentur. Pandangannya kabur. Gadis itu pun jatuh tersungkur.
...☘️☘️☘️ ~ Bersambung ~ ☘️☘️☘️...
Celina membuka matanya pelan, kepalanya terasa sakit. Lalu menatap plafon rumah yang sangat tinggi itu, Celina merasa tidak mengenali pemandangan yang ada dihadapannya. Perlahan gadis itu bergerak duduk, semua tubuhnya terasa sakit.
Celina menoleh ke seluruh ruangan, gadis itu sungguh-sungguh tak mengenali ruangan itu. Sebuah kamar yang sangat luas dengan interior yang modern dan mewah. Matanya terhenti pada secarik kertas yang tersandar di lampu meja.
Gadis itu menyipitkan matanya, memperjelas pandangan matanya
'AKU AKAN KEMBALI '
Siapa yang menulis itu? batin Celina.
Gadis itu mengingat kembali semua yang terjadi, berhenti dari club, berlari di lorong gelap, jalan buntu dan laki-laki itu. Celina reflek memeriksa tubuhnya, yang hanya ditutupi selembar kain putih.
Gadis itu tidak mengenakan apapun.
"Tidak.., tidak.., tidak.., tidak...," Celina menggelengkan kepalanya kuat, pikiran buruk langsung merasuki otaknya.
Teriakan pilu gadis itu memecah sunyi, hal yang ditakutkannya telah terjadi. Kehormatan yang dijaganya dengan sekuat hati, telah terenggut tanpa dia sadari.
Bersimbah air mata, Celina memukul ranjang dan melempar selimut yang tergeletak berantakan. Gadis itu frustrasi, kepalanya terasa sakit, gadis itu tidak bisa menerima kenyataan.
Celina segera mencari pakaiannya namun tidak ditemukan. Celina menarik kain putih lembut pelapis selimut itu dan melilitkannya ke seluruh tubuh.
Gadis itu ingin keluar dari kamar itu, tanpa sadar menoleh pada selembar cek di atas meja. Gadis itu terhuyung, jatuh terduduk di lantai, tubuhnya lunglai.
Sudah terjadi, semuanya sudah terjadi, semuanya sudah terjadi, jerit hatinya berulang kali, Celina masih berharap hal yang ditakutkannya itu masih belum terjadi.
Namun selembar cek itu sudah membuktikannya, laki-laki itu telah membayar perbuatannya dengan lembaran kertas itu.
Celina menoleh ke arah pintu, menatapnya nanar, lalu mencoba berdiri dengan tubuh letihnya, berjalan ke arah pintu dan mencoba membukanya Namun, pintu itu terkunci, gadis itu berteriak sambil menggedor pintu.
"Buka pintu..., buka pintunya..., buka pintunya," jerit gadis itu tak henti-henti, nafasnya sesak, tubuhnya terasa sangat letih.
Namun tak ada tanda-tanda pintu dibuka.
Bagaimana ini? Kenapa harus terjadi? Aku tak menjual diriku, aku tidak mau menjual diriku, aku tidak menjual diri, jerit hati Celina sambil terus memukul daun pintu.
"AKU TIDAK AKAN MENJUAL DIRIKU!" teriakan yang keras akhirnya keluar dari mulutnya.
Gadis itu terus memukul daun pintu, semakin lama semakin pelan, gadis depresi itu semakin lelah. Kakinya terasa lunglai tak mampu lagi menopang tubuhnya.
Gadis itu jatuh di lantai pandangannya kabur. Terngiang pesan ibu angkatnya sehari menjelang mereka berpisah.
~ Jangan pernah dekati tempat seperti itu, tempat itu laksana pusaran air, sekali mendekat, kamu akan terseret arus dan tenggelam didalamnya ~
Maafkan aku ibu, maafkan aku, maafkan aku, jerit hati Celina berulang-ulang.
Perlahan memejamkan mata, buliran bening jatuh di sudut matanya. Gadis itu kembali jatuh pingsan.
Menjelang malam Raffa Saltano, memasuki gerbang villa di pinggir pantai miliknya. Membawa paper bag yang berisi bermacam-macam makanan. Memasuki villa mewah itu dan menghidupkan seluruh penerangan.
Menatap ke lantai atas, dengan langkah cepat laki-laki itu bergegas membuka pintu. Pandangannya tertumpu pada gadis yang tak sadarkan diri di lantai. Meletakkan paper bagnya di meja, menghampiri dan menatap gadis yang tergeletak tak berkutik itu.
Sudah bangun tapi pingsan lagi, pikir laki-laki itu tersenyum simpul.
Menggendong Celina dan menaruh pelan gadis itu di ranjang. Menatapnya lekat-lekat lalu menoleh ke lembaran cek yang ditaruhnya tadi pagi.
Masih di sana, gadis ini belum mengambilnya, bisik hati Raffa.
Lalu kembali mengamati wajah gadis itu, rambut yang acak-acakan, wajah dan bibir yang pucat. Raffa tersenyum sinis.
Teringat kembali kehebohan teman-temannya sesama pengusaha muda. Saat membicarakan seorang pelayan club malam yang melelang keperawanannya.
Harga yang disebut, sama sekali tak ada artinya bagi mereka namun kenyataan belum ada seorangpun yang berhasil mendapatkannya. Itulah yang menjadi pembicaraan seru bagi mereka.
Pelayan club masih perawan, tidak masuk akal, bisik hati Raffa.
Tidak percaya namun Raffa tetap mendengarkan perbincangan mereka, lingkungan seperti itu tidak memungkinkan seorang gadis bisa mempertahankan keperawanannya. Itu yang dipikirkan Raffa, laki-laki itu hanya tersenyum sinis.
Mungkin saja, tapi berapa persen kemungkinannya? Mungkin satu di antara seribu, beruntunglah orang yang satu itu, pikirnya tertawa sendiri
Cerita itu sudah berlalu baginya, namun pertengkaran dengan Jessica membuat laki-laki itu kesal. Setelah membanting ponsel, laki-laki tampan itu memanggil personal assistant-nya.
"Tunjukkan padaku di mana club gadis itu," ucap Raffa dengan wajah kesal.
Orang kepercayaan itu mengangguk dan langsung membukakan pintu ruangan, Raffa berjalan melewatinya. David --sang personal assistant-- berjalan mengikuti. Dengan langkah cepat dan pasti.
Berjalan seperti itu membuat mereka seperti model catwalk yang sedang memperagakan design jas terbaru. Itu yang terbayang oleh para karyawati-karyawati muda di perusahaan itu.
Berhenti sejenak dari kesibukan mereka demi menikmati wajah-wajah tampan yang sedang melintas di hadapan mereka.
David adalah sahabat Raffa semasa kuliah di Amerika, seorang laki-laki dari keluarga sederhana yang mendapat beasiswa di universitas yang sama dengan Raffa karena kecerdasannya. Pulang ke tanah air dan ditampung bekerja di perusahaan milik keluarga Raffa.
David sangat tau kebiasaan atasan sekaligus sahabatnya itu. Wajah tak peduli Raffa saat mendengar rumor itu sama sekali tak membuatnya lengah. Laki-laki itu langsung menyelidiki perihal gadis itu, meskipun tak di minta, karena dia yakin suatu saat Raffa pasti akan menanyakannya.
Setiap kali merasa kesal terhadap kekasihnya, CEO muda itu akan langsung membanting ponsel dan segera memanggilnya, pergi mencari pelampiasan kekesalannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, laki-laki tampan itu akan mencari sesuatu yang baru, yang bisa membuatnya melupakan kekesalannya pada kekasih yang sangat dicintainya itu.
Namun saat berhadapan dengan Celina, Raffa justru mendapatkan sebuah penolakan. Gadis itu melangkah meninggalkannya pergi begitu saja. Ini sebuah penghinaan baginya, laki-laki itu mengejar hingga akhirnya berhasil menempatkan gadis itu di atas ranjangnya.
Laki-laki itu membuktikan apa yang dikatakannya, dia tidak pernah gagal mendapatkan apa yang diinginkannya. Raffa menatap gadis itu lekat-lekat.
Rasa perawan memang beda, batin Raffa.
Kagum dengan apa yang dirasakannya pada Celina, yang bahkan belum pernah dirasakannya pada kekasihnya, Jessica.
Raffa mendekati gadis yang kembali jatuh pingsan itu, perlahan menempelkan bibirnya, menyesap bibir lembut gadis itu. Nafasnya semakin memburu, Raffa ingin menikmati kembali apa yang dirasakannya kemarin malam.
Di tengah malam, Celina kembali terbangun. Merasakan dadanya yang terasa sesak. Gadis itu ingin berdiri namun mendapati dirinya dalam pelukan seorang laki-laki.
Gadis itu langsung menutup mulutnya takut teriakannya akan membangunkan laki-laki yang tertidur lelap disampingnya. Tubuh gadis itu langsung gemetar.
Gadis itu tidak ingin berlama-lama dalam posisi itu, Celina merasakan sesak yang sangat menekan, gadis itu tidak bisa bernafas. Menoleh perlahan pada wajah laki-laki yang hanya beberapa inchi disampingnya.
Apa yang harus kulakukan padamu? Aku ingin membunuhmu, rasanya aku sangat ingin membunuhmu, jerit hati Celina.
Perlahan gadis itu mengangkat tangan yang melingkar didadanya. Perlahan Celina turun dari ranjang, menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya. Gadis itu memalingkan wajahnya saat melihat laki-laki itu tak mengenakan apapun. Buru-buru gadis itu menutupinya dengan selimut.
Air matanya mengalir, tanpa sengaja melihat noda merah di seprai putih ranjang itu. Gadis itu terduduk di lantai, tubuhnya berguncang menahan tangis.
Aku harus pergi, tidak, aku harus melakukan sesuatu padanya, batin Celina berdiri perlahan di depan laki-laki yang masih tertidur itu.
Mencekiknya apakah bisa? Tidak, gadis itu menggelengkan kepala, sebelum laki-laki itu tercekik dia akan lebih dulu melempar gadis itu ke dinding.
Membekapnya dengan bantal? Gadis itu tertawa kecil, sebelum kehabisan nafas laki itu akan menghempaskan tubuh mungil gadis itu ke lantai.
Apa yang harus dilakukannya? Celina berpikir harus segera keluar dari ruangan itu, gadis itu tidak mau di sekap di kamar itu lebih lama lagi.
Celina berlari menuju pintu, badannya sempoyongan namun gadis itu tidak peduli. Gadis itu kembali mencoba membuka pintu namun pintu itu masih terkunci.
Celina mencari-cari di mana laki-laki itu menyimpan kunci. Gadis itu memeriksa di saku celana yang tergeletak di lantai namun tak ditemukannya, di baju, di dompet, di lantai.
"Mencari apa?" tanya laki-laki itu ringan, duduk di ranjang dengan tatapan remeh pada Celina.
Celina berdiri perlahan, langsung menatap tajam pada laki-laki itu. Raffa tersenyum sinis, menilai gadis itu sedang berpura-pura tegar dengan tatapan matanya yang tajam.
"Makanlah, aku membawakan makanan untukmu, seharian kamu belum makan apa-apa," ucapnya ringan seperti tidak terjadi sesuatu.
Celina terbelalak, gadis itu memalingkan wajah saat melihat laki-laki itu berdiri dan meraih celananya dengan santai dan memakainya di depan gadis itu.
"Aku panaskan untukmu," ucapan lagi.
"Aku tidak mau," ucap Celina dengan suara tegas namun bergetar.
Celina tidak menyangka laki-laki itu bersikap begitu santai setelah apa yang dilakukannya. Laki-laki itu menoleh lalu melangkah mendekati gadis itu.
Celina ketakutan, melangkah mundur. Laki-laki itu terus berjalan mendekatinya, menatap dengan pandangan yang meremehkan. Celina mundur hingga membentur dinding.
Laki-laki itu mencengkeram dagu Celina.
"Baguslah, kalau kamu tidak makan maka kamu akan semakin lemah. Kamu tidak akan bisa melawan, aku juga ingin merasakanmu saat kamu masih sadar, seberapa kuat kamu meronta," ucapnya langsung membekap bibir Celina dengan bibirnya.
Celina meronta, melawan tapi tubuhnya tak cukup kuat melawan tubuh kekar dihadapannya. Dalam waktu singkat gadis itu sudah berada di bawah laki-laki itu, Celina kembali meronta, semakin meronta gadis itu semakin bernafsu laki-laki itu.
Celina berteriak, laki-laki itu tertawa. Lalu kembali membekap bibir gadis itu dengan bibirnya. Air mata Celina mengalir deras namun itu tidak menghentikan perbuatan laki-laki itu.
Laki-laki itu kembali melakukan perbuatan itu dalam keadaan Celina masih sadar. Laki-laki itu merasa sangat puas, merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Celina menangis sejadi-jadinya, dalam waktu singkat laki-laki itu telah melakukannya berulang kali. Celina merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Menatap benci pada laki-laki yang kembali tertidur disampingnya. Tidak ingin sedetikpun gadis itu berada di dekat laki-laki itu.
Celina bergerak meninggalkan ranjang namun kepalanya kembali terasa sangat sakit. Sejak disekap di villa, Celina belum mengisi perutnya sama sekali. Celina tidak ingin menerima apapun dari laki-laki itu.
Baru beberapa langkah gadis itu jatuh tertelungkup, gadis itu kembali jatuh pingsan.
Di pagi hari Raffa terbangun, menemukan Celina yang kembali pingsan di lantai. Laki-laki itu kembali menggendong Celina ke ranjang, sangat enteng bagi laki-laki bertubuh atletis itu mengangkat tubuh mungil Celina.
Tubuh mungil kurang gizi, tapi keras kepalanya luar biasa, bisik hati Raffa setelah melihat paper bag berisi makanan tak tersentuh sedikit pun.
Laki-laki itu ingin segera kembali ke apartemennya, menjalani harinya sebagai pucuk pimpinan di sebuah perusahaan besar milik keluarganya.
Raffa mengambil paper bag berisi makanan di meja dan membuangnya ke tong sampah kemudian berlalu mengendarai sedan sport seharga 4.4 milyar bertenaga listrik itu.
Raffa tak bisa mengalihkan pikirannya dari gadis yang belum diketahui namanya itu. Entah mengapa, selama di kantor laki-laki itu lebih memilih melamun daripada menyelesaikan pekerjaannya.
Bahkan beberapa janji dibatalkannya, tanpa dikehendaki, bayangan gadis biasa itu selau terlintas dibenaknya. Membuat laki-laki itu selalu ingin segera kembali ke villa.
Bagaimana ini? Sejak awal aku tidak memakai pengaman, bagaimana kalau nanti gadis itu hamil? Ya ampun kenapa aku begitu lengah? Aku bahkan melakukannya hingga berkali-kali, bisik hati Raffa mulai galau.
Karena ingin membuktikan keperawanan gadis itu, Raffa sengaja tidak menggunakan pengaman seperti yang biasa dilakukannya. Dan sekarang laki-laki itu justru merasa kecanduan.
Raffa memukul keningnya beberapa kali, bayangan Jessica tiba-tiba muncul.
Bagaimana jika benar-benar hamil, Jessica akan meninggalkanku? Jessica tidak akan terima jika aku memiliki anak dari wanita lain. Tidak, aku tidak mau kehilangan Jessica gara-gara gadis itu, tapi di jaman sekarang ini tidak mudah memiliki seorang anak. Mudah-mudahan gadis itu sulit memiliki anak, pikir Raffa dalam hati.
Laki-laki itu mencari pembenaran diri di mana memang banyak orang yang sulit memiliki anak di jaman sekarang ini.
Raffa sendiri adalah anak tunggal, orang tuanya harus bersabar menanti kehadirannya setelah menikah selama delapan tahun. Hal itu membuatnya sedikit lega, bergegas laki-laki itu meninggalkan kantor dan berniat menuju villanya.
David, sang assisten merasa heran melihat laki-laki itu meninggalkan kantor sebelum waktunya. Bukan kebiasaan laki-laki itu pulang lebih cepat, sepenting apapun urusannya.
David berpikir, selagi tidak diperlukan, dia tidak perlu mencampuri urusan atasannya. Sementara itu, Raffa telah melaju kencang mengendarai mobil sportnya menuju villa.
Berapa lama orang bisa mati karena kelaparan?
Apa gadis itu ingin bunuh diri? bisik hati Raffa.
Melirik makanan-makanan dalam kemasan yang baru saja dibelinya. Hari ini laki-laki itu bertekad memaksa gadis itu menghabiskan makanannya. Laki-laki itu tidak ingin bercinta dengan mayat.
Gadis itu akan dijadikan tempat pelampiasan nafsunya selama Jessica berlibur di Paris.
Apa yang terjadi denganku? Dua kali dalam semalam? Gila..!!! Apa aku ini maniak? Sial, jerit hati laki-laki itu setelah menyadari kelakuannya.
Ke Villa..., ke Villa..., ke Villa, hanya itu yang terbersit di otaknya.
Sepeninggalan Raffa, Celina duduk termenung di depan jendela. Air matanya mengalir tak berhenti, melirik ke arah lembaran cek di atas meja. Tidak hanya selembar lagi, laki-laki itu menambahkan selembar demi selembar setiap kali melakukannya.
Celina meraih lembaran-lembaran cek itu tanpa melihat nominal yang tertulis di sana. Gadis itu merobek lembaran cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Air matanya mengalir deras saat melakukan itu.
Aku tidak menjual diriku, aku tidak mau menerima apapun darimu, jerit hati Celina dengan mata penuh kebencian.
Raffa muncul di balik pintu, menatap serpihan kertas yang berhamburan di karpet mewah itu. Laki-laki itu tersenyum sinis.
"Apa kamu sadar, berapa nilainya itu? Kamu tidak akan menyesal?" tanya Raffa mendekati Celina.
Gadis itu tidak menjawab, hanya matanya yang menatap tajam pada laki-laki itu.
"Sudahlah, sekarang kamu harus makan," ucapnya mengeluarkan makanan-makanan itu dan menyusunnya di meja.
Celina masih tetap diam.
"Kenapa? Masih tidak mau makan? Kamu mau mati kelaparan? Apa kamu mau bunuh diri?" tanya laki-laki itu bertubi-tubi.
Ide bagus, mati kelaparan, bunuh diri, aku lebih memilih itu daripada jadi budak nafsumu, batin Celina masih dengan tatapan mata yang tajam.
"Aku tidak mengizinkanmu mati sekarang, jadi makanlah," ucapan sadis laki-laki itu memaksa Celina untuk makan.
Gadis itu masih tetap diam. Raffa kesal, mengeluarkan ponselnya dan mengancam.
"Kalau kamu tidak makan, aku akan menyebarkan foto-fotomu," ancam Raffa.
Sikap yang kekanak-kanakan tapi dia tidak peduli. Tujuan laki-laki itu hanya ingin membuat Celina tetap hidup untuk melayaninya. Celina diam menatap foto di ponsel itu, tubuhnya bergetar, hati gadis itu telah dipenuhi rasa dendam.
Celina melirik pintu yang terbuka, laki-laki itu lupa menguncinya atau memang di sengaja. Celina langsung berlari keluar, kemana saja yang penting tidak berada di ruangan itu lagi
Raffa menghembuskan nafas kesal.
"Mau kemana? Pintu Villa ini terkunci, kamu tidak akan bisa keluar dari sini," ucapnya santai sambil menuruni tangga.
Tiba-tiba sebuah benda melayang kearahnya, Raffa mengelak namun tak cukup jauh. Celina menancapkan benda itu di bahunya, Raffa menjerit. Sebuah besi pemecah es, Celina mencabut benda ditangannya itu, hendak menusukkannya kembali.
Raffa menghindar, darah mengucur dari luka tusuk itu. Laki-laki itu merasa kesakitan namun amarahnya lebih besar hingga dia memilih mengejar gadis itu untuk membalas perbuatannya.
Celina panik, reflek meletakkan ujung pemecah es itu di lehernya.
Ya... lebih baik begini, lebih baik aku mati, batinnya.
Gadis itu hanya diam menatap tajam, hanya air mata yang mengucur deras dari situ dan tubuh yang bergetar hebat.
Aku pasrah, jika sampai di sini ajalku, batinnya lagi.
Raffa mengalah, akhirnya memilih pergi dari villa itu. Celina lebih nekat dari yang dia duga. Laki-laki itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Darah segar tak berhenti mengalir dari luka tusuknya.
...~ Bersambung ~...
Celina menatap Raffa yang pergi meninggalkan villa, ice pick masih mengarah ke lehernya. Setelah suara mobil Raffa menjauh barulah gadis itu menurunkan alat penghancur es itu.
Gadis itu terduduk, tubuhnya masih bergetar, tak menyangka bisa mengalami kejadian seperti ini, bibirnya pucat pasi. Tangannya dingin seperti es, nekat ? gadis itu bukan nekat, tapi terlalu pasrah dengan hidupnya hingga dia lebih memilih mati sebagai jalan keluarnya.
Gadis itu merasa tak ada gunanya lagi dia hidup, kekayaan tak dimilikinya, keluarga kandung tak pernah dikenalnya, sahabat telah menjerumuskannya.
Tidak, ini bukan salah Maura, dia hanya ingin membantuku, keputusan ada padaku, aku yang memutuskan bekerja di situ, semua salahku, jerit hati Celina.
Satu-satunya yang membuat gadis itu menyesal mengarahkan benda tajam itu ke lehernya adalah bu Tina dan adik-adik di panti. Benda itu bisa membuat Celina tak dapat memenuhi janjinya untuk membahagiakan mereka.
Bayangan wajah lembut bu Tina dan senyum lugu adik-adik panti hampir saja membuat gadis itu lemah.
Tapi wajah penuh kemarahan dihadapannya itu mendorong Celina mempertahankan benda itu dilehernya.
Menjauhkan benda tajam itu dari lehernya akan membuat Raffa mendekat dan gadis itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan laki-laki itu terhadapnya.
Laki-laki itu akhirnya pergi, separuh hidupnya terselamatkan, hanya separuh, karena separuhnya lagi telah hancur. Hanya tinggal tubuh kosong yang tak berharga.
Celina berdiri, teringat harus mencari pakaiannya. Dia harus menemukannya agar bisa pergi dari Villa ini. Raffa membiarkan pintu terbuka, Celina harus segera pergi sebelum laki-laki itu kembali.
Villa itu sangat besar, kemana dia harus mencari, perlahan Celina mencari di setiap kamar, lemari, laci, gadis itu hampir putus asa, tidak mungkin keluar dengan kain putih seperti itu.
Celina melangkah ke mini bar, tempat yang belum dicarinya adalah tempat itu. Celina memandang sekelilingnya, bermacam-macam merk minuman tersusun rapi di sana.
Celina menghembuskan nafas berat, gadis itu hanya melihat rak-rak botol minuman, Celina melangkah keluar dari mini bar. Namun, matanya menemukan sebuah lemari kecil di bagian bawah meja. Gadis itu langsung membukanya, gadis itu tersenyum, pakaiannya ditemukan.
Laki-laki itu pasti sembarang lempar ke dalam lemari saat menikmati minumannya, pikir Celina.
Celina tak perlu lagi memikirkan apapun yang dilakukan laki-laki itu, gadis itu segera mengenakan pakaiannya dan segera berlalu dari tempat itu.
Celina melangkah di jalan kecil berkerikil, jalan yang khusus disediakan untuk menuju ke villa. Celina telah mencapai jalan raya namun jalanan itu sangat sepi. Belum terlihat mobil yang lewat atau orang-orang yang bisa ditanyai. Celina yakin jalanan ini adalah jalanan pinggir kota dan gadis itu belum pernah mendatangi daerah ini
Tak ada seorang pun di situ, gadis itu juga tidak tahu kemana arah yang harus di ambil. Tak ada bus atau angkutan umum yang lewat. Celina melihat sebuah halte yang tak terurus, gadis itu beristirahat di situ sambil memperhatikan jalanan.
Akhirnya dari kejauhan sebuah mobil pribadi terlihat, gadis itu ingin menumpang, dalam hati gadis itu berdoa semoga pengemudinya adalah orang baik yang mau membantunya.
Jika tak mau memberi tumpangan setidaknya gadis itu ingin bertanya arah jalan yang harus ditempuhnya. Mobil yang di stop mengurangi kecepatannya gadis itu datang menghampiri, ingin bertanya pada pengemudi.
Namun gadis itu urung bertanya saat melihat orang-orang di dalam mobil itu. Beberapa pemuda tersenyum aneh padanya.
"Mau numpang?" tanya sang sopir.
"Tidak, maaf, saya pikir mobil teman saya, terimakasih" ucap Celina mundur.
"Kami bisa jadi temanmu, ayolah ikut" ucap pemuda yang duduk di belakang.
Celina menggelengkan kepala lalu melangkah kembali ke halte. Terdengar bunyi pintu mobil di tutup dan suara langkah kaki mengikuti.
Tidak, tolong pergilah, pergilah, jangan ikuti aku, jerit hati Celina.
"Nona ayolah ikut kami, kami akan mengantarmu" terdengar suara dari belakang.
Celina mempercepat langkahnya namun suara langkah itupun terdengar cepat. Celina panik, gadis itu berlari. Tapi tiba-tiba tangan seseorang menggenggam pergelangan tangan gadis itu dengan keras.
"Jangan takut kami ini orang baik-baik" ucapnya sambil memberi kode pada teman-temannya, yang lain membalas dengan anggukkan.
"Tidak, saya mau kembali, saya mau menunggu teman saya saja" ucap Celina gemetar.
Celina mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman laki-laki itu dengan sopan. Tapi laki-laki itu semakin mengencangkan pegangannya. Celina semakin panik, empat laki-laki itu mengelilinginya.
Salah seorang mulai mendorongnya ke arah laki-laki didepannya. Laki-laki itu menyambut tubuh Celina sambil tertawa. Celina menangis, gadis itu tak bisa lagi mengatasi rasa takutnya.
"Gantian dong" ucap laki-laki lain.
Seketika laki-laki tadi mendorong tubuh Celina ke arah laki-laki itu.
Laki-laki yang baru saja bicara langsung menyambut Celina dengan dengan pelukan dan ciuman. Gadis itu meronta, menangis. Sementara yang lain tertawa melihat tingkah temannya yang agresif.
Namun, tiba-tiba suara tawa itu berganti dengan suara pukulan. Salah seorang dari laki-laki itu terjatuh, yang lain langsung menoleh kearah datangnya pukulan, termasuk Celina.
Raffa melayangkan tendangan melingkar pada salah seorang laki-laki yang berada didepannya. Tendangan ke samping pada orang disebelahnya. Raffa menarik tangan Celina menjauh.
Gadis itu mengikuti dengan gemetar, Celina akhirnya berdiri menjauh. Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau lipat dan mulai mengarahkannya pada Raffa. Raffa mengelak lalu melancarkan tendangan pada laki-laki yang memegang pisau itu.
Laki-laki itu tersungkur tapi berandalan lain melayangkan tinjunya pada Raffa tepat mengenainya. Laki-laki itu terhuyung, di sambut sabetan pisau pada bagian perut. Baju Raffa robek, darah membasahi robekan baju itu. Celina menjerit, Raffa menatap tajam pada berandalan itu.
"Aku tidak akan membiarkan kalian membawa gadis itu, dia adalah milikku" ucap Raffa menatap pada mereka.
"Jangan campuri urusan kami, memangnya kamu siapa ?" tanya salah seorang dari mereka.
"Aku suaminya" jawab Raffa pasti.
Mereka tertawa tak percaya, lalu kembali menyerang. Raffa bertahan dan menyerang, beberapa pukulan dan tendangan mengenai berandalan itu namun Raffa juga mengalami luka yang cukup berat.
Raffa pun terkena pukulan hingga terjatuh. Raffa menatap Celina lalu berkata..
"Lari" ucapnya saat seseorang menarik krah bajunya dan memberikan pukulan di perut, darah mengalir deras dari bekas luka sabetan itu.
Celina menggelengkan kepala, gadis itu bingung. Meninggalkan Raffa yang telah membahayakan nyawa untuk menolongnya atau tetap berada di tempat itu dengan resiko para berandalan itu akan membawanya jika Raffa dapat mereka kalahkan.
"Lari" teriak laki-laki itu lagi.
Celina menangis, gadis itu menggelengkan kepala. Raffa juga mengeluarkan air mata. Laki-laki itu takut tidak mampu bertahan. Pukulan demi pukulan mengenai tubuhnya. Raffa menatap Celina yang hanya menangis, tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Laki-laki itu nekat, menyerang membabi buta, bagaimanapun juga dia harus menyelamatkan gadis yang tidak mau meninggalkannya itu. Raffa berhasil merebut pisau di tangan laki-laki itu dan membalas serangan mereka.
Seorang jatuh tersungkur pingsan, di susul yang lainnya. Seorang lagi berusaha melarikan diri namun mendapat tendangan dari belakang, berandalan itu pun jatuh, seorang lagi mencoba bertahan, membangunkan berandalan yang lain. Raffa menghadiahkan tendangan dan mengenai kepalanya, mereka pingsan di jalanan.
Raffa juga roboh, laki-laki itu telah mengeluarkan banyak darah. Celina langsung berlari kearahnya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, melihat luka Raffa yang telah membasahi sebagian besar baju laki-laki itu.
Celina segera memapahnya ke mobil. Celina duduk di bangku kemudi namun gadis itu panik karena sama sekali tidak mengerti cara menjalankan mobil sport seperti itu.
Celina hanya pernah belajar sebentar pada seorang teman yang memiliki sebuah bengkel. Itu pun menggunakan mobil tua. Raffa yang terluka parah memandang gadis itu lalu tersenyum. Menghidupkan mesin mobil lalu mengangguk meminta gadis itu mencoba menjalankan mobil itu.
Celina memindahkan persneling lalu menginjak gas, awalnya sulit. Gadis itu belum terbiasa mengarahkan stir dengan baik, beruntung jalanan sepi. Kadang kecepatannya tinggi kadang pelan, Raffa tertawa kecil lalu meringis kesakitan, wajahnya terlihat pucat.
"Kembali ke Villa" katanya pelan.
"Apa ? tuan harus ke rumah sakit" ucap Celina berusaha berbalik arah.
Gadis itu mengambil arah yang berlawanan dari arah datangnya Raffa.
"Ke Villa saja, aku..., tidak mau..., ke rumah..., sakit" ucapnya terbata-bata, laki-laki itu berusaha untuk tetap dalam kondisi sadar.
"Tidak, luka tuan harus ditangani dokter kita harus ke rumah sakit" ucap Celina yang mulai terbiasa mengemudi namun tak berani terlalu kencang.
"Ke Villa" teriak Raffa sekuat tenaga.
"Kenapa tidak mau ke rumah sakit, lukamu harus di jahit" ucap Celina juga berteriak panik melihat darah yang terus mengalir deras dari luka robek di perut Raffa.
"Kamu, akan meninggalkanku..., aku..., tidak mau, aku..., aku..., ingin bersamamu" ucap laki-laki itu lalu pingsan.
Celina panik, gadis itu segera mempercepat laju mobilnya. Dia tidak peduli lagi, kecelakaan mobil atau kehilangan banyak darah sama-sama membahayakan laki-laki itu. Buru-buru gadis itu menanyakan arah rumah sakit kemudian melaju kearah yang di tunjuk.
Celina menabrak pot bunga besar rumah sakit saat menghentikan mobilnya, gadis itu tidak peduli langsung berlari ke ruang gawat darurat meminta pertolongan.
Petugas medis membawa Raffa dengan menggunakan brankar, segera melakukan tindakan medis. Celina menunggu di ruang tunggu. Gadis itu sangat panik, takut terlambat melakukan pertolongan, takut Raffa tak bisa bertahan.
"Nona Celina bukan?" teriak seorang suster.
Celina kaget seseorang mengenalinya, tapi jelas gadis itu tidak mengenali suster itu.
"Ya benar, nona Celina yang hilang beberapa hari yang lalu" sahut suster itu yakin.
Celina makin kebingungan.
"Ada di berita, nona dikabarkan hilang setelah berhenti bekerja dari sebuah club malam benarkan? polisi sedang mencari nona" ucapnya lagi.
Suster itu yakin bahkan segera mencari channel TV yang sedang memberitakan kehilangan itu.
"Bahkan ada yang mengira kalau nona mati di bunuh" ucapnya lagi.
"Apa?" jerit Celina sambil berdiri maju mengamati tayangan berita di TV yang menempel di dinding rumah sakit.
"Saya sering mengikuti berita nona, saya penasaran nona itu adalah korban penculikan atau pemerkosaan disertai pembunuhan" lanjut suster itu.
"Apa?" jerit Celina makin keras.
Tuan itu, dia memang menculik dan..., ah..., jerit hati Celina tak berani melanjutkan pikirannya sendiri.
Tapi dia..., tidak boleh..., tidak boleh ada yang tahu perbuatannya, jika tidak, dia bisa menjadi tertuduh, dia bisa di penjara, batin Celina dengan dadanya yang terasa sesak.
"Sebenarnya apa yang terjadi nona? ah..., nona, kalau gitu saya panggil kakak saya ya, dia wartawan lokal, nona bisa memberi konfirmasi tentang hilangnya nona beberapa hari lalu" ucapnya langsung menelpon kakaknya.
"Tidak, tidak, saya tidak hilang, saya tidak perlu konfirmasi apa-apa" ucap gadis itu langsung ingin beranjak pergi namun gadis itu ingin tetap di situ untuk menunggu kejelasan kondisi laki-laki itu.
Celina bingung, gadis itu ingin menunggui Raffa, tapi tidak ingin dimintai keterangan. Apa yang harus dikatakannya? Bahwa laki-laki yang telah menolongnya itu adalah penculik dan pemerkosanya?
Dia benar-benar tidak siap dimintai keterangan. Gadis itu hendak pergi berlalu. Tiba-tiba seseorang menghadangnya dan langsung menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Ternyata anda memang nona Celina yang hilang beberapa hari yang lalu, apa yang terjadi nona?" tanya wartawan itu.
Celina bingung menjawabnya.
"Apa yang nona lakukan di sini?" tanya wartawan itu beralih ke pertanyaan lain.
"Saya mengantar seseorang" ucapnya bisa menjawab pertanyaan itu.
"Siapa orang itu?" tanya wartawan itu lagi.
"Saya..., saya tidak tahu namanya" jawab Celina jujur.
"Kenapa nona mengantarnya? apa yang terjadi padanya? apa ada hubungannya dengan nona?" tanya wartawan itu bertubi-tubi.
"Dia..., dia terluka, karena menolong saya?" jawab Celina jujur.
"Kalau begitu dia adalah penyelamat nona? apa dia ada hubungannya dengan hilangnya nona?" tanya wartawan itu.
"Tidak..., eh ya dia penyelamat saya, tapi dia tidak ada hubungannya dengan hilangnya saya" jawab Celina gugup.
"Sebenarnya saya tidak hilang" ucapnya tiba-tiba terpikirkan hal itu.
"Saya hanya pergi jalan-jalan..., eh maksud saya berlibur?" jawab Celina.
"Tapi saya kecopetan hingga sulit untuk pulang. Saya mencoba meminta bantuan tapi tidak ada yang menolong, jadi saya pulang dengan berjalan kaki. Di tengah jalan saya bertemu dengan sekelompok pemuda mm..., seperti berandalan. Mereka mengganggu saya lalu tuan itu datang menolong" akhirnya Celina bisa merangkai sebuah cerita dari kejadian yang dialaminya pada wartawan itu.
Wartawan itu sangat bersemangat mendengar dan merekam ucapan Celina. Wajahnya berbinar karena mendapat berita eksklusif karena di konfirmasi secara perdana oleh orang yang bersangkutan langsung. Celina berharap ceritanya adalah yang terbaik bagi dirinya juga bagi Raffa.
"Bagaimana dengan para berandalan itu? bagaimana keadaannya? apa nona ingin melakukan tuntutan?" tanya wartawan itu lagi.
Celina mengira wartawan itu sudah selesai dengan pertanyaannya. Namun, wartawan itu masih mengajukan pertanyaan, gadis itu kembali harus memikirkan jawaban yang tidak merugikan siapa pun.
"Saya tidak tahu, saya pikir mereka baik-baik saja, saya tidak berniat menuntut. Karena saya sendiri lupa wajah mereka, semua terjadi begitu.., maaf saya kira cukup ya, saya tidak bisa menjawab pertanyaan lagi" ucap Celina ingin segera berlalu dari hadapan wartawan itu.
Gadis itu takut semakin di tanya, gadis itu semakin tidak bisa mencari jawaban. Dan lagi Celina masih khawatir dengan kondisi Raffa. Gadis itu memandang ke arah ruangan dimana Raffa di tangani paramedis.
Gadis itu tertunduk, apa yang telah dilakukannya. Celina menitikkan air mata, menolong orang yang telah menghancurkan hidupnya. Mencari alibi untuk menyelamatkan laki-laki itu dari tuduhan penculikan dan pemerkosaan terhadap dirinya.
Gadis itu menangis terisak, suster muda tadi mendekatinya, mencoba menenangkannya gadis itu. Suster itu mengira Celina ketakutan akan kondisi laki-laki itu.
Ya dan tidak, ya karena gadis itu benar-benar khawatir dengan kondisi laki-laki itu dan tidak karena gadis itu juga menangisi nasibnya sendiri. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan itu, Celina langsung mendatangi dan bertanya.
"Syukurlah operasinya berjalan lancar" ucap dokter itu.
"Operasi?" tanya Celina heran karena bisa seperti itu tindakan medis yang di ambil.
"Ya, kami melakukan operasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan dan memperbaiki kerusakan pada organ dalam perut" jawab dokter itu.
Celina kaget hingga menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Separah itukah?" tanya gadis itu lagi.
"Anda tidak menyadari itu? luka yang di derita pasien sangat parah. Menimbulkan perdarahan hebat dan dapat mengancam nyawa pasien. Beruntung pasien segera di bawa ke rumah sakit, jika tidak nyawanya bisa melayang" ucap dokter itu kemudian pamit berlalu.
Celina masih tercengang, menutup mulutnya dengan gemetar mendengar penjelasan dokter. Gadis itu menitikkan air mata membayangkan kejadian terburuk. Namun, gadis itu bersyukur karena akhirnya memutuskan membawa laki-laki itu ke rumah sakit.
Celina memutuskan untuk pergi dari situ. Gadis itu melangkahkan kaki pelan menuju terminal angkutan umum yang bisa membawanya kembali ke asrama. Di sepanjang jalan gadis itu memikirkan keadaan laki-laki yang telah menolongnya itu. Setelah melihat laki-laki itu dipindahkan ke ruangan perawatan, Celina memutuskan untuk pulang.
...~ Bersambung ~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!